Esai
Puisi dan Sunyi

Puisi dan Sunyi

Kecemasan yang utuh dalam wilayah puisi adalah sunyi. Hal itu menjadi satu komposisi yang tidak akan luput, sekalipun memicu gemuruh dan menyelimuti seluruh tubuh puisi. Dalam puisi pula, ke(sunyi)an tak sebatas senyap, melainkan juga setakar ruang sublim untuk menjajaki segala persoalan dan kekalutan eksistensi yang jauh dari esensi.

Sunyi juga menjadi pengurai suatu peraduan yang kusut. Sunyi akan mencairkan kepuitikan yang padat menjadi subtil. Sunyi menjadi nilai tersendiri bagi perpuisian kita. Sehingga tak heran, dari dulu sampai sekarang, para penyair hampir tak lepas (atau bahkan tak pernah selesai) dari kemelut kesunyiannya. Dari sini, “sunyi”, jelas bukanlah suatu hal yang baru.

Saking banyaknya lintasan kata sunyi dalam arus kesusastraan kita, khususnya puisi, menjadikan tantangan tersendiri bagi penyair saat akan menulis puisi berlatar kesunyian sebab berpotensi “klise”. Terkecuali, bagi penyair yang menulis puisi perkara “sunyi” sebagai wilayah inti dalam medan konteks. Itu sesuatu yang masih jarang ditemukan. Dan hal tersebut kini dapat dijumpai dalam buku kumpulan puisi Ayat Sunyi (Basabasi, 2018) yang ditulis oleh Emi Suy.

Kumpulan puisi Ayat Sunyi ini sebenarnya buku kedua dari trilogi sunyi yang ditulis oleh Emi Suy: pertama Alarm Sunyi (2007) dan ketiga Api Sunyi (2020). Dari sini, sunyi, nampaknya memang menjadi nilai estetik tersendiri bagi Emi. Ia juga mengakui bahwa sunyi masih menjadi sumber ide penciptaan puisi. Hal itu bisa dilihat, hampir keseluruhan puisi dalam buku ini, menawarkan ke(sunyi)an yang lejit sekaligus mengajak kita merenungkan kembali relung-relung kesunyian hari ini.

Kemudian sebagai pengantar mengetuk pintu kesunyian dalam puisi-puisinya, buku ini dibuka dengan sebuah prakata oleh penulisnya sendiri melalui selarik sajak Chairil Anwar yang familiar dan seringkali dijadikan sebagai aforisme: nasib adalah kesunyian masing-masing. Pembukaan tersebut sepertinya menjadi sikap dasar bagi Emi dalam menggali makna-makna yang terkandung di dalam sunyi. Meskipun, secara leksikal, sunyi seringkali dipahami oleh sebagian orang sebagai perasaan kesepian, kekosongan, dan hampa. Tapi, ia menyadari hal lain tentang sunyi bahwa: sunyi itu inti, di mana kita berasal dan kembali (hlm. 9). Juga sekaligus menjadi ruang kontemplasi dalam meniti jalan, pesan, dan tujuan, agar manusia sadar ke mana hidup mesti berjalan.  

Kesadaran tersebut kemudian memantik saya sebagai pembaca untuk berpikir sekali lagi terutama tentang bagaimana kesunyian menjadi suatu hal yang kian hari semakin dibutuhkan: semisal untuk menemukan diri, mengenali diri, dan menyusuri keheningan untuk sejenak istirahat dari lingkungan yang semakin bising dan asing.

Kesunyian macam itu lantas dengan serta merta mengantarkan saya pada satu pertanyaan: seberapa penting ke(sunyi)an hari ini? Emi Suy, seakan menjawab pertanyaan tersebut dengan menulis: sunyi itu bening/ sebagai embun/ tak pernah melukai daun/ atau mengotori jendela// sunyi itu hati/ semadi di pipi puisi// (Ayat Sunyi 7, hlm. 20).

Sebagai penulis yang dikenal dengan sebutan ‘penyair sunyi’, Emi, dalam puisi Ayat Sunyi 7 tersebut, mengatakan bahwa saat menjalani hidup tanpa sejenak menepi memasuki sunyi, maka kita akan berpotensi menjadi manusia yang tak punya ruang-waktu bercermin, tak punya ruang-waktu mengenali diri, kita kehilangan ruang-waktu untuk mendengarkan dan merasakan aliran napas diri (hlm. 10).

Terlebih di dunia yang makin bising, setiap orang diam-diam menginginkan kehidupan yang tenang dan hening. Situasi itulah yang memungkinkan kita semakin memerlukan ruang sunyi. Seperti yang ditulis oleh Emi: sunyi tumbuh di musim semi/ seperti sakura bernyanyi// lihatlah/ warnanya ialah/ kangen yang tak pernah sudah// (Ayat Sunyi 6, hlm. 19).

Tidak hanya itu, Emi, juga berusaha menawarkan makna sunyi melalui interpretasi subjek imajiner kesunyian yang merdu dan hidup: sunyi menanggalkan daun/ memetik kecapi/ dalam diri// (Ayat Sunyi 10, hlm. 23). Kepekaan indra penyair dalam puisi singkat tersebut, jelas merupakan lukisan sunyi yang serentak disergap citraan visual (penglihatan), citraan auditori (pendengaran), dan citraan taktil (rabaan/sentuhan), sehingga menjadi satu kesatuan makna yang padat bahwa sunyi (sangat) mampu menyentuh dahaga manusia yang merindukan lenting hening dari kekusutan eksistensinya.

Jika bagi Emi, kesunyian, memang demikian. Maka baginya, di tengah kehidupan mekanistis yang semakin gaduh, sudah semestinya kita meluangkan ruang-waktu untuk menepikan diri dan berjumpa dengan sunyi, sebab: barangkali di sana rerimbun ilalang/ tarian kunang bersiap menyambut/ pelukan redup dada malam yang laut/ yang gunung yang bulan yang sunyi// (Ayat Sunyi 16, hlm. 29)

Selain itu, ke(sunyi)an yang utuh dalam puisi-puisi di buku ini juga bukan melulu perkara lengang yang lepas dari pekikan bunyi sekitar. Sebab, alih-alih menawarkan kesenyapan, sunyi kadang-kadang malah memantik keriuhan personal yang memungkinkan lebih berisik: sunyi ialah dahaga/ ketika kau sodorkan segelas air/ di bawah terik// aku mereguknya/ diriku tiba-tiba/ menjadi pasar// (Ayat Sunyi 5, hlm. 18).

Kemungkinan yang berisik, atau bahkan riuh, dalam kesunyian tersebut barangkali merupakan ampas kecemasan dari kekalutan realitas sehari-hari. Tapi, justru kesunyian macam itulah yang pada akhirnya akan menyuap ketenangan di ujung perdebatan diri, yakni dengan menemukan, menerima, melepas, dan memaknai, terutama persoalan yang kacau atas keberadaan diri, hingga diri kita sendiri mencapai moksa: Tuhan/ kini aku kembali/ menjadi sunyi// (Ayat Sunyi 26, hlm. 40).

Kompleksitas puisi-puisi Emi jelas bisa menjadi pengetuk berbagai sunyi itu sendiri bagi siapa pun yang sedang kalut dan memerlukan ke(sunyi)an. Karena bagi Emi, pada dasarnya sunyi adalah muasal, dan manusia akan kembali menyatu bersama muasal itu sampai pada hakiki eksistensi (sunyi) yang abadi: kelak semua akan terjaga dari mimpi/ untuk hidup abadi/ di tempat yang dikekalkan tuhan/ yang sebenar-benar sunyi// (Ayat Sunyi 13, hlm. 26). []

Cirebon, 2023


Penulis:

Saefudin Muhamad. Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Pernah menjadi Editor di salah satu penerbit. Saat ini menjadi pengajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *