Resensi Buku
Sejarah, Sastra Jurnalisme, dan Sejumlah Tafsir<br>(Tentang Novel Anak Gunung Eko Darmoko)

Sejarah, Sastra Jurnalisme, dan Sejumlah Tafsir
(Tentang Novel Anak Gunung Eko Darmoko)

Judul:  Anak Gunung, Sebuah Novel
Penulis:  Eko Darmoko
Editor:  Dadang Ari Murtono
Penerbit:  Pelangi Sastra, Juli 2022
Tebal:  viii + 254 Halaman ; 13 x 20 cm
ISBN:  978-623-6937-53-2

TITIK TOLAK novel Anak Gunung, karya Eko Darmoko adalah seks. Tepatnya hubungan percintaan tokoh Ranu dengan empat perempuan; Fatimah, Riri, Grace dan Steph. Hubungan Ranu dengan para perempuan ini semuanya berujung persetubuhan, kecuali terhadap Fatimah.

 Anak Gunung novel yang kaya pelbagai pemaknaan. Utamanya; Sejarah (Seks dan Kekuasaan), Sastra Jurnalisme—bukan jurnalisme sastra, dan banyak kemungkinan tafsir yang terkandung di dalamnya; baik tafsir rekonstruksi, produksi/fusi horizon  makna, maupun dekonstruksi.

Apakah seks dalam novel ini dipandang sebagai sesuatu yang serius ataukah hiburan belaka? Tentu saja, tergantung bagaimana pembaca melihatnya; punya kepentingan lain di luar novel tersebut ataukah tidak. Meski sebetulnya, kendati tanpa kepentingan apapun, agak sulit menempatkan novel ini sebagai hiburan—porsinya yang sangat terbatas, juga begitu banyak pertimbangan estetik dalam menampilkan seks vulgar.

Dengan kata lain, Anak Gunung adalah novel serius, baik dalam pengertian New Criticisme, maupun New Historicisme. Keseriusan dalam kontek aliran Kritik Baru, Anak Gunung tak menampilkan banyak kompromi-kompromi, bahkan nihil. Ia kritis dalam banyak hal. Pendeknya, sikap novel yang demikian tak sepenuhnya benar jika disebut dalam kosakata Kritik Baru karya yang ahistoris. Anak Gunung menampilkan begitu banyak pertentangan, pertanyaan kritis atas tatanan sosial politik juga ekonomi di dalamnya. Maka, lompatan (dobrakan) kecenderungan tradisi tekstual yang disebut-sebut ahistoris tersebut menempatkan novel ini kontekstual, lokal dan dengan demikian adalah sejarah.

Maka Anak Gunung adalah satu versi kenyataan sejarah, karya Eko Darmoko. Sejarah mental. Sejarah Imajinasi. Yang dalam bahasa Melani Budianta; ”Kaitan sastra (karya) dengan sejarah adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks (fiksi maupun fakta) yang diproduksi pada kurun waktu yang sama maupun berbeda.  Singkatnya dalam kata-kata Louis A. Montrose “Kesejarahan Sastra, dan Kesastraan Sejarah.”

Sastra sebagai paham Kesejarahan Baru, terpaut di dalamnya Dekonstruksi (Derrida), Mitos (Roland Barthes) juga Ideologi, Wacana (Foucault). Mengutip ungkapan dari pemikir paling akhir di paragraf ini ikhwal relasi sastra dan kuasa; ‘Kekuasaan selalu hadir dalam interaksi, termasuk bahasa. Relasi kuasa, ideologi pengarang, wacana. Ideologi bekerja secara kompleks dan terus-menerus. Demikian kata Foucault.

Bagaimanapun, novel ini bermula dari kerja pengarang.

Jalin Kelindan Pengetahuan
Latar belakang pengarang novel Anak Gunung seorang jurnalis (Eko Darmoko, belasan tahun bekerja sebagai wartawan Surya). Selain memiliki sederet prestasi bidang sastra (10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021, 10 Penulis Emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival 2022, salah satu cerpenis terbaik dalam sayembara menulis cerpen Dewan Kesenian Surabaya 2019), Eko juga pembaca yang tekun karya-karya jurnalistik, dan mengidolakan novel-novel yang ditulis oleh jurnalis yang sastrawan semacam; Ernest Hemingway, Gabriel Garcia Marquez, Pramoedya Ananta Toer. Merekontruksi novel Anak Gunung, maka tak tergelincir pada pemikiran jalin kelindan hubungan sastra dan jurnalistik di satu sisi, juga hubungan keduanya dengan sejarah dengan etnografi di sisi lain.

Kutipan berikut akan sedikit banyak buhul dari rekonstruksi tersebut;

Begitulah, setelah bertahun-tahun aku tak menjamah buku harian, kini aku menjamahnya lagi. Menggoresnya dengan kisah yang lumayan menggetarkan, setidaknya menurut seleraku sendiri. Mirip sebuah headline pada halaman depan koran yang bisa digerayangi oleh banyak orang. (Hal.7)

Tak bisa kuhindarkan: sejak menulisi buku harian ini lagi ihwal pertemuanku dengan Riri, setelah terpisah, aku menjadi terangsang untuk melebarkan kisah ini.(Hal.8)

Tiga hari berturut-turut sejak perjumpaan di rumah nya, kami melanjutkannya ke perjumpaan lain. Banyak hal yang kami obrolkan, utamanya tentang pengembaraannya, dan tentu saja kisah yang menggetarkan tentang jalan hidupnya. Ya, bagiku sungguh menggetarkan.

Kisah-kisah yang disampaikan Riri lantas aku jahit dengan berita-berita di media masa, maka hasilnya seperti yang terbaca kemudian.  (Hal.71)

Buku Harian, juga berita-berita di koran sebagai ‘muasal’ novel ini patut menjadi bahasa lain dari sejarah dan etnografi. Di satu sisi adalah versi (sejarah mental, imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi) personal yang tentu saja penuh kontradiksi, keterputusan, plural, di sisi lain menimbang metode yang disebut Clifford Geerzt dalam etnografi sebagai lukisan mendalam—memahami produk budaya lain dengan secara rinci mengupas lapisan makna yang kompleks dalam kode-kode budaya yang mendasarinya.

Sejarah Puisi Gelap di Surabaya, misalnya, dalam bahasa Eko Darmoko berwujud seperti ini:

“Begini, kebanyakan penyair Jawa Timur adalah para tukang kelana,” (Hal.62)

“Teks puisi yang mereka tulis kebanyakan mengandung gelap. Ya gelap! Seperti bulan yang tertutup lendir buah nangka. Lengket dan susah ditelan. Ambil contoh antologi puisi Manifesto Surrealisme yang ditulis empat pendekar puisi Jawa Timur,” mataku menghunus mata penyair Babad Djiancuk Djaran, kemudian aku melanjutkan, “di dalamnya banyak tersaji menu-menu gelap yang susah untuk diterangi meskipun menggunakan ribuan sentolop.” Aku gunakan metafora untuk menjelaskannya, dan hadirin kembali terkekeh-kekeh. (Hal.62)

“Jika mengambil contoh atau menyamakannya dengan prosa, barangkali puisi para penyair Jawa Timur sama seperti prosa-prosa yang ditulis James Joyce dan Franz Kafka. Sekeras apa pun kita mengunyahnya, toh bakal mendal, keluar tak bisa ditelan.” (Hal 62-63)

 

Manifesto Surealisme adalah buku tonggak empat penyair puisi gelap Surabaya; Mashuri, W. Harianto, Indra Tjahjadi, Muhammad Aris.  Lalu, Babad Djiancuk Djaran, mengingatkan Kitab Syair Jancuk Jaran judul buku puisi Indra Tjahjadi—yang terilhami cerita panjang Sony Karsono, yang juga dipakai Eko Darmoko dalam satu bagian novelnya; Surabaya Johnny. Diceritakan dalam novel ini di halaman 173, Surabaya Johnny bersumber dari lagu pementasan drama musikal Bertolt Brecht bersama Kurt Weill berjudul Happy End di Berlin, tahun 1929.

Cita-cita sejarah Modernisme Seni (sastra) dunia misalnya, meski pencapaian karya-karya modernis-modernisme  dipantik oleh sejumlah musisi, perupa dan kemudian sedikit sastrawan sebut beberapa diantaranya Pablo Picasso, Oscar Wilde, James McNeil Whistler, Walter Pater, James Joyce, Franz Kafka, TS Eliot, namun kredo gerakan mereka adalah musik-bunyi. “Setiap seni mesti bebas dari omong kosong” penjelasan pelukis James McNeil Whistler. “Setiap cabang seni selalu mencita-citakan kondisi musik,” ujar Walter Pater. Pendeknya, sebagaimana ditandaskan Martin Suryajaya (Sejarah Estetika, Hal. 412) kredo modernisme: Setiap cabang seni modern selalu mencita citakan kondisi musik.

Eko menuliskannya, demikian:

Musik dan menulis berjalan bersama. (Hal.36)

Dengan kata lain, cita-cita sastra dalam novel ini, dapat direkonstruksi pula dari pengetahuan-pengetahuan musik penulisnya, sebagaimana pula yang tersebar dalam karakter tokohnya terkait dengan cita-cita musik  dalam pengertian modernisme seni.

Fusi Pemaknaan Pengarang-Pembaca
Sederet kemungkinan rekonstruksi pemaknaan yang berangkat dari dunia tafsir penulis, yang setidaknya merupakan ikhtiar untuk mendekati gagasan makna penulis selain sebagai satu keteguhan tersendiri, bisa pula menjadi modal untuk dilebur, fusi dengan pemaknaan atau produksi makna oleh pembaca. Dalam bahasa Gadamer; peleburan horizon masa silam penulis dan pembaca di masa kini.

Suatu misal, bukan tak mungkin inilah yang menghubungkan Anak Gunung, sebagai suatu makna pengarang yang terhubung dengan sufisme, absurditas, eksistensialisme. Perlu diketahui, sejumlah bacaan pengarang diantaranya atas karya-karya novel Albert Camus, Budi Darma, Sony Karsono. Dan mereka adalah para pakar absurditas, eksistensialisme.

Absurditas, dalam bahasa Eko Darmoko sendiri terungkap dalam salah satu dialog tokohnya, demikian;

Ucapan Grace membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Keriangan menyelimuti kami; seolah-olah kami lupa tentang rutinitas absurd yang menunggu di hari depan dalam kehidupan yang bengis ini. Kami sejenak lupa bahwa hidup ini kejam dan keras. (Hal.174)

Boleh dikata ini sama persis dengan apa yang dikatakan Albert Camus bahwa dirinya percaya ketiadaan, dan bahwa segala sesuatu itu adalah absurd. Absurditas lahir dari konfrontasi antara keinginan manusia untuk mengerti dan dunia yang membisu menyimpan rahasia dirinya.

Lantas kutipan-kutipan berikut menghubungkan absurditas dengan eksistensialisme;

“Aku ingin menempuh jalanku sendiri. Aku ingin mencoba peruntungan lain. Sudah sejak lama aku ingin melakukannya…” (Hal.178)

“Dengan hidupmu sendiri, apakah kau juga bahagia, Ranu?”

“Nah itulah, aku tak tahu, Steph. Sedangkan kau sendiri, apakah kau bahagia dengan hidupmu yang sekarang ini?” (Hal. 250)

Kutipan-kutipan ini, memperlihatkan kuatnya arah pembicaraan Anak Gunung pada kebebasan dalam pengertian kemungkinan-kemungkinan pilihan otentisitas tokohnya. Karakter, kemandirian, subjektivitas dalam pengertian yang sesungguhnya; otentik, berbeda dengan yang lainnya.  Maka memahami diri, memaknai hidup, sebagaimana ungkapan Heidegger  “secara eksistensial cara berada Dasein sebagai kemungkinan.”

Ketidaktahuan tokoh Ranu perihal kebahagiaan yang ditampilkan Eko Darmoko sesungguhnya adalah penghayatan suasana hati tertentu; Itulah stimmung atau gerak hati. Faktisitas, keterlemparan. Ada di dunia yang begitu saja tanpa tahu darimana mau kemana. “Istilah keterlemparan mengacu pada faktisitas penyerahan diri” (F. Budi Hardiman: Heidegger dan Mistik Keseharian Hal.84). Dalam penyerahan diri, inilah kedengarannya memang mirip suatu konsep spiritual. Penyerahan diri dalam absurditas Sysiphus mendorong batu di bukit tersia-sia, maupun derita ketiadaan manusia dalam keterlemparannya di dunia.

Dua kali aku merasakan jalur ini, dan selalu aku merasakan penyesalan. Mungkin dari sinilah tempat ini dinamai Bukit Penyesalan dan Penderitaan yang seakan tiada ujungnya. Usai menuntaskan satu bukit, kita akan dihadang oleh bukit lainnya. Begitu seterusnya.

“Ri, penyesalan ini hanya dirasakan di sini. Ketika kita sudah merampungkannya, kita akan rindu dengan bukit ini. Setidaknya itu yang aku rasakan di pendakian Rinjani yang pertama waktu dulu.” (Hal.143-144)

Spiritualitas penyerahan diri di dalam semangat tersia Sysiphus sebagai suatu peristiwa dalam deret plot novel, bisa pula dibaca dalam konteks dekonstruksi. Yakni, tepatnya sebagai suatu peristiwa pembacaan, pemaknaan, pemahaman, penafsiran. Sebagaimana diteguhkan Heidegger dalam pernyataannya; Penafsiran dan pemahaman adalah satu dan sama.

Menolak Bentuk Kehadiran Apapun
Di ranah dekonstruksi misalnya, Anak Gunung menampilkan; perhatian besar pengarang pada tokoh perempuan yang tangguh, dalam takdirnya yang terus tak berpihak padanya; juga tokoh yang tak punya perencanaan dalam hidup, tak memiliki keyakinan kuat memaknai kehidupannya. Dengan kata lain, makna hidupnya bergantung pada waktu, ruang, peristiwa (yang senantiasa berebut makna lain dalam waktu, ruang, dan peristiwa lain). Maka inilah pula dalam pengertian dekonstruksi, tokoh yang demikian memaknai peristiwa sebagai sejarah baru yang selalu luput dari makna pastinya.

Sebagaimana kutipan berikut ini;

Kebakaran ini membuat hidup Riri menjadi sulit. Seluruh harta bendanya, barang dagangan yang tersimpan dalam toko, serta kertas-kertas dagang berharga, semuanya sudah jadi ampas. Namun bukan Riri namanya jika tidak segera bangkit. Tak lama setelahnya, Riri kembali membuka toko baru. Toko itulah yang kini bernama Riri Adventure di Jalan Tidar. (Hal. 95)

“Dalam hidup ini, kau punya rencana apa, Ranu?”

Tiba-tiba pertanyaan susah meluncur dari mulutnya.

“Tak tahulah, Ri. Mungkin lebih baik menjalani hidup ini hari demi hari. Aku rasa itu yang paling menggairahkan; hidup tanpa banyak rencana. Semua dijalankan secara spontanitas. Seperti perjalanan ini, kau tiba-tiba memutar haluan menuju Gili Trawangan.”

“Masuk akal juga.” (Hal.161)

Tak habis pikir, manusia sebatang kara di Indonesia ini bisa bertahan hidup dan selalu riang menjalani hidupnya. Tak pernah aku dengar keluh kesah darinya. (Hal.162)

Ketidakpastian makna ini oleh karena seorang pembaca dekonstruksionis mengembalikan novel ke dalam otonominya, bahkan melepaskan dari kuasa pengarang. Dengan kata lain menolak bentuk kehadiran apapun; subjek, juga pengarang—ingat pengarang telah mati. Semacam kembali pada modernisme seni; New Criticisme.

Hanya bedanya jika teks dalam modernisme seni dalam hal ini adalah novel, maka teks bagi dekonstruksi adalah semuanya, termasuk di dalamnya konteks-konteks novel tersebut. Dalam idiom terkenal Derrida, “Tidak ada sesuatu pun di luar teks.” Dengan demikian termasuk teks-teks terkini dalam peristiwa pembacaan seorang pemburu makna, meski tak pernah benar-benar berhasil mendapatkannya.

Barangkali pada titik seperti ini Eko Darmoko, Cerpenis Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015) dan Revolusi Nuklir (Basa Basi 2021) dipastikan dalam metafisika kuasa kehadirannya bakal memaksakan tafsir, sehingga penting untuk diasingkan. Akan tetapi jika dalam seni menafsirkan, sebagaimana Heidegger katakan ‘penafsiran dan pemahaman adalah satu dan sama,’ dan dengan demikian menulis dan membaca adalah sejenis dan serupa, maka Anak Gunung adalah novel hasil strategi pemaknaan dari pengarang yang membingungkan dalam pengertian selalu menunda-nunda tangkapan makna untuk diri dan para pembacanya. Boleh jadi kebebasan tafsir pembaca pun meragukan keteguhannya, oleh karena mesti berhadapan dengan kebebasan lain yang mengincarnya.[]


Penulis:

S. Jai.  Lahir di Kediri, 4 Februari 1972.  Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019), masuk 10 besar penghargaan sastra nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019).  Tinggal di Lamongan.

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *