Puisi
Puisi <strong>Daffa Allamsyah</strong>Puisi

Puisi Daffa AllamsyahPuisi

Oktober Dan Segala Kenangan Yang Terhenti

Kita selalu
meninggalkan jejak:
pada dinding-dinding,
pada pintu-pintu yang tertutup.

Di Sabi yang lengang
kita seringkali tertawa dan 
sama-sama menabung
jalan sendiri-sendiri

dalam buku-buku lusuh.

Kita berbagi kisah:
tentang lantai-lantai yang basah
atau asap-asap yang pecah
pada langit-langit

atau tentang mimpi-mimpi.

Kita bahagia?

Kita senantiasa bahagia,
hanya saja mata kesedihan
seringkali datang dan merampasnya paksa.

Kita bersedih?

Kita tak pernah bersedih,
hanya saja mata kita
seringkali tertipu oleh ilusi-ilusi yang hadir.

Apa yang tersisa?

Tak ada lagi.
Hanya saja kita tak akan lupa berterimakasih
pada berkas-berkas cahaya
yang telah sudi menaungi

kenangan-kenangan.

MAWAR
Tidakkah kau lihat laki-laki itu?

Malam adalah sesuatu yang tak berujung ketika ia hilang dari angin-angin dingin yang menyeruak pada jalan-jalan. Pikirannya hitam, sehitam rumah yang gelap, dan sunyi, dan diam di sudut Distrik Sepuluh. Di luar, kertas-kertas warna sudah mati pada tali-tali yang tergantung di dinding-dinding tinggi, trotoar basah oleh jejak kaki-kaki sibuk. Suara anak-anak yang berlarian atau ringkik keledai yang kelelahan tak lagi punya arti baginya. Isi kepalanya hanya satu: tentang setangkai mawar yang menguncup lalu terbang entah kemana. Entah kemana? Setangkai mawar yang ia temukan pada semak-semak pada pukul tujuh. Mawar yang kesepian. Ia yang kesepian. Mawar itu. Pertemuan itu lalu diberangus saja oleh kejamnya waktu, yang tak mengenal welas-asih pada kasih-sayang, benihnya yang baru tumbuh, tangkainya, atau dedaunannya yang hijau atau oranye. Ia hanya ingin agar pertemuan itu lebih lama, hingga ia bisa menghirup dalam-dalam semerbak harumnya, hingga masuk ke dalam tubuhnya, paru-paru, nadi-nadi yang dalam, lalu meresap ke serat-serat jantung. Tapi waktu selalu enggan untuk paham. Mawar—yang mekar itu—menguncup lalu terbang bersama hembusan sepoi-sepoi kemana entah. Kemana entah? Dan yang tersisa kini hanya rasa sakit yang menyeruak di sekujur tubuh, yang membuat malam abadi, yang membuat segalanya—baginya—sirna di tengah-tengah Darrasah yang tak lagi punya bentuk. Pertemuan dengan mawar adalah puisi yang ia sendiri tak pahami. Jemarinya selalu saja bungkam ketika akan menuliskannya dalam baris-baris. Pertemuan dengan mawar adalah tangis yang ia sendiri tak harapkan. Ia menangis, namun selalu saja tak ada air mata yang jatuh.

DALAM GELAP
Dia mengerang-meraung
bagai singa, kala menggapit ia mangsa
Aku berdiri dan menerawang
Ke dalam rerimbun gelap
Dia meraut-raut
telinganya,
hidungnya,
matanya
Darah-darah ku tengok menetes
Aku di sini cuma bisa menggarukkan jemari
pada rerambut
Kini dia memaki-caci
Dungu buta, bengis!
katanya
Aku duduk, masih menerawang

Ia mati.

A PLAGUE TALE
Lentera jalan yang sudah lama padam
berdiri saja seorang diri
di pinggir jalan kecil
di kota yang tak tertera lagi
pada alamat, pada buku-buku.

Ia senang sekali
mendengarkan angin bercerita.

“Di Guyenne sana,” ia memulai ceritanya,
“pernah ada kisah tentang kasih
yang seperti tali yang dikekang begitu kuat,
yang tak bisa putus.
Akan tetapi,
hidup adalah soneta tak bertuan,
yang selalu punya ujung.

Pernah ada seorang anak
yang menembus padang-padang ilalang,
juga membelah laut,
untuk suatu mimpi,
untuk hal yang akhirnya
tak pernah dimiliki oleh dunia kita
yang sakit, yang penuh rasa haus:
apa yang kita sebut sebagai
kedamaian serta kebahagiaan.

Namun, kasih, seperti yang kubilang,
selalu saja begitu kuat.
Ia menyelimuti sang anak dari dinginnya
tangan-tangan hitam
dan dari gelapnya malam pada kota-kota,
seperti kota mati kita ini.

Anak itu menyukai keramaian,
ia suka berlari di tanah-tanah lapang.
Sangat periang. Senang tertawa.
Dia..
anak yang baik hati,
sangat baik hati.

Kasih selalu membersamainya,
kasih adalah peluhnya,
kasih adalah senyumnya.

Akan tetapi,
hidup adalah soneta tak bertuan,
yang kehilangan huruf-huruf,
yang tak berima,
yang pada akhirnya
selalu punya ujung pada baris keempat belas.

Semua kasih itu berakhir
di Marseille yang hancur.
Semuanya berakhir… “

Gerimis membasahi kota kecil itu.

***

Amicia,
aku berterimakasih untuk semua hal:
gemericik-gemericik air pada sungai yang kita buat,
tangkai-tangkai bunga ranum yang kita petik, atau
tentangmu yang selalu melindungi
dan menuntunku sejauh ini.

Aku begitu bahagia bisa bersamamu.
Aku selalu menyayangimu.

Selamat tinggal,
Amicia.

SAJAK 13 JULI
Rembulan yang merekam
Kebersamaan beberapa budak kerdil
Tertawa bersama-sama gemintang
Yang raib ditelan pendar cahaya kota
Atau barangkali ia bersedih
Dan iri sebab kesendiriannya
Sehingga menuliskan sebuah sajak
Tak bertinta yang takkan pernah
Sampai pada mentari
Demikianlah
Sehingga bara api jadi saksi
Reruntuhan bangunan ogah menginterupsi
Ketika daging-daging panas itu dieksekusi
Dalam ketakberdayaannya
Melawan hakikat bahwa
Ia bukan lagi sesuatu yang ada
Segala canda tak pernah abadi
Namun, setidaknya satu hal
Yang mereka syukuri adalah
Canda itu pernah hadir
Mengisi relung-relung hati yang hampa
Hingga akhirnya harus sirna
Sedangkan buih-buih soda
Merupakan penutup perjumpaan mereka
Di sebuah tempat tak bernama
Atau tak ternama
Dalam peluk hangat persahabatan.


Penulis:

Daffa Allamsyah (dobel ‘f’ dan ‘l’), mahasiswa sarjana tahun pertama Sastra dan Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo. Bisa dihubungi di Facebook: Daffa Allamsyah atau Instagram: allam_syah_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *