Puisi
Puisi Nafiabe

Puisi Nafiabe

Mothers of Srebrenica

Sejak Juli 1995, hujan masih terus pecah ke Srebrenica dan Sarajevo.
Sebuah tugu peringatan, dan aroma luka tanah Potocari
telah sama-sama meneruskan kesedihan
bagai reranting zaitun melewati pagar-pagar kayu masa lalu
menuju semesta diri. Kesedihan terus memanjang
membuat kami hampir kewalahan mengirisinya dengan karambit
yang kami peroleh dari dapur-dapur ingatan.

Peristiwa telah mengajari kami menjadi pecahan batu
sebagai penguat berdirinya monumen Potocari.
Juga mayat-mayat yang hanya menyisihkan nama-nama
untuk dipahat sebagai perhormatan dan tata cara mengenang.

Suami dan anak-anak kami adalah simfoni hujan yang malang.
“Dešava li se ovo često?” harusnya tak pernah ada pertanyaan ini.
Sebab cuaca dan musim telah gagal membaca kami.

Tubuh mereka diseret kecemburuan dan balas dendam.
Darah berjatuhan, mengaliri akar, melebatkan sebuah pohon.
Haruskah waktu meminta kami menjadi penebang pohon?
Kami rasa, derai-derai air mata telah bersepakat mendapat jawabannya, mi ne znamo.
Meski begitu, kehidupan tetaplah seperti arus angka delapan,
dan kami masih bersusah payah belajar menemukan cara menyeberangi persimpangan.

Darah-Darah Kota
:Hasan Nuhanović

Kaularung doa-doa seperti daun hanyut terbawa arus Sungai Bosna.
Kaudengar parau ribuan suara di dalam kepala,
sekeras ledakan altileri jatuh ke tanah kota dan bukit.
Puing-puing ingatan berserak, menuangkan kebekuan ke dalam tubuhmu.
Di hadapan Monumen Potocari,
kau tak pernah pandai menyembunyikan riwayat luka:
“dan langit ialah keranjang bagi harapan dan rasa sakit.
Ia mencintai kelapangan dan tak baik baginya untuk sekadar berkata tidak.”

Tugu Potocari seolah menjadi lembing ingatan
yang senantiasa membujukmu bertandang
ke dalam pepat lanskap masa lalu yang sepia.

/April, 1992
Semenjak Sarajevo merupa arah bagi darah dan nanah,
sejak Sarajevo mulai tenggelam dalam tanah,
kauringkuk bersama keluargamu di balik getar-gemetar pegunungan.
Namun, kau bukan Izrail yang menjaga garba napas dan awal keabadian.
Tak mampu kaupengaruhi takdir berdasar angan kepalamu.
Tak kautolak, namun ada anafora yang memang harus terhirup.

/Serangan bulan Juni
Gemuruh pesawat tempur bagai banjir yang pecah pada altar waktu.
Desa yang lumpuh, gedung yang runtuh, dan kebun yang keruh.
“Aku tidak bisa melihat lesatan jet,
tetapi ketakutan selalu bengal gelagatnya di ujung masa depan.
Mereka menjelma neraka bagi tanah rahim kehidupan.” katamu.

Dingin pegunungan mencengkam tubuhmu, tanpa roti ustipci,
atau cevapi. Tak mampu kautemukan penawar bagi rasa lapar.
Hingga menerbitkan risiko menyingkir ke Srebrenica.
Kauyakini tiap perjalanan memang selalu diawali dengan kecemasan.

Jalan darat penuh lubang kematian,
seperti karambit yang siap mengancam kulit lehermu.
Tak bisa kaurelakan kematian hanya sebatas percaya pada kepasrahan
tanpa upaya dari seluruh ragamu.
Terpaksa kautuntun tubuhmu menuruni tebing curam di malam hari,
lalu turun ke sungai. Perahu kaulayarkan menuju ketenangan angin.
Saat fajar menyingsing, penembakan dimulai lagi,
tetapi kau bersyukur masih dianugerahi napas yang sama,
ketika pertama kali kakimu berhasil memijak Srebrenica.

Tetapi sungguh kenyataan memang sukar ditakar
walau ribuan muslihat tampak benar-benar tergenggam.
Srebrenica dikepung.
Mereka mengebom kota—dengan artileri dari udara—selama enam bulan.
Orang-orang berhambur seperti kapas memenuhi seluruh mata angin.
Desa terbakar, pekik tangis merupa simfoni sumbang kepiluan,
membuat telinga selalu ingin dipotong sejenak
agar tak ada suara yang masuk dan menggegarkan hati.

Banyak yang terbata mengelus perutnya sekadar menenangkan rasa lapar.
Hingga terpaksa mengambil jatah ternak dari silo untuk dimakan.

/Juli 1993
Pejuang tak lagi kebal menahan kelurusan garis,
meski Dewan PBB menyatakan Srebrenica sebagai daerah aman.

/6 Juli 1993
Serangan dimulai lagi.
Walau begitu, kau telah terlanjur menguat janji kepada orang tuamu
bahwa saudara laki-lakimu telah terlalu jauh menoreh jarak.
Jika tampaknya kota akan jatuh,
kau harus memasang badan, mengentaskan ketakutan
dan bersiap menjadi seorang lelaki, menjemputnya.
Itu berarti kau harus rela melepaskan pelukan ayah ibumu di pangkalan.

/12 Juli 1993
Ketika pasukan Serbia tiba,
dan Dutchbat diberi amanat melindungi.
Namun justru mereka bukanlah perawat yang baik bagi tiap tanggungjawab.
Semua pria dan anak laki-laki dipilin,
serta mendeportasi semua wanita dan anak perempuan.
Termasuk ayahmu, digiring seolah ke tempat aman.
Bertahun baru kausadari mereka dituntun ke dalam jurang kematian.

23 tahun kemudian,
kau terus menggali kabar putih dari orang-orang hilang.
Jiwamu menggelepar, langit dan bumi turut bergetar,
tiap kali kekosongan memunculkan raut wajahnya pada daftar nama.
Apalagi, nama keluargamu sulit sekali tertuang di dalamnya.
Kau selalu kerepotan tiap membetulkan gairah hidupmu
ketika telingamu terbuka oleh kabar kosong dan tak terbaca.
Dan kesedihan selalu merupa lembing yang menancap pada kerak jantungmu.

Sungguh, tak kau pikirkan keadilan.
Percuma saja, jalan menujunya penuh semak berduri.
Bagimu, cukup bebotol angan hanya tertuang oleh jejak-jejak kebenaran.
Kau hanya ingin mencari tahu sebab apa darah dibiarkan pecah,
tanpa ada yang berani menyusun kembali potongan-potongannya.

Kau senantiasa memohon kepada penguasa,
namun selalu kautemui kelokan jalan
yang memaksamu kembali mencium aroma kesia-siaan.

Sebab perang telah menemui akhir,
kau tidak berharap untuk menang atas apapun
atau kalah atas alasan bagaimanapun.
Meski kauyakini, harapan, sekalipun tak mungkin patah oleh waktu.
Di ujung angan, selalu ada kebenaran yang perlu diperjuangkan.

Hingga akhirnya, belasan tahun berlalu.
Kebenaran atas keluargamu menguar ke permukaan.
Sebagai penghormatan dan ritus seluruh ingatan
kau merasa perlu mendirikan rumah untuk mereka di pusara Potocari.

Meski segala sesuatu telah mengalami anasir akhir,
tetapi kau yakini, cerita masih belumlah berakhir.

Mars Mira 1

Malam yang darah di atas Marsala Tita,
teguh mencipta petir untuk menggetarkan hati bertahun-tahun.
Angin membawa kami merumuskan petir paling getir
sebagai jalan mengingati bau tubuh mereka.

Jalan kematian tepat berada pada bulan Juli,
yang bersitatap dengan derai-derai air mata dan jerit-tangis

Dari Sarajevo yang penuh lolongan
ke Sebrenica, tempat kubur-kubur ingatan.
Kami kesulitan menjelajahi belantara waktu yang bercabang dan penuh jurang.
Lebih dari 20 tahun, masih kami dapati tulang belulang
sebagai catatan hitam pemusnahan besar-besaran
serta sebagai tangan-tangan yang menitipkan doa bagi para pengingat.

Di depan Monumen Potocari
kami pandangi luka yang membumbung ke angkasa seperti balon gas
atau rasa sakit yang teramat lambat jalannya menuju tempat kembali.
Bunga krokus gugur satu persatu seperti membisikan luapan paling haru
ke dalam lengang telinga yang lapang ditumbuhi kepedihan.
Luka yang keterlaluan senantiasa berdegap tak beraturan
usai nama-nama dalam nisan menempati tempat paling dalam dari balik dada.

Pagi, mungkin tak lagi berlalu dengan perputaran yang sama
namun matahari tetap mencipta bayangan di segala arah
seperti napas mereka yang tak pernah hilang arah atau menemui jalan buntu
meski kematian telah menerbangkannya memasuki pintu-pintu surga.

Mars Mira 2

Dari Nezuk ke Potocari, kesunyian meriwayatkan potongan-potangan masa lalu
yang menempal dalam dahan-dahan kesuraman Konjevic.
Kami menerima lenguh-peluh ketika hamparan luka bercabang
membentuk hutan-hutan waktu yang retak dan terus membayang.

Dari Nezuk ke Potocari, kesunyian menyabda diri sebagai mimpi buruk
yang berlumut pada tembok-tembok Vilina Vlas.
Jerit dan tangis seperti koridor gelap yang tak memiliki ujung.
Cahaya kusut dari mayat-mayat yang mencoba hidup kembali
melalui napas yang berembus dari masa lalu.

Dari Nezuk ke Potocari, kesunyian bertumpuk dengan kebisuan kota.
Ia berkibar dalam jantung yang menghitung jejak-jejak luka dan kehilangan.
Riuh tangis Srebrenica semakin melebar ke arah dada.
Meski sukar, namun kami telah sama-sama belajar mencium aroma luka dan kegetiran
menjadi degup perasaan yang terus menjulang ke mega-mega
dan tumbuh di langit menjadi taman yang tabah menerima kesedihan.

Meski perjalanan menjadi terlunta, dan kisah-kisah tak sanggup selesai
sebab air mata akan tetap mendahului kalimat-kalimat
yang keluar dari lorong gelap dan berlipat.
Namun, jiwa-jiwa yang terkubur tak akan pernah benar-benar mengalami kematian.

Melihat Lukisan

Di dalam lukisan, seorang ibu
menyimpan karambit dalam jantungmu.
Safet Zec, juru lukis itu,
berdiri di telapak wartawan,
tak tahu harus menolong siapa
dan sebab apa.
Ia hanya stasiun bawah tanah.

Lukisan itu menyodorkan surat,
hatimu membaca dengan lambat.
“Kenang dan kenali aku
sebagai anak dari episode kacau.”

Lukisan itu mengajakmu bertandang
ke manuskrip imaji.
Tapi ia pikun mengajari bersikap
pada musim yang banyak omong
di depan introvert kota.

Barangkali, kau pernah takut
meski hari ini lebih karut.
Malam menggandeng maut,
membawa pensil warna dan melingkari nama-nama.
Justru dari itu kau temui muasal sesal.

Hidup lebih maut
dari mati.

Di Bekas Sebuah Restoran

Masih terbit riak Ovo Nebo Nad Nama
dari remuk-retak mozarab.
Senyum yang dadu, ringkus.
Menanggal senak pada liang luka.

“Pada kelok tiap irama,
suaramu serak dan tua.
Aku mencarimu, Almina.
Kau lebih jeli dari didih uap begova.”

Sebuah Simbol di Vijecnica

Seperti 29 tahun silam,
sebuah perpustakaan tua menjarah jiwamu.
Pikiranmu runcing.
Buku-buku ialah pertanyaan
berulang pada lebam mata
mayat hidup: kau.

Waktu bagimu
ialah homograf.
Terlalu malang ingatanmu
menjadi ahli tafsir.

Kau terisap
ke dalam warna dinding:
Taram temaram

Margin buku yang robek
ialah bahasa yang bersembunyi
di ketiak bencana.
Huruf-huruf
kerap menjerit,
menukik seperti diftong.

Bahasa tak mungkin rusak.
Sebab kau selalu cerdik
menyusun tata cara mengenang:
ledakan,
tanah raib,
atau
suara bisu.

Meski,
setelah 29 tahun,
tetap tak kunjung bagimu
menemukan friksi
dalam sebuah simbol.

Tugu Potocari

Tugu ini bagai bendera
yang kelebatnya mengultus nama-nama.

Silik orang Chetnik
ke jantung pasar dan kota.
Artileri tumpah
menjadikan abu, dan langit berwarna merah.
Maut membekalimu pakaian
ketika sepasang malaikat mulai bertanya.
Cukupkan doa sebagai mata air.
Sedang api
hanyalah derita,
sementara.

Nama-nama
kerap meloncat dari ukir batu.
Hidup dan berberita,
“punggungku ranggas ke tubuh surga,
hilangkan iman pada khawatir.
Sebab ia pengidap makna sia-sia.”


Penulis:

Nafiabe. Menulis puisi dan cerpen. Bergiat di Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar dan Forum Malam Sastra Pandawa. Karya-karyanya tersiar di beberapa media cetak maupun online dan beberapa kali menjuarai ajang perlombaan menulis tingkat nasional. Selain itu, saat ini Penulis juga sedang merintis usaha penerbitan buku Sirus Media. Penulis bisa dihubungi melalui surel [email protected] atau akun media sosial Nafiabe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *