Puisi
<strong>Puisi Faustina Hanna</strong>

Puisi Faustina Hanna

lima fragmen karma
(terinspirasi dari lukisan fenomenal “The Starry Night” karya Van Gogh)

I: SACRIFICE RAIN TO THE BLOODY SPIRITS

Kemurnian langit masih sudi menurunkan hujan deras pada tanah.
Mata malam: sepasang karnivora yang mengintai anak domba,
bagai tikaman pada pengurbanan tanah lembah yang
berubah merah,
kala mereka kian menggali dengan hasrat sekawanan rubah

demi menimbun misteri sederet kepala dan nama tanpa ritual suci
dan nisan pusara,
petuah
di sana sumpah serapah berikut nista dosa yang berlumur darah
segar, dikubur di dalamnya.

Sementara seekor burung hantu pejantan terlahir dari urat-urat
kengerian bulan,
pada batang pohon pinus, ia menggurat ukiran raut pilu seorang
gadis kecil (sebatang kara) dengan paruhnya yang terluka akibat
tembakan peluru.
Gadis penabur yang telah mereka pasung dalam sebuah gubuk jerami,
bersama keremangan debu dan jaring laba-laba yang memintal tabu.

Berumpat agar sisa jejak pembunuhan orang tuanya, kesaksian suara
dari perigi purba yang pesakitan, potret semu masa depan
dan bulir air matanya
dapat membisu, pun mati di situ.

II: HYMN FROM THE DIFFERENT WORLD

Purnama beringsut dari peraduan kesekian kali, didampingi pekik
guntur bersama renik bintang
; memendam kebenaran atas serangkai peristiwa berdarah

(Berulang,
— berulang
untuk sekelompok orang yang riuh bersulang dengan gelas anggur
merahnya. Mereka mabuk dan bersulang atas jerit yang diliputi
darah, atas tulang belulang busuk
pada dasar kegelapan, yang hanya dapat mengiba kepada Tuhan)

“…I am lost
You are lost
All our senses
Are all lost…” *

III: THE DREAM GUIDE

Pada akhirnya kehangatan musim panen telah tiba bagi penduduk
desa
beriringan sebuah mimpi absurd yang diturunkan dalam lelap seorang
tetua adat.
(Warga meyakini atas barisan ternak, tunas – pucuk tanaman, lahan
gembur sawah, hingga hasil bumi yang tiada putus dilimpahkan;
bahwa suatu induk mimpi bukanlah benalu bagi tampuk
kesadaran, dan tiada pernah menghanyutkan mereka kemudian ke
tengah pusaran magis anakannya)

Mimpi itu menggelar penglihatan tentang beruang hitam dengan
gurat luka berbentuk cakra bintang
pada mata kirinya
melintasi hutan rimba untuk turun ke perkampungan.
Beruang yang memburu sekaligus diburu, berjalan timpang, lantas
panik melepas dan mengubur cakar tajamnya.

‒ Adakah yang kian mengharu-biru dari ketersesatan ruh
yang sublim ini;
Hutan berkabut monokrom yang ambigu dengan gravitasinya,
pola turbulensi yang menggenangi langit malam, satu-satunya
buah yang ranum cemerlang, tergantung dan bergoyang
mengundang hasrat
pada rindang Pohon Kehidupan
di tengah hutan;

ataukah daya magnet dosa
yang membentuk
senyum lengkung sabit
pada topeng joker
yang kelak dikenakan setelah memungkinkan bereinkarnasi

IV: LITTLE ARIA MISSES HER BLOOMING FLOWER GARDEN

Pun muncul samar-samar bayang gadis kecil, berpakaian putih dan
bersih seluruhnya
tubuhnya nampak tiada berdaya, dan di atas pembaringannya
tercipta kolam terbalik yang terlampau ajaib.

— air itu tidak dapat tumpah ke bawah membasahinya

Sekejap berubah warna, sepekat darah. Jemari gadis itu berhati-hati
kini menyentuh kilau permukaannya
; lapis pertama yang merefleksikan pemandangan taman bunga tengah
bermekaran

Diikuti getar antena kekupu yang tergelepar di bebatuan
demi mentahirkan
kebenaran.

V: ILLUMINATION

Keyakinan hati sang tetua adat dibimbing oleh sosok kembar dari
gadis kecil
untuk menemu gema ritual serta gita puja yang tengah dipersembahkan
kepada Tuhan. Matanya terpaku pada pendatang terasingkan yang
duduk tidak ingin jauh dari meja perjamuan kudus,
dengan bibir mereka yang bergetar tiada beraturan
menyuarakan iluminasi
‒ pencerahan roh Sang Terang ‒

Namun, tangan mereka kebas saat memanjatkan doa;
sekelebat menjadi tangan yang berlumur tanah basah bercampur
darah.
Dan dari atas –gerbang surga yang terkunci
terbukalah cahaya yang bersusun tingkat keterangannya, serupa
anak-anak tangga ditumbuhi sulur-sulur (ayat-ayat kitab suci
yang menata kebijaksanaan),
lukisan dan huruf berornamen, bentuk-bentuk geometris yang
memperindah esensinya

Bersama gemuruh suara yang kian bergema ke lorong-lorong desa:

“Mengapakah engkau bersembunyi selama ini,
Sesungguhnya Aku yang tiada menjangkaumu,
ataukah kau yang durhaka ‒
tiada sanggup menjangkau (firman)Ku?”

2022
* petikan lagu “Laapata” dari film “Ek Tha Tiger”


Penulis:

Faustina Hanna, lahir di Jakarta, 5 April. Penikmat seni-budaya dan kearifan lokal. Sehari-hari bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, menekuni fotografi dan dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya terbit di pelbagai media. Beberapa sajaknya tergabung dalam antologi dan menjuarai beberapa lomba puisi. Pernah menempuh pendidikan Desain Komunikasi Visual di Bina Nusantara Center, Jakarta dan berencana melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *