Esai
Rendra: Romantisme Sekaligus Perlawanan

Rendra: Romantisme Sekaligus Perlawanan

Solo melahirkan dua legenda dalam konstelasi sastra Indonesia. Dua legenda itul adalah Sapardi Djoko Damono dan WS. Rendra. Posisi WS. Rendra sangatlah penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Rendralah penyair Indonesia setelah era Chairil Anwar yang paling banyak dibicarakan oleh publik sastra, karena memelopori gaya penulisan puisi yang  naratif. Rendra lahir  di Solo, 7 November 1935 dan wafat di Depok, 6 Agustus 2009 .

Rendra sebagai seorang penyair, dramawan, sekaligus budayawan memiliki daya pukau yang besar. Tradisi penulisan puisi Indonesia modern mencatat bahwa Rendra memberikan sumbangan penting dalam estetika perpuisian Indonesia. Boleh dikatakan, Ia lah yang melanjutkan cita-cita Chairil untuk terus memperbarui estetika puisi-puisi Indonesia.

Puisi-puisinya yang memukau pertama kali dipublikasikan sekitar tahun 1954, dan semenjak itu puisi-puisi mengalir deras. Ketika para penyair sezamannya tumbuh dengan tradisi pengucapan liris atau lirik, Redra memilih mengusung epik dalam bentuk balada. Rendra pada awal kepenyairannya menggali khazanah cerita rakyat sebagai sumber inspirasi penciptaan puisi-puisinya.

Kumpulan puisinya yang pertama adalah Ballada Orang-Orang Tercinta (terbit 1957) jelas-jelas menunjukkan penggaliannya atas epik-epik folklore utamanya folklore Jawa. Puisi-puisi di kumpulan  itu di antaranya Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, Ballada Gadisnya Jamil Si Jagoan, Ballada Anitta, Perempuan Sial, Ballada Ibu yang dibunuh, Ballada Sumilah, Ballada Kasan dan Patima, Ballada Lelaki Tanah Kapur, dan puisi lainnya menunjukkan penggalian yang serius atas irama, metafora, simbol, tema, dan bentuk yang mengacu pada eksploitasi tradisi folklore. Tak mengherankan, kumpulan puisi yang indah ini segera meraih Hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan nasional (BMKN) sekaligus mengukuhkannya sebagai salah satu penyair terbaik di tahun itu. Sampai sekarang kumpulan puisi Ballada Orang-orang Tercinta itu dianggapsebagai salah buku puisi terindah dalam jagat perpuisian Indonesia, sehingga mengalami cetak ulang ketujuh, rekor yang belum dapat disaingi oleh buku puisi penyair lain.

Betapa dalamnya Rendra dalam mengekplorasi epik foklrore dan betapa kuatnya diksi, irami, metafora, dan imaji puisi-puisinya di Ballada Orang-orang Tercinta,  bisa kita amati dalam puisi Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo di bawah ini:

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

– Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana Ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empaqt arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.
– Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya, tapi masih setan ia
Menggertak kuda di tiap ayun , menungging kepala.

– Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan sorak-sorai, anggur darah

Joko pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya

Setelah buku puisinya yang pertama terbit, segera diikuti penerbitan buku-buku puisinya berikutnya, seperti, Rendra: Empat Kumpulan Sejarah, Blues untuk Bonie, Sajak-Sajak Sepatu Tua, Potret Pembangunan dalam Puisi, Puisi-Puisi Cinta, Stanza dan Blues, Doa Anak Cucu, Panembahan Reso (drama), Disebabkan Oleh Angin, Ia Sudah Bertualang (kumpulan cerpen), Kisah Perjuangan Suku Naga (drama), Perjalanan Bu Aminah, Dari Rangkas Bitung. Setiap acara pembacaan puisinya selalu dijejali para penonton. Dan, Rendralah, dan sebagainya.

Rendra sejak pertama kali mengumumkan puisi-puisinya pada usia 19 tahun dan  terus menulis sajak selama lebih dari lima puluh tahun, tanpa henti. Berbeda dengan kebanyakan para penyair Indonesia lain yang arts brevis vita longa—seni pendek tapi hidup panjang, berbeda pula dengan Chairil Anwar yang usia pendek tapi karya panjang, Rendra dikaruniai hidup panjang dan tetap menulis sampai akhir hayatnya, tetap berkesenian, tetap berpuisi.

Rendra juga mencatat sejarah sebagai satu-satunya penyair Indonesia yang kali pertama mampu membuat acara baca puisi menjadi acara yang elitis dan mahal. Sebagai seorang pribadi, kehidupan Rendra menjadi bahan pembicaraannya yang menarik, hidupnya sangat colour full,  karismatik, menegangkan, dan penuh pesona, benar-benar seperti seekor burung merak yang indah. Sapardi menyebutnya sebagai ‘penyihir yang menyihir kita dengan dunia rekaannya yang fantastik.

Bahkan di saat usianya merambat matang, Rendra mampu menjadi salah satu sastrawan yang kritis yang menginkan perubahan, baik perubahan politik maupun perubahan sosial. Ia menjadi ikon perlawanan. Nama Rendra mengingatkan kita pada perlawanan, ketidakadilan, perubahan, penindasan, kemunafikan, bahaya kekuasaan, kemiskinan. Sajak-sajaknya yang berupa pamflet, protes sosial, menjadikan Rendra sebagai seorang penyair yang lantang, gagah, kritis, dan tegar. Sungguhpun demikian, sebenarnya dalam perjalanan panjang kepenyairannya, Rendra juga menulis puisi yang indah, puitis, romantis, dan sentimentil tentang kejujuran, cinta, dan  kesetiaan.

Keunggulan Rendra dibanding penyair-penyair Indonesia lainnya adalah kemampuannya menulis puisi-puisi naratif yang panjang. Dan sampai sekarang bentuk-bentuk naratif yang panjang-panjang, namun indah, berirama dan kuat metoranya, sebagai ciri khas Rendra ini, belum ada yang sanggup mengepigonnya.

Dengan kemampuannya menulis puisi-puisi naratif yang panjang itu, Rendra leluasa membangun citraan-citraan yang indah, ritmis, tak terduga, dan memikat. Dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang cinta dan kesetiaan, Rendra menampilkan simbol-simbol yang indah, sederhana namun memikat, segar, dan mampu membangun imaji pembacanya. Marilah kita lihat keindahan dalam cuplikan puisi panjangnya Surat Cinta.

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah.
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!
………
Engkau adalah putri duyung
tawananku

engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengerjap-ngerjapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
………

Dengan memanfaatkan natural symbols, Rendra berhasil membangun citraan kegelisahan dan kegalauan hatinya, harap-harap cemasnya saat menulis cinta buat kekasihnya seperti bunyi tambur serta angin yang mendesah. Kekasih dambaan hatinya pun disimbolkannya dengan sangat mengejutkan: seekor putri duyung.

Dalam puisinya yang lain, berjudul  Kangen, dengan sangat romantis dan simbolis ia menulis /kau tak akan mengerti kesepianku/menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/kau tak akan mengerti segala lukaku/karna cinta telah sembunyikan pisaunya/membayangkan wajahmu adalah siksa/kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan/engkau telah menjadi racun bagi darahku/apabila aku dalam kangen dan sepi/itulah berarti/aku tungku tanpa api/. Dalam puisi tersebut tampak betapa segarnya simbol-simbol yang digunakan Rendra, kesepian mengharap cinta kekasih disimbolkannya dengan kemerdekaan tanpa cinta, wajah kekasih diibaratkannya sebagai racun bagi darahku. Dan, dengan sangat imajinatif dicitrakannya hatinya saat rindu sebagai tungku tanpa api.

Tak hanya dengan kekasihnya, cinta Rendra kepada ibunya pun dilukiskannya dengan sangat romantis dan simbolis. Bunda baginya /engkau adalah bumi, mama/…/engkau adalah kesuburan/…/kuciumi wajahmu wangi kopi/dan juga kuinjaki sambil pergi/kerna wajah bunda adalah bumi/cinta dan korban tak bisa dibagi/ (sajak Ibunda). Dalam sajaknya yang lain, Nyanyi Bunda yang Manis, ia melukiskan ketulusan ibu sebagai tanah yang dibajak dan diinjak adalah hati bunda,atau hati bunda adalah belantara yang rela terbuka.

Lalu bagaimanakah Rendra saat dengan lantang menulis puisi perlawanan? Adakah ia mengabaikan kekuatan citraannya yang indah?

Keberpihakan Rendra terhadap wong cilik yang tertindas tertuang dalam sebuah larik puisi yang nantinya akan menjadi semacam kredo kepenyairannya:

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata

Rendra sadar betul bahwa saat ia memutuskan menulis puisi pamflet, meletakkan puisi sebagai alat perjuangan dan perlawanan, maka ia akan cenderung meminimalkan simbol, meminimalkan figurative language dan lebih mengutamakan conkreed words. Namun, di sisi lain, Rendra juga sadar bahwa kekuatan seorang penyair adalah pada kata-kata, untuk itu ia tidak sepenuhnya meninggalkan metafora-metafora tetapi memilih metofora yang tidak rumit dan menyusun metafora-metafora tersebut dalam komposisi yang indah. Puisi di atas merupakan contoh yang baik betapa puisi pamflet Rendra tak kehilangan keindahannya.

Sejak awal kepenyairannya, kelebihan Rendra adalah dengan cerdik menghidupkan tokoh-tokoh dalam puisi-puisinya sehingga kekuatan bahasa digeser menjadi kekuatan dramatik para tokoh dalam puisinya. Maka muncullah sajak-sajak yang penuh citraan dramatik-visual. Tokoh-tokoh lama seperti Paman Doblang,  Sumilah, Saija, Adinda, Multatuli,  Bupati Lebak, dan sebagainya dihadirkan kembali dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan perlawanan baru. Tokoh-tokoh dalam sajak-sajak Rendra dihadirkan sebagai `tenaga pembangun konflik` yang akan menghadirkan tikaian batin . Dengan cara itu ungkapan-ungkapan dalam larik-larik sajaknya yang sebenarnya conkreed words menjadi tidak klise, bahkan muncul sebagai kata-kata mutiara, seperti “ketakutan membantu penindasan, dan sikap tak berdaya menyuburkan ketidakadilan”, “tanpa tangan kita kotor, tak bisa kita ciptakan itu firdaus”, atau “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.

Rendra memang “burung merak” yang penuh  pesona. Sumbangsihnya yang besar tak hanya pada dunia puisi Indonesia namun juga pada dunia drama, dan jagat kebudayaan Indonesia. Rendra tak boleh dilupakan.! []


Penulis:

Tjahjono Widarmanto. Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006. Pernah belajar di program doktoral Unesa.

Buku puisinya PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu : PENGANTAR JURNALISTI;Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013) dan MASA DEPAN SASTRA: Mozaik  Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002),  KITAB KELAHIRAN (buku puisI, 2003), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan  DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *