Resensi Buku
Membaca “Asu” yang Ada di Sekitar Kita

Membaca “Asu” yang Ada di Sekitar Kita

Judul: Tak Ada Asu di Antara Kita
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2023
Tebal: 103 Halaman
ISBN: 978-602-06-6727-0

“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya, “Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” timpal saya.

PENGGALAN dialog cerpen Jalan Asu di atas menjadi perkenalan pertama saya dengan kata “Asu” pada karya-karya Joko Pinurbo. Begitu pun dengan puisi-puisinya yang tegas dan sederhana, kita bisa melihat kepiawaiannya mengolah kata “Asu” menjadi bermakna. Joko Pinurbo merepresentasikan makna itu sebagai bagian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, menjelma menjadi umpatan yang mengekspresikan kejengkelan atau kemarahan juga bisa menjadi candaan keakraban antar sahabat bagi sebagian orang.

Kini, makna itu kembali dieksplorasi melalui Buku Kumpulan Cerita Tak Ada Asu di Antara Kita yang secara resmi dirilis di awal tahun 2023. Seperti halnya tema puisi-puisinya yang pernah kita baca, Jokpin—sapaan akrabnya—menyajikan cerita-cerita dari hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, namun kadang luput dari perhatian. Sebagian besar cerita memotret realitas masyarakat kecil dengan gaya jenaka tanpa meninggalkan ciri khas penyair, puitis.

Kita bisa merasakan kejenakaan itu melalui cerpen Siraman Rohani yang menceritakan kenakalan seorang remaja bengal bernama Kasbullah yang senang mencoreti tembok rumah orang. Orang tua Kasbullah telah memberi berbagai nasihat agar ia memperbaiki kelakuannya, terutama misuh dengan kata asu. Cerpen ini menyinggung problematika sosial dengan menggelitik lewat selipan humor pada tiap adegan cerita.

“Seorang lelaki tua sedang memperhatikan coretan coretan di dinding rumahnya saat seekor anjing berbulu cokelat lewat. Melihat tulisan “asu” di tembok, si anjing mendadak berhenti, kemudian mengonggong. Lelaki tua itu segera masuk ke dalam rumahnya, takut dituduh si anjing dialah yang menulis kata asu. Si anjing nyelonong ke teras rumahnya dan duduk di depan pintu.” (halaman 4).

Pada cerpen Pak RT, Jokpin menuangkan gagasan mengenai figur pemimpin jujur nan menyenangkan. Sosok pemimpin jujur yang tidak bersikap politis, cenderung apa adanya. Hal ini ditunjukkan lewat upaya tokoh aku mengajak Pak RT bermain film horor, namun ditolak karena sadar merasa tak mampu bermain peran.

“Sampean ini ada-ada saja. Memberi sambutan di depan warga saja saya grogi dan gagap, kok disuruh main film. Emoh! Apalagi film horor. Serem! Saya itu melihat Mak Lampir di televisi aja ketakutan.”

Persoalan keluarga juga diangkat melalui cerpen Perjamuan Petang bersama Keluarga Khong Guan. Kemajuan teknologi membuat menjauh menjadi dekat, dan  sekaligus membuat yang dekat menjadi menjauh. Tradisi makan bersama di meja makan untuk mempersatukan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya perlahan menghilang, seperti halnya mencari keberadaan Ayah yang tak pernah muncul di gambar kaleng biskuit Khong Guan. Momentum berkumpul dengan keluarga adalah momen penting dalam hidup.

Jalan Panjang Seorang Penulis
Jokpin menghadirkan secara khusus terkait proses panjang yang membentuk jalan seorang penulis. Penuh lika-liku, namun harus dijalani dengan sukacita. Peraih anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014 ini mengisahkan jalan kepenulisan pada cerpen Guru Bahagia. Cerpen ini memvisualkan petualangan penulis pemula bersama mentor menulisnya menyusuri bacaan-bacaan yang mereka pelajari. Menulis adalah hasil petualangan dari berbagai bacaan yang memicu imajinasi, kemudian menghasilkan karya dari hasil proses kreatif. Walau tak gampang, penulis harus menemukan jalan menulisnya dengan riang gembira.

Tak berhenti di situ, Jokpin memberikan perdebatan antara dua penyair yang saling bersahabat tentang tulisan di cerpen Duel. Metafora-metafora mewarnai tiap dialog dan adegan dalam cerita.

Markiwo mengeluarkan senjata andalannya. Ia memungut kata hujan dari puisinya dan melemparkannya ke tubuh Pharjudi. Hujan pecah dan muncrat membasahi baju Pharjudi. Pharjudi membalas. Ia mengeluarkan senjata andalannya. Ia mengambil kata kopi dari puisinya dan melontarkannya ke tubuh Markiwo. Kopi pecah dan muncrat mengotori baju Markiwo.” (Halaman 76).

Cerita ini pada dasarnya membahas teknik menulis  yang dirangkai dalam percakapan oleh penulis itu sendiri. Mengelola kalimat, imbuhan, memakai diksi, membuat metafora, membuat majas, dan seputar kepenulisan sangat beragam dijelaskan dalam cerita.

15 cerita dalam buku ini mengajak pembaca bermain-main melalui kisah yang disampaikan. Merenungkan makna dibalik kegetiran, sekaligus terhibur dengan guyonan membuat buku ini tak membosankan bila dibaca lebih dari sekali. Ilustrasi menarik menambah kekuatan tiap-tiap kisah yang diangkat.

Dengan membaca 103 halaman pada buku, Jokpin mengajak pembaca rehat sejenak dari berbagai kesibukan yang telah dijalani. Menikmati kelucuan melalui karakter dan konflik cerita menjadi hiburan dalam menjalani rutinitas yang erat dengan kebosanan. Melihat “Asu” dengan segala suka dan dukanya di kehidupan semestinya dihadapi dengan tawa, walau hidup tak selalu membalas dengan senyum. []


Penulis:

Arwin Andrew lahir di Tenggarong, Februari 1998. Beberapa resensinya pernah terbit di media massa dan daring. Di kala waktu senggang, senang mendengarkan musik Country dan membaca berbagai jenis genre buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *