Cerpen
Tiket Tujuan Negeri Senja

Tiket Tujuan Negeri Senja

Untuk merayakan pandemi yang dianggap sudah bisa dikendalikan, pemerintah membuka kembali sebuah loket di Stasiun Tugu Yogyakarta yang pernah menjadi istimewa di zamannya. Ya, istimewa. Loket tersebut pernah menjadikan masyarakat heboh pada tahun 1998.

Loket tersebut dianggap istimewa karena tidak menyediakan tiket kereta api dengan tujuan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Loket tersebut hanya menyediakan tiket ke Negeri Senja. Sebuah tempat yang tidak pernah diketahui orang, kecuali bagi mereka yang pernah ke sana.

Dan kini loket tersebut telah kembali dibuka dan menjadi trending di berbagai media sosial maupun portal pemberitaan. Bahkan viralnya loket tujuan Negeri Senja tersebut mengalahkan isu-isu yang terus muncul dan bahkan ada dugaan sengaja dimunculkan. Berbagai isu yang bermunculan tidak dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari loket yang menyediakan tiket tujuan Negeri Senja tersebut.

Pada dasarnya sama seperti bertahun-tahun yang lalu, jarang sekali ada orang yang berani naik kereta api dengan tujuan Negeri Senja. Naik kereta api dengan tujuan tersebut, berarti siap untuk tidak kembali. Penjaga loket entah sudah berapa ratus kali menerangkan ke orang-orang yang bertanya padanya, tapi anehnya, penjaga tersebut tidak pernah menunjukkan raut wajah yang tidak nyaman karena terus-terusan ditanyai. Ia begitu bisa menjaga sikap profesionalisme dalam bekerja.

“Selalu ada kereta api yang datang ke Stasiun Tugu dengan tujuan Negeri Senja, tapi tidak pernah ada kereta api yang datang dari Negeri Senja tujuan Stasiun Tugu. Jadi, Anda harus mempertimbangkan dengan masak. Tiket ini memang gratis, tapi Anda harus bersiap-siap tidak kembali,” kata petugas loket pada suatu ketika kepada seseorang lelaki yang bertanya mengenai tiket tujuan Negeri Senja.

Kawasan Stasiun Tugu menjadi lebih ramai dari biasanya. Ini tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi berbagai lapisan masyarakat. Para pedagang sudah pasti terkena dampaknya. Para konten kreator, youtuber, hingga fotografer hampir setiap hari ada di stasiun. Mereka membuat berbagai konten yang kreatif. Tentulah ini menjadi keuntungan yang fantastis bagi mereka. Mereka bisa membuat berpuluh-puluh konten untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Wartawan-wartawan dari media hampir setiap hari ada.

Beberapa artis ternama sampai juga menyempatkan diri datang ke Stasiun Tugu, tapi tidak ada yang berani naik kereta api jurusan Negeri Senja. Tokoh-tokoh penting di negeri ini juga sampai datang ke Stasiun Tugu. Hanya demi menjawab rasa penasaran yang sebenarnya tidak benar-benar terjawab. Sebab mengapa? Mereka tidak tahu seperti apa Negeri Senja dan tidak ada orang yang bisa ditanyai mengenai pengalaman berkunjung ke Negeri Senja, sebab tidak pernah ada yang kembali. Dengan demikian, orang yang mencoba membuat informasi hoax mengenai bagaimana suasana Negeri Senja tentunya tidak akan pernah dipercaya.

Sudah hampir tiga bulan semenjak dibukanya tiket tujuan Negeri Senja, tapi belum ada tanda-tanda antusiasme akan surut. Belum ada. Berbagai teori bermunculan, tapi hanya sampai pada ketidakberjawaban.

Ada yang mengatakan bahwa frasa “Negeri Senja” tidak bisa dimaknai dengan heuristik, ia harus dikaji secara hermeneutik atau lebih mendalam. Ada pula yang mengatakan bahwa Negeri Senja yang dimaksud adalah tenggelamnya matahari di arah barat—perlu diketahui bahwa kereta api berangkat ke arah barat.

Ada pula yang mengatakan bahwa Negeri Senja hanyalah kiasan semata. Kemudian ada juga yang berteori, Negeri Senja hanyalah sebuah kebohongan yang dilontarkan pihak stasiun untuk menaikkan animo masyarakat naik kereta api setelah hampir dua tahun dihantam pandemi. Ada yang berkata kalau Negeri Senja berarti kematian, sebab yang menuju ke sana tidak pernah kembali. Semuanya hanyalah teori. Sementara itu informasi dari petugas loket tidak pernah berubah. Tidak ada yang bisa kembali setelah menaiki kereta api tujuan Negeri Senja—dan mengenai hal ini tidak ada satu pun orang yang bisa menjelaskan mengapa bisa terjadi.

Meski demikian, tetap ada orang yang nekad mencoba, meski jumlahnya hanya sebatas hitungan jari. Saat keluarga orang yang memutuskan berangkat ke Negeri Senja dikonfirmasi, mereka menjawab belum kembali. Hal ini tentunya sudah sesuai dengan apa yang diucapkan petugas loket. Ahh, diksi belum hanyalah penghalusan daripada sebuah kehilangan.

Singkatnya, suasana Stasiun Tugu begitu kompleks untuk digambarkan, apalagi hanya dalam sebuah cerita pendek yang terbatas ruangnya. Mari, alihkan fokus kita ke sepasang manusia yang kebetulan pada hari ini berkunjung ke Stasiun Tugu. Sama seperti kebanyakan orang, mereka berdua penasaran, tapi si perempuan kadar rasa penasaran jauh lebih tinggi daripada si laki-laki.

“Kalau tidak mencoba, bagaimana menjawab rasa penasaran, Salem?” ucap si perempuan, matanya sembari tertuju pada loket yang menyediakan tiket tujuan Negeri Senja.

“Aku belum melamarmu, Karima. Kalau kita tidak bisa kembali bagaimana? Nyatanya yang dikatakan petugas loket itu benar bukan?” respon si laki-laki. Ia sangat was-was.

“Aku sendiri saja yang berangkat, kalau kamu tidak mau.”

Mendengar ucapan si perempuan, jantung si laki-laki hampir copot. Gendeng, pikirnya. Bayangan kehilangan si perempuan seperti langsung ada di hadap mata. Tentu bila itu terjadi akan lebih menyakitkan, ketimbang pergi berdua. Menyakitkan bagi si laki-laki.

“Aku tidak akan mengizinkanmu. Aku tidak siap kalau harus….”

“Maka itu, ayo. Kalau rasa penasaran ini terjawab, kita tidak akan dihantui lagi bukan?”

“Tapi tidak bisa kembali, Karima!”

Si laki-laki bersikeras tidak memberikan izin kepada si perempuan. Ia mengeluarkan rentetan kata-katanya untuk mencegah kepergiannya. Ia juga berulangkali mengatakan, andaikan ada yang kembali ia akan mengizinkan pergi, sehingga rasa penasaran seperti apa Negeri Senja akan terjawab. Mereka bertengkar hebat. Selain mengundang rasa penasaran, loket Negeri Senja itu ternyata juga mengundang pertengkaran.

Si perempuan tidak peduli. Ia terus menandingi ucapan si laki-laki dan setiap untaian katanya selalu bisa memposisikan dirinya sebagai pihak yang benar. Artinya ia tidak salah, apabila mencoba naik kereta api tujuan Negeri Senja itu.

Si laki-laki kemudian mengalami apes. Ketika ia mengasari perempuannya karena sudah tersulut emosi, beberapa orang melerai dan mendorongnya dengan kasar. Ada yang mengatakan tindakan tersebut tidak sepatutnya dilakukan oleh si laki-laki. Apa daya, si laki-laki tidak kuasa, ia berhadapan dengan banyak orang.

Akhirnya si perempuan benar-benar berangkat ke Negeri Senja. Maka patah hatilah si laki-laki. Meski hatinya dikuasai rasa marah, tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyayangkan keputusan kekasihnya, hanya dalam rangka menjawab rasa penasaran, seperti apa Negeri Senja itu.

Seperti yang dikatakan oleh petugas loket, si perempuan itu nyatanya tidak pernah kembali. Si laki-laki beberapa kali sempat berkunjung ke Stasiun Tugu. Ia berharap si perempuannya tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia begitu merasa kehilangan. Dan hari ini adalah hari yang keempat belas, semenjak si perempuan itu pergi ke Negeri Senja. Hancur lebur sudah hatinya. Ketika ia mengingat-ingat kebersamaan dengan perempuannya, air matanya hampir tumpah.

Hpnya berdering untuk yang kesekian kalinya. Hampir setiap hari hpnya berdering. Maksudnya berdering karena telepon dari keluarga si perempuan. Terus menanyakan apakah ada kabar mengenai si perempuan. Sementara itu ayah si perempuan seperti meminta pertanggungjawabannya, seakan-akan kepergiannya karena dirinya. Padahal ia sudah berusaha mencegah untuk tidak pergi. Hancur. Hatinya benar-benar hancur.

Saat sedang menikmati hatinya yang hancur, si laki-laki melihat beberapa aparat berseragam mendekati loket yang menyediakan tiket ke Negeri Senja, seperti sedang mengawal seseorang. Orang-orang berkerumun. Wartawan-wartawan dengan susah payah berdesakan. Berbagai lapisan masyarakat juga seperti antusias, mengikuti aparat itu dan ada yang membentuk jalan untuk lewat.

Presiden ternyata berkunjung ke Stasiun Tugu. Si laki-laki berhasil melihat Presiden secara utuh. Kesedihannya menghilang. Tiba-tiba ia merasa bangga bisa melihat presiden secara langsung. Tentunya ini menjadi sebuah momentum yang langka. Kapan lagi bisa melihat secara langsung orang nomor satu di Indonesia?

Presiden tampak berbincang-bincang dengan petugas loket. Entah apa yang diperbincangkan, si laki-laki itu tidak tahu. Yang ia lakukan adalah hanya terus mencoba sedekat mungkin dengan Presiden. Beberapa menit kemudian perbincangan itu selesai dan Presiden langsung dihadang puluhan wartawan. Sementara itu dengan kegigihannya, si laki-laki itu berhasil berada pada jarak yang begitu dekat dengan Presiden. Ia mengambil gambar Presiden dengan hpnya.

Lalu si laki-laki mendengar sebuah pertanyaan dari seorang wartawan usai Presiden selesai memberikan keterangannya mengenai kunjungannya tersebut. Pertanyaan itu yang kemudian membuat si laki-laki timbul anggapan kalau pertanyaan wartawan itu terlalu bodoh.

“Apakah Bapak tidak berniat mencoba kereta api jurusan Negeri Senja?”
“Memangnya saya sudah gila? Kalau sekarang 2024, saya akan pergi!”

*terinspirasi cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul “Tujuan: Negeri Senja”

Kamar Tidur, 2022-2023


Penulis:

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tahun 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Buku budaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bekerja di ristanmedia.co.id. Bermukim di Pleret, Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *