Resensi Buku
Ekologi Politik: Ketika Lingkungan Dipandang sebagai Objek Kepentingan

Ekologi Politik: Ketika Lingkungan Dipandang sebagai Objek Kepentingan

Judul: Rahasia Pelangi
Penulis: Riawani Elyta & Shabrina WS
Penerbit: Gagas Media
ISBN: 979-780-820-3

Dunia sastra kian berkembang. Jika dulu para pengarang memanfaatkan alam sebagai diksi atau sekadar latar cerita–tak lebih dari benda mati, maka kini alam mulai diangkat menjadi tema utama dengan menghadirkan permasalahan antara manusia & alam atau yang lazim disebut dengan istilah sastra ekologis. Permasalahan ini muncul karena sikap manusia dalam memperlakukan alam berbeda-beda, mulai dari yang memanfaatkan secukupnya hingga mengeksploitasi dengan membabi buta. Perkembangan tema dalam karya sastra ekologis berbanding lurus dengan perkembangan kajian ekokritik yang mulai berpadu dengan bidang-bidang ilmu lain seperti ekofeminisme, ekologi budaya, ekologi sosial, bahkan ekologi politik.

Pada dasarnya karya sastra ekologis tidak hanya sekadar memberikan hiburan lewat jalinan cerita indahnya, namun juga dapat menggugah kepekaan pembaca terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya melalui pesan di balik ceritanya. Satu di antara karya sastra ekologis yang mampu mewakili dua hal tersebut adalah novel Rahasia Pelangi karya Riawani Elyta & Shabrina WS. Permasalahan ekologi dalam novel ini merupakan refleksi permasalahan yang terjadi di sekitar masyarakat. Sistem otonomi daerah yang menerapkan kebijakan desentralisasi membuat pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya. Penerapan kebijakan tersebut rentan menimbulkan permasalahan, terutama apabila pemerintah daerah mempunyai sikap yang kurang peduli terhadap kelestarian alam dan hanya berfokus pada keuntungan materi.

Dalam memanfaatkan alam, setiap orang memiliki kepentingan yang beragam. Kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam novel Rahasia Pelangi cenderung berpihak pada perusahaan sebagai bentuk politik lingkungan oleh pemegang kekuasaan. Senada dengan yang pernah disampaikan oleh Rini Astuti (2013) dalam artikelnya yang berjudul Ekologi Politik Redd+: Kontestasi Politik, Modal, dan Pengetahuan, bahwa kebijakan tidak akan pernah berada di dalam ruang kosong, ia melekat dalam hubungan dialektis antara alam dan masyarakat. Dialektika inilah yang membuat karakteristik manusia terbagi menjadi tiga model dalam hubungannya dengan etika lingkungan hidup menurut A. Sony Keraf (2010) di dalam Etika Lingkungan Hidup. Tiga model karakteristik tersebut meliputi antroposentris, biosentris, dan ekosentris.

Karakter Manusia dan Kepentingannya dengan Alam
Di dalam karya sastra ekologis, karakter antroposentris dimiliki oleh tokoh yang memandang manusia sebagai penguasa atas alam semesta. Sementara hal lain yang ‘bukan manusia’ dianggap hanya sebatas alat pemuas kebutuhan manusia yang tak ada habis-habisnya. Satu di antara tokoh yang memiliki karakter antroposentris di dalam novel Rahasia Pelangi adalah pihak pengusaha, sebagaimana yang terdapat pada kutipan berikut ini

“Belalainya terulur, meraih belalai anaknya, melilit dengan cepat, lalu membanting tubuh gajah kecil itu ke tanah. Berkali-kali, berulang-ulang. Sampai akhirnya ke empat orang petugas berhasil melingkarkan rantai pada ke empat kakinya. Namun, anak gajah malang itu sudah tidak bergerak lagi, tergeletak di atas tanah. Tubuhnya berlumuran cairan pekat berwarna merah tua.

Tak berselang lama, induk gajah yang mengamuk itu menundukkan kepala. (b)Dari mata kecilnya, air menetes hingga seperti membentuk aliran sungai, membasahi wajahnya yang kasar dan berwarna abu-abu tua. Beberapa petugas kemudian menutup arena dengan tepal berwarna Jingga. Sesaat, keheningan melingkupi arena sirkus. Penonton beangsur pergi, meninggalkan tanah lapang yang dipenuhi udara berdebu.” (hal. 2-3)

Di dalam kutipan tersebut, diceritakan tentang seekor induk gajah yang mengamuk saat pertunjukan sirkus tengah berlangsung. Hal itu disebabkan oleh induk gajah yang tidak sengaja menginjak anaknya sendiri saat memasuki arena sirkus. Akibat injakan tersebut, si anak gajah langsung meninggal seketika itu juga. Peristiwa tersebut merupakan bentuk eksploitasi terhadap gajah dengan menjadikannya bahan hiburan untuk manusia. Hewan yang dilatih untuk kepentingan sirkus dipaksa melakukan atraksi yang menghibur. Selain itu, mereka juga dipaksa hidup pada tempat yang bukan habitatnya. Pengusaha sirkus yang mengeksploitasi hewan dapat dikategorikan ke dalam tokoh dengan karakter antroposentris karena menggunakan hewan sebagai alat untuk memenuhi keuntungan materi.

Jauh berbeda dengan karakter antroposentris, karakter biosentris memandang makhluk hidup (biotik) sebagai hal yang harus dihargai dan diperlakukan setara dengan manusia. Tokoh yang memiliki karakter biosentris di dalam novel Rahasia Pelangi adalah Rachel. Ia sangat peduli terhadap nasib gajah di Taman Nasional Tesso Nillo seperti yang termaktub dalam kutipan berikut ini,

Sayangnya, saat ini aku tidak sedang fokus pada harimau. Tujuan kami—sejalan dengan program Forest Camp—lebih berorientasi pada perlindungan gajah. Lagi pula, selain CWO, masih terdapat organisasi lingkungan lainnya yang cukup fokus pada persoalan satwa liar langka yang ada di Riau, termasuk harimau Sumatera. Sebut saja Green Peace dan Mingabay, dua diantara organisasi lingkungan yang memiliki kepedulian cukup besar tentang itu.

“Kamu tahu, Ebi? Sejak semalam, aku sudah mempersiapkan slide presentasi tentang sosialisasi penjagaan habitat hutan di sekitarnya. Termasuk pencegahan konflik dengan gajah liar yang banyak terdapat di desa-desa sekitar TNTN.” (hal. 25)

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa tokoh Rachel memang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap satwa, khususnya gajah. Ia bekerja sebagai anggota LSM lingkungan dan berfokus untuk menangani kasus satwa liar yang langka. Kasus yang sedang ditangani Rachel adalah konflik gajah dan manusia di desa sekitar Taman Nasional Tesso Nillo. Kepedulian inilah yang menjadi salah satu sikap utama dari karakter biosentris, sebab ciri orang yang bisa menghargai sesama makhluk hidup adalah rasa peduli. Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah kepedulian tidak melulu ditunjukkan dengan memelihara hewan, namun menjaga habitat dari kepunahan adalah wujud yang lebih nyata dari kepedulian.

Jika biosentris menjadi karakter yang menjunjung kesetaraan, maka ekosentris adalah pengembangan dari kesetaraan itu sendiri. Ekosentris memandang bahwa penyetaraan manusia dengan makhluk hidup yang ‘bukan manusia’ dianggap masih belum sempurna, karena kesetaraan harus dilakukan untuk seluruh komunitas ekologis⸻baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Sederhananya, karakter ekosentris menempatkan manusia sebagai bagian dari alam. Yang perlu dihargai tidak hanya hewan; manusia; dan tumbuhan, tetapi juga lingkungan alam sebagai tempat seluruh komunitas hidup. Tokoh yang berkarakter ekosentris di dalam novel Rahasia Pelangi adalah Ebi sebagaimana disebutkan dalam kutipan berikut ini,

Dari segi pengalaman, Ebi memang sedikit lebih baik dariku. Dia telah lebih dulu bertugas di CWO hingga hari ini, aku belum menemukan sesuatu yang menarik dari karakter Ebi selain satu-satunya rasa kepedulian kami yang sama besarnya terhadap lingkungan. Sikap Ebi di mataku “terlalu berisik”, untuk seorang pria yang selalu bergelut dengan aktivitas alam dan lingkungan. (hal. 16)

Diceritakan  bahwa Ebi bekerja di organisasi pencinta lingkungan. Kebersediaan Ebi untuk bergabung dengan organisasi pencinta alam membuktikan bahwa ia mempunyai karakter ekosentris. Hal itu membuat sebagian besar kegiatan Ebi difokuskan untuk pelestarian lingkungan. Sayangnya, tokoh yang berkarakter ekosentris (juga biosentris) kerap kali dipandang ‘terlalu berisik’ bagi sebagian orang. Terlebih untuk orang-orang yang memiliki ‘kepentingan’ dengan alam. Dari tiga karakter yang telah disebutkan, antroposentris menjadi pilihan karakter yang paling mendominasi. Alam hanya dimaknai sebagai objek kepentingan untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana disebutkan dalam kutipan berikut ini,

“Kami mungkin tak dapat mencegah keinginan pengusaha untuk terus membuka lahan sawit karena itu menyangkut kepentingan banyak pihak.” (hal. 214)

Berdasarkan kutipan tersebut, tampak jelas bahwa kebijakan pemerintah terkesan tumpul saat dihadapkan dengan keinginan pengusaha untuk terus meraup pundi-pundi cuan. Alam sebagai habitat gajah tampak maya, karena yang terkesan nyata hanyalah realisasi kepentingan banyak pihak (manusia) yang tidak ada habisnya. 

Akhir kata, melalui sastra, alam seolah diberikan panggung untuk berbicara sebanyak ribuan halaman tentang kerakusan manusia serta ancaman krisis iklim yang siap menerkam dengan tiba-tiba.


Penulis:

Akhmad Idris. Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Seorang lelaki pecinta wanita, tetapi bukan buaya; sebab tiada kesalahan dalam mencintai. Seorang lelaki yang mencintai dunia kepenulisan, meskipun tulisan-tulisannya biasa-biasa saja. Dapat dihubungi di 082139374892 (akun gopay) dan 089685875606 (WA), fb Akhmad Idris, dan ig @elakhmad & @wnkuri_official. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *