Cerpen
Penumpang Gelap

Penumpang Gelap

Ketika Pak Nandar sedang menasihati anak semata wayangnya, sang anak malah asyik mengutak-atik ponsel baru yang dibelikan ibunya. Ia khawatir, anaknya yang masih kelas tiga SMP itu membuka-buka aplikasi atau berbagai situs dan iklan yang kurang pantas dilihat anak-anak seusianya. Kalau sebatas platform yang terkait dengan pelajaran di sekolahnya sih enggak apa-apa. Atau hanya sekadar membuka-buka musik di kanal YouTube, walaupun tidak jarang jenis-jenis musik yang dianggap senewen dan kurang pantas untuk anak-anak usia belasan tahun.

Rini, anaknya itu, dengan lincahnya menggerakkan jari-jemarinya di layar ponsel baru miliknya, “Ayah ngomong aja terus, Rini denger kok.”

Tapi, sang ayah menyudahi pembicaraannya, sambil ngeloyor pergi menutup pintu kamarnya. Bu Meti istrinya, yang biasanya melerai bila ada perselisihan antara sang ayah dan puterinya, tidak ada di tempat, karena sedang mengikuti acara pengajian Jumat di masjid kampung.

Beberapa aplikasi di ponsel yang kebanyakan terhubung dengan koneksi internet, selama beberapa tahun ini menjadi ganjalan serius di hati Pak Nandar. Terlebih ketika ia sedang menyetir mobil, lalu melihat pengendara lain, baik yang bermobil bahkan bermotor, kadang seenaknya menelepon sambil melaju kencang. Padahal, Pak Nandar, ketika menghadapi suatu masalah, dia tergolong tipikal lelaki yang sabar dan santun. Tapi, ketika menghadapi urusan internet, tiba-tiba romannya jadi galak dan kata-katanya jadi ketus.

Kalau menyaksikan anak dan istrinya sibuk bermain ponsel selama berjam-jam, rasa kesal dan jengkel seakan menjalar ke sekujur tubuhnya. Selama beberapa tahun terakhir, ia sudah berusaha toleran menghargai penemuan mutakhir ini. Sebenarnya, ia menyadari bahwa sikapnya itu telah melawan kodrat dan kata hatinya sendiri. Tapi, ia merasa jengah menghadapi musuh-musuh politiknya yang seenaknya memanfaatkan perangkat teknologi, pada momen yang seharusnya dia bisa menikmati masa-masa senjanya.

Dia sendiri dapat dikatakan belum tua-tua amat, tetapi untuk dibilang muda juga enggak. Di usianya yang menginjak 55 tahun, fisiknya tergolong masih kuat dan segar bugar. Meskipun ia sangat menyukai suasana sepi dan sunyi. Tapi sayang, istri dan anaknya seakan tak pernah membiarkan dirinya dalam kesunyian dan keheningan. Si istri kadang menonton sinetron, sementara anaknya menyetel musik dengan suara keras, dan jarang ia mau mengenakan earphone di dalam rumah.

Sekarang mereka tinggal bersama-sama dalam sebuah rumah kecil yang letaknya agak jauh dari pusat kota Serang, sekitar delapan kilometer jaraknya dari pusat keramaian dan tempat-tempat hiburan.

Perbedaan pendapat dengan Rini, makin sulit untuk ditemukan penyelesaiannya, karena bagaimanapun si anak bersikukuh bahwa internet adalah media yang dapat menghubungkan imajinasinya dengan sebanyak mungkin teman dan sahabat dari penjuru dunia. Sedangkan bagi si ayah, jaringan internet telah menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran terhadap privasinya.

Dia telah lama terkekang dalam kemarahannya yang semakin tumbuh atas ketidaksopanan sikap istri dan putrinya, sebagai orang terdekat yang mestinya paham tentang apa yang tidak disukainya.

Ketika sedang menyetir mobil ke arah Pelabuhan Merak, dengan pikiran yang masih berkecamuk dengan kejengkelan, tiba-tiba Pak Nandar melihat seorang laki-laki berjenggot, berperawakan tinggi dan besar. Laki-laki yang usianya sepantaran dengannya itu menjulurkan tangan kanan, memberi tanda untuk meminta tumpangan. Seketika itu, Pak Nandar merasa kasihan dan mengerem kendaraannya.

“Apakah Bapak mau ke arah Kramatwatu?” tanya laki-laki itu dengan nada sopan dan sendu.

“Ya, saya mau ke arah Merak, tapi Bapak bisa turun di Karamatwatu nanti.”

“Nuhun, terimakasih.”

Laki-laki itu duduk di depan, persis di sebelah Pak Nandar. Ia mengenakan sandal kulit dan celana agak kotor, membenamkan diri di tempat duduk, seakan kelelahan dan datang dari tempat yang jauh.

Dia memiliki tangan dan lengan yang kekar, hitam keling, dan tulang yang terlihat pada permukaan kulit yang agak keriput.

Sepanjang tiga kilometer, penumpang itu diam membisu, tak bicara apa-apa. Kemudian tiba-tiba dia bertanya, “Apakah ada teve di mobil ini?”

“Enggak ada,” jawab Pak Nandar singkat.

“Radio?”

“Juga enggak ada.”

“Lalu, dua tombol itu buat apa?” dia seperti memeriksa dashboard.

“Ini cuma stater, yang satunya buat menyalakan rokok, tapi sudah enggak berfungsi.” Pak Nandar melanjutkan dengan perasaan dongkol, “Kalau Bapak mau menumpang dengan harapan bisa menonton teve di dalam mobil, sebaiknya Bapak turun saja, lalu mencari mobil yang ada teve atau internetnya…”

“Astaghfirullah, Bapak,” penumpang itu tersentak kaget. “Justru saya benci banget sama teve, apalagi internet.”

“Ooh, begitu… jadi kita sama-sama satu pendirian kalau begitu….”

Keduanya kemudian berbincang banyak mengenai internet dan segala perubahan zaman yang terjadi akhir-akhir ini, hingga sang penumpang menyimpulkan, “Bapak ini boleh dibilang satu-satunya orang paling baik di antara jutaan orang yang pernah saya temui. Saya merasa diri saya telah mendapat karomah karena telah berkenalan dengan Bapak.”

“Nuhun, terimakasih.”

Penumpang itu membetulkan posisi duduknya, dan katanya lagi, “Penemuan internet itu adalah sesuatu yang membahayakan kita semua. Ini teknologi yang kotor dan kejam!”

Mata Pak Nandar bersinar dengan simpati yang bergairah. “Ya, saya juga sependapat, internet itu banyak mengarah pada hal-hal yang negatif…”

“Bukan cuma negatif, Pak, tapi ini busuk dan jahat! Kejam dan biadab sekali! Jaringan internet itu dibawa oleh setan dan dajjal untuk menghancurkan kita semua. Bapak tahu enggak, internet itulah yang menyebarkan penyakit membahayakan seperti Covid kemarin itu. Belum lagi, penyakit-penyakit menular lainnya yang semakin banyak akhir-akhir ini!”

“Saya tidak tahu banyak. Tapi saya bisa mengerti apa yang Bapak sampaikan itu.”

“Jadi, internet itulah yang menyebabkan Aids, Anthrax, Flu Burung, Covid, tumor, kanker ganas dan seterusnya.”

“Juga membuat kepala kita pusing.”

“Nah, itu dia! Tepat sekali apa yang Bapak sampaikan! Jadi, enggak ada zaman ketika orang-orang mengalami sakit parah di bagian kepalanya, seperti zaman kita sekarang ini.”

“Oo, begitu ya?”

Matanya menyorot tajam, sambil menghela nafasnya ia melanjutkan, “Jadi, orang-orang yang bekerja dengan memakai jaringan internet itu sedang coba-coba menghabisi saya dengan cara mengirimkan sakit kepala. Tapi saya enggak bakal bisa dibodohi begitu saja. Saya terlalu pintar untuk berurusan dengan mereka. Oo ya, Bapak tahu enggak, orang-orang pemerintah yang kerja dengan memakai internet itu punya polisi rahasia sendiri, penjara sendiri, bahkan tempat penyiksaan sendiri?”

“Oya? Seperti di novel Pikiran Orang Indonesia dong?”

“Aah sudahlah, Bapak enggak usah ngomongin buku, saya enggak suka dengan buku-buku sastra.”

Pak Nandar menarik nafas dan berusaha mengendalikan diri, “Jadi, bagaimana menurut Bapak mengenai intel dan informan itu?”

“Saya tahu semua itu, Pak! Saya sudah banyak pengalaman dengan mereka. Nah, sekarang saatnya buat kita untuk membalas dendam, iya enggak?” Pak Nandar memandang sekilas, agak bingung pada ulah penumpangnya, lalu menyetir dengan lebih kencang lagi.

“Jadi begini, saya punya rencana,” penumpang itu terdiam sejenak, seakan memancing reaksi pendengarnya.

“Rencana apa?” tanya Pak Nandar.

“Besok saya mau pergi ke Jakarta, lalu saya mau mengeksekusi semua kantor yang bekerja dengan layanan internet. Saya mau mengebom semua kantor itu… tapi sebelumnya saya mau tembak-tembakin dulu para direktur jendralnya…”

“Tapi kan banyak kantor-kantor yang memakai jaringan internet?”

“Pokoknya saya mau habisi semuanya, dan mau saya bunuh semua direktur jendralnya!”

Ketika mobil berjalan pelan dan agak menyamping, tiba-tiba sebuah truk besar menyalip, dan salah seorang penumpang dari dua orang di dalam truk itu sedang memainkan ponsel di tangannya. Mata si penumpang di mobil Pak Nandar tiba-tiba melotot tajam, bokongnya bergeser-geser tak merasa tenang. Seketika  menunjuk ke arah mobil tadi.

“Itu, ada orang yang sedang memainkan ponsel! Pasti dia terhubung dengan internet! Ayo, kejar truk itu, Pak, kejaaar!”

“Susah, mana bisa?” tampik Pak Nandar sambil mengendalikan stirnya.

”Ayo cepat, Pak, kejar dia!!” teriaknya lagi.

“Enggak mungkin, itu mobil besar…”

“Bapak harus coba, jangan menyerah Pak, ayo kejar truk itu!”

“Ah, mana bisa?”

“Bisa Pak! Ayo, Bapak pasti bisa! Kecuali kalau Bapak tidak ada upaya sama sekali!”

Apa boleh buat, Pak Nandar memacu kendaraannya agak kencang. Tapi kemudian, mobil besar itu melaju lebih kencang lagi dan menghilang di kejauhan.

Penumpang itu menatap sinis ke arah Pak Nandar. “Bapak tahu enggak, saya ini berkali-kali ditipu oleh mereka semua. Mereka sering mengirim sinyal, melalui para intelnya. Mereka sangat mirip dengan Bapak. Pertama, mereka mengaku sebagai salah satu pengikut saya. Di antara mereka bahkan ada yang bilang mau mengajak saya ke rumah seorang direktur jendral, dan mau memposisikan saya sebagai pejabat tinggi. Tapi rupanya orang itu berbohong, tukang ngibul. Saya malah dijebloskan ke dalam penjara. Tapi itu dulu. Enggak usah diingat-ingat lagi. Sekarang, saya sudah tahu bagaimana cara menghadapi intel-intel tolol seperti itu, hahaha….”

Penumpang itu terus nyerocos dengan nada yang makin serius, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Pak Nandar, “Saya berani sumpah, Pak, kalau Bapak ini termasuk salah seorang dari direktur jendral itu, berarti Bapak termasuk orang yang umurnya sudah di ambang pintu…”

“Maksudnya?” tanya Pak Nandar gusar.

“Berarti hidup Bapak akan menghadapi kiamat,” katanya berbisik dan mengancam.

Tak lama kemudian, mereka memasuki daerah Kramatwatu. Kesatuan-kesatuan polisi dan para tim Gegana sudah bersiap siaga di pertigaan Kramatwatu yang mengarah ke Banten Lama. Penumpang itu menundukkan kepala, lalu bersembunyi di bawah dashboard. Empat orang polisi dengan persenjataan lengkap menyetop mobil Pak Nandar, lalu memberi isyarat agar menepi.

Pak Nandar melirik dengan perasaan putus asa. Dia sempat memberikan tanda dengan jari telunjuk yang mengarah ke bawah. Keempat polisi itu dengan sigap menggeledah, dan seketika meringkus dan menggelandang keduanya ke kantor polisi terdekat.

Di kantor polisi, Pak Nandar menjelaskan semuanya, bahwa ia hanyalah ayah dari satu anak yang masih bersekolah di SMP, dan tidak memiliki maksud apa-apa, kecuali hanya ingin menolong seseorang yang membutuhkan tumpangan.

Dua orang polisi lalu memberikan keterangan secara mendetil, bahwa laki-laki yang meminta tumpangan sejak dari kota Serang tadi bernama Maman Suparman. Tetapi oleh para muridnya ia dipanggil “Imam Suparman”. Dia pernah dirawat di rumah sakit jiwa Bogor selama tiga tahun, namun kemudian lolos dari pengawasan petugas dan melarikan diri.

Dia pernah gagal dua kali mencalonkan diri sebagai kepala desa di kecamatan Waringin, kemudian dua kali gagal pula menjadi tim sukses bagi seorang kandidat presiden Republik Indonesia.

“Belakangan dia sering keluyuran di sekitar kota Serang dan Tangerang, serta memaki-maki dunia internet,” kata seorang polisi, lalu dia melirik ke arah Pak Nandar, “Bapak pernah dengar apa yang dia katakan tentang jaringan internet?”

“Saya mendengarnya di dalam mobil.”

“Ya, topik mengenai ponsel dan internet itulah yang menjadi bahan pembicaraannya akhir-akhir ini. Lalu, bagaimana menurut Bapak sendiri? Apakah setuju dengan apa yang dia katakan?”

“Enggak setuju,” jawab Pak Nandar sambil menggeleng, meski diselimuti perasaan ragu. “Tapi awalnya saya agak setuju dengan beberapa pernyataan dia, karena tadinya saya enggak tahu kalau dia itu orang gila.”

“Baik, kalau begitu. Saya ucapkan selamat,” kata polisi yang satunya dengan ramah, “Bapak boleh dibilang lebih beruntung ketimbang beberapa orang yang sudah menjadi korbannya. Pak Suparman itu punya pendapat yang sulit dibantah, terutama soal internet dan ponsel. Kalau bicara soal telepon seluler, ia akan mencak-mencak seperti orang kesurupan. Itulah sebabnya dia pernah memukuli dua anak SD kelas enam, yang sedang belajar matematika melalui ponsel, sebelum dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa.”

Dalam perjalanan pulang, dengan lesu Pak Nandar mengendarai mobil di jalan raya yang biasa dilewatinya menuju rumah.

”Ada apa? Kok tumben pulang malam-malam begini?” tanya istrinya ketika dia baru masuk ke dalam rumah.

”Rini mana, Bu?”

“Dia ada di kamarnya, lagi membuka-buka ponsel. Coba, saya panggilkan dulu…”

“Biarin aja, Bu.”

“Biarin gimana? Saya tuh pengen dia denger omongan ayahnya, kalau waktu belajar ponselnya harus dimatikan.”

“Biarin aja, mungkin dia sedang belajar bahasa Arab melalui ponsel.”

***


Penulis

Muakhor Zakaria (pengamat dan peminat sastra mutakhir indonesia, menulis cerpen dan esai sastra di berbagai media nasional dan daerah, baik luring maupun daring, di antaranya kompas.id, jurnal toddoppuli, ahmad tohari’s web, nu online, alif.id, nusantaranews.co, kabar madura, kabar banten, satelit news, tangsel pos dan lain-lain).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *