Cerpen
Kematian Puteri Seorang Dokter

Kematian Puteri Seorang Dokter

TEMPAT praktek Dokter Maya terletak di lantai satu kediamannya, disertai ruang tunggu yang cukup nyaman dan luas. Bagian tengahnya digunakan untuk ruang konsultasi, terhubung dengan pintu belakang yang terbuka lebar-lebar. Sebelah kanannya terdapat toilet yang pintunya bermotif ukiran-ukiran wayang.

“Tenang saja, Pak, sebentar lagi Bu Dokter turun. Silakan diminum dulu tehnya. Saya Dania, adik Dokter Maya, saya disuruh menemani Bapak dulu di sini.” Seorang wanita paruh baya menyuguhkan teh manis ke atas meja seraya mempersilakan saya minum.

“Ya, ya, enggak apa-apa, terima kasih, Mbak,” kata saya sambil berdiri dan menyalami wanita yang mengenakan kerudung hijab merah.

Tertera dengan jelas di dinding ruang utama, sebuah ukiran kayu bertuliskan “DR. MAYA SUKMARA”. Ia seorang psikolog dan psikiater terkenal di kabupaten Serang, Banten. Konon, ia pernah kuliah di fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) di ibukota Jakarta. Pernah menjadi dokter di bidang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di Kota Bogor, dan sekarang sudah membuka tempat praktek sendiri di kampung halamannya, di desa Anyer.

Saya datang ke situ untuk konsultasi psikoterapi. Membawa selembar alamat yang dituliskan dokter syaraf yang mengobati saya di rumah sakit swasta di pusat Kota Serang. Setelah kepala saya terbentur lantai waktu latihan bulutangkis di Gedung Olahraga (GOR), rasanya saya gampang lupa dalam banyak hal. Seringkali saya lupa menaruh kunci mobil, kacamata atau buku yang sedang saya baca. Bahkan, saya juga kadang lupa memanggil nama anak sendiri. Yang namanya Anisa, kadang saya panggil Adiba, begitu juga sebaliknya.

Barangkali saja dengan mendatangi Dokter Maya yang terkenal itu, dapat ditemukan solusi penyelesaiannya. Meskipun, saya sendiri agak sangsi, apakah benar penyebab saya gampang lupa ini lantaran terjatuh di lapangan bulutangkis, ataukah ada faktor-faktor lainnya.

Ibu saya pernah memperingatkan, bahwa setiap orang punya potensi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Baginya, kita tak perlu menghambur-hamburkan biaya guna mengobati penyakit sepele, selama penyakit itu masih sanggup kita tangani dan kendalikan. Pada bagian itu, saya masih belum sepaham dengan pendapat Ibu yang cenderung konservatif. Bahkan, saya pernah membanggakan diri seakan-akan memiliki otoritas untuk banyak bicara lantaran pernah kuliah kedokteran hingga lulus S2. Sedangkan ibu saya, hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR) yang kini usianya sudah menginjak 80-an tahun.

Namun, di sisi lain, kadang saya dihinggapi perasaan waswas juga, apakah saya sendiri sanggup menginjak umur setua itu seperti dirinya kelak?

***

Mbak Dania, adik Dokter Maya terlihat anggun dan menawan. Ia tampak supel dan bersahabat. Namun tiba-tiba, ia terperanjat kaget ketika saya tanyakan kenapa pintu belakang tempat praktek itu tak pernah ditutup, dan selalu terbuka lebar-lebar.

Ia memicingkan matanya, tak mau menatap pintu belakang itu entah kenapa. Ia terpaku dalam waktu yang cukup lama, menghela nafas dan menghempaskan punggungnya di sofa. Sorot matanya nanar dan menerawang. “Kejadiannya dua tahun lalu, ketika anak bungsu Dokter Maya bermain-main mendekati danau itu…”

Ia terdiam sejenak. Di belakang ruang praktek itu terdapat danau yang cukup luas, dengan dua pohon beringin besar di tepiannya, serta dikelilingi oleh alang-alang dan semak belukar yang mengitarinya. Konon, setiap musim hujan, daun-daun teratai hijau selalu memenuhi danau itu hingga nyaris menutupi seluruh permukaan airnya. Saya menjulurkan kepala melihat danau itu dari kejauhan, sekitar duaratus meter jaraknya dari tempat praktek.

“Di bawah pohon beringin itulah anak bungsunya, Nita, akhirnya dikuburkan. Umurnya sekitar enam tahun. Jadi, sekitar dua tahun lalu dia berlari-lari di sekitar danau itu pada siang bolong, entah mencari kupu-kupu, capung atau apalah. Pihak keluarga baru menemukannya dalam keadaan mengambang keesokan paginya.”

Mbak Dania menggeser duduknya sambil memandang ke arah langit-langit. Setelah menghela nafas, ia melanjutkan, ”Sejak peristiwa itu, pintu belakang prakteknya selalu terbuka lebar-lebar hingga baru ditutupnya menjelang larut malam. Selalu begitu setiap hari. Padahal jam praktek Dokter Maya sudah tutup sejak pukul lima sore. Entahlah, saya sendiri kurang mengerti. Barangkali ada hubungannya dengan kematian anak bungsunya itu.”

“Mbak Dania sendiri pernah tanya sama beliau mengenai itu?” tanya saya kemudian.

“Pihak keluarga tak ada yang berani bertanya. Kalaupun suaminya, Pak Sukmara menutup pintu belakang itu pada malam Jumat, dia akan teriak dan marah setengah mati.”

“Artinya, pintu itu dibiarkan terbuka hingga pagi hari?”

“Ya, khusus malam Jumat, tapi kalau hari-hari lainnya, biasanya hingga jam duabelas malam.”

Kami saling diam. Pandangan mata saya pancangkan ke sekitar pohon beringin. Di bawah salah satu pohon itu, tampak gundukan bangunan kuburan terbuat dari batu marmer dengan batu nisannya yang agak menjulang ke atas. Tak berapa lama, Mbak Dania angkat bicara, “Apakah Bapak sendiri kenal orang-orang di daerah sini?”

Saya agak terkesiap, “Oh, enggak banyak. Dulu saya pernah tinggal di daerah Anyer ini, tetapi orang-orangnya sudah pada merantau entah ke mana. Sepertinya, sekarang daerah ini sudah dihuni oleh para pendatang, dan hanya beberapa saja yang saya kenal.”

Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan tekanan yang agak mengandung penyesalan. “Jadi, Bapak sendiri enggak kenal sama Dokter Maya selama ini?”

“Hanya nama dan alamatnya saja. Tapi nama Maya Sukmara memang sudah terkenal sebagai psikiater profesional di Banten ini. Saya juga pernah membaca beberapa tulisannya di kolom opini di salah satu koran lokal Banten.”

Kami saling membisu. Mata Mbak Dania terpancang ke arah kuburan itu. “Yang membuat saya tak habis pikir,” lanjutnya lagi, “tiap tanggal 30 September selama dua tahun berturut-turut, Dokter Maya selalu menutup pintu itu menjelang waktu maghrib. Hanya dua hari itu saja, dalam dua tahun ini. Entah apa maksudnya, saya dan semua keluarga enggak ada yang ngerti.”

“Mungkin karena September memasuki musim penghujan,” tanggap saya.

“Hanya malam tanggal 30 September, itu saja. Setelah itu, pada tanggal 1 Oktober, pintu akan dibiarkan terbuka kembali hingga larut malam,” tegas Mbak Dania dengan dahi mengernyit.

“Tapi, apakah kematian anaknya itu pada tanggal 30 September?”

“Bukan,” jawabnya ketus, “tenggelamnya tangal 3 Maret, baru diketemukan 4 Maret pagi.”

“Lalu, apa hubungannya dengan 30 September itu?”

“Saya sendiri enggak ngerti, Pak. Barangkali setan manapun enggak ada yang bisa memahami persoalan itu,” katanya dengan jengkel.

Mbak Dania mulai kehilangan ketenangannya, lalu menambahkan, “Jadi, pada tanggal 3 Maret di siang bolong itu, anak bungsunya konon mengambil kemoceng dari kaca bupet. Dia keluar melalui pintu belakang itu, berlari-lari hingga ratusan meter ke arah danau. Tak ada yang melihat kejadian itu, sampai-sampai Dokter Maya tak mau menegur suaminya selama berbulan-bulan karena dianggap teledor tak memerhatikan anak bungsunya. Tetapi, siapa yang lebih teledor, apakah suaminya ataukah dia sendiri, saya enggak mengerti. Hanya ada seorang pemulung yang menyampaikan kesaksian, bahwa di siang itu dia melihat seorang gadis kecil berlarian di sekitar danau. Dan dia juga menemukan kemoceng rotan itu mengambang di permukaan air. Setelah peristiwa itu, Dokter Maya benci sekali dengan benda yang namanya kemoceng. Tiapkali melihat orang memegang kemoceng dia akan menjauh, menghindar, bahkan bersin-bersin.”

Kami saling diam, ketika mendengar suara tapak sepatu menuruni tangga. Dokter Maya Sukmara kini sudah ada di hadapan kami. Ia mempersilakan saya meminum teh yang sudah disediakan oleh adiknya. Saya pun menyesap teh yang sudah menghangat itu pelan-pelan.

Mbak Dania pamit meninggalkan kami, dan menaiki anak tangga. Saya disuruh masuk ke ruang konsultasi yang terletak di bagian tengah ruangan. Dokter Maya terlihat gemuk tetapi anggun dan menawan, dengan mengenakan jas dan hijab berenda-renda, dihiasi gelang dan kalung mutiara sintetis. Kami duduk berhadapan dengannya. Psikiater terkenal itu menatap mata saya erat-erat.

Karena ruang konsultasi terhubung dengan ruang belakang yang pintunya terbuka lebar, kontan saya bertanya pada sang psikiater, “Apakah pintu itu bisa ditutup, Bu?”

Dokter Maya tidak menjawab. Hanya menghela nafas dan menatap mata saya dengan tajam. Ia melirik ke arah pintu dengan harap-harap cemas dan tegang. “Kenapa Bapak tanya-tanya soal pintu itu?” ia justru balik bertanya seperti menginterogasi.

Kini giliran saya yang tak mau menjawab. Persoalannya, ini ruang konsultasi (pikir saya). Ruang praktek psikologi yang menyangkut privasi tentang kepribadian seseorang yang harus disimpam baik-baik. Kalau pintu dibiarkan terbuka, rasanya aneh dan janggal sekali. Tak berapa lama, Dokter Maya akhirnya berkata dengan tatapan menerawang dan suara mendesah, “Soal pintu itu Bapak tak usah pikirkan lah. Pintu itu hanya mengingatkan saya pada anak saya sekitar dua tahun lalu…”

“Maksud Ibu?” tanya saya memancing percakapan.

“Itu, masalah danau yang luas itu. Kalau tanahnya punya saya, sudah saya timbun biarpun menghabiskan ratusan bahkan ribuan truk pasir sekalipun. Apa boleh buat.”

“Emangnya kenapa dengan danau itu, Bu?” tanya saya pura-pura tak mengerti.

“Bapak pernah lihat film dan novelnya, kan?” Dokter Maya balik bertanya. Pertanyaan itu membuat saya terheran-heran.

“Ya, saya suka baca novel dan nonton film, emang kenapa, Bu?”

“Bapak pernah lihat enggak, sebuah film bagus tentang seseorang yang tenggelam di sungai, lalu beberapa tahun kemudian dia datang lagi dan masuk rumah melalui pintu yang sama ketika dia meninggalkan rumah itu beberapa tahun lalu?”

Saya menengadah mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, tentu saja sudah ratusan bahkan ribuan film atau novel yang sudah saya baca sepanjang sejarah hidup saya. Dan mengenai tema yang disebutkan Dokter Maya, mungkin sudah puluhan kali saya menyaksikannya. Tetapi, saya tak mungkin menyebutkan satu persatu mengenai tontonan atau bacaan yang bertema demikian.

“Jadi, begini,” saya pun membiarkan dokter itu mengungkap keluh-kesahnya secara panjang lebar. Dokter Maya menggeser posisi duduknya, dan lanjutnya lagi, “Siang itu, anak bungsu saya Neng Nita (dia memakai sebutan ‘Neng’) membawa-bawa kemoceng dan berlari-lari ke arah danau. Dia keluar melalui pintu belakang itu… dan saya harap dia pun bisa datang lagi melalui pintu itu seperti halnya dua tahun lalu. Kadang, kalau di siang bolong, saat saya duduk-duduk sendirian di ruang praktek ini, saya berharap sekali Neng Nita berteriak-teriak memanggil ‘Mama, Mama’, dan semoga dia berlari-lari memasuki pintu belakang itu…”

Matanya tiba-tiba melotot tajam, terpancang ke arah pintu belakang, lalu tanya saya lagi, “Tapi, anak Ibu sudah meninggal kan, dan keluarga Ibu sudah menguburkannya?”

Ia menoleh ke arah tembok dengan cemas, dan katanya terkesiap, “Ya, dia sudah dikuburkan di bawah pohon beringin itu… tapi, Bapak ini seorang penulis kan? Dan saya dengar juga, Bapak ini seorang penulis yang religius, kan?”

Kontan saya tersentak kaget. Akhirnya, Bu Maya menceritakan perihal saya dari Mbak Dania yang konon aktif membaca karya-karya saya, termasuk sinopsis beberapa novel oleh generasi milenial melalui jejaring internet. Kemudian, saya pun merasa leluasa untuk membuka perdebatan dengan psikiater tersohor itu.

“Oke, kalau Dokter Maya membaca seseorang sebagai religius atau bukan, dari perspektif mana Ibu bisa melihatnya?”

“Dari tulisan-tulisannya,” jawabnya singkat dan tegas.

“Baik kalau begitu, tetapi,” saya pun menatap matanya erat-erat, apakah dia siap mendengar penyataan yang lebih tendensius, dan kata saya lagi, “tetapi, Dok, sebenarnya religius dengan takhayul itu berbeda.”

“Maksud Bapak?” ia terlihat gundah dan bingung, kembali mukanya berpaling ke pintu belakang.

“Maksud saya, kepercayaan Ibu mengenai datangnya anak Ibu itu, tak ada hubungannya dengan religius atau bukan. Sebab, maaf, kepercayaan semacam itu hanyalah takhayul.”

Tiba-tiba psikiater itu menatap mata saya dengan garang. Raut-mukanya berubah menjadi kelabu, sedih dan nelangsa. Tak berapa lama, ia menangis sesenggukan dengan mengatupkan kedua lengan untuk menutupi mukanya di atas meja.

***

Pak Sukmara, suami Bu Maya berlari menuruni anak tangga, segera menengahi dan menenangkan istrinya. Ia minta maaf pada saya karena situasinya tampak sedang kurang mengenakkan. Ia menenangkan sang istri dan seketika menuntunnya menaiki anak-anak tangga.

“Sepertinya Dokter Maya perlu istirahat dulu hari ini, dan dia sedang kurang enak badan untuk menerima pasien,” kata Pak Sukmara setelah ia menemui saya kembali di ruang bawah.

“Sama-sama, Pak, saya juga minta maaf,” balas saya, “barangkali saya mengatakan sesuatu yang membuat beliau kurang nyaman.”

“Oya?” Pak Sukmara agak terkejut, “apakah Bapak menyebut-nyebut soal pintu yang terbuka itu?”

Akhirnya, Pak Sukmara membahas secara panjang-lebar perihal kelakuan istrinya selama dua tahun terakhir, sejak kepergian Nita anak bungsunya itu. Ia berharap saya bisa memaklumi keadaan istrinya yang kadang bicara sendirian memanggil-manggil anak bungsunya di siang bolong, pada saat dia duduk-duduk sendirian di ruang praktek itu.    

Di tempat tidur, kadang-kadang dia mengoceh tentang novel yang baru dibacanya. Khususnya tentang kisah anak kecil yang pulang kembali ke rumahnya, setelah bertahun-tahun menghilang entah ke mana. Kelakuan istrinya itu membuat sang suami merasa riskan dan ketakutan. Seakan merasa frustasi dan putus asa, meskipun gairah dan semangat hidupnya tiba-tiba muncul bilamana kembali membaca buku atau menonton sinetron dan film yang berkaitan dengan kisah yang dialaminya. Ia benar-benar terobsesi oleh kisah-kisah semacam itu.

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa selama mengadakan percakapan, sorot mata Bu Maya selalu saja terpancang ke arah pintu belakang. Dan karenanya, saya memohon maaf pada Pak Sukmara, seandainya telah mengganggu keluarga mereka, karena mengadakan konsultasi psikis demi pengobatan kesehatan pada momentum yang kurang pas.

“Beberapa waktu lalu, ketika saya konsultasikan kepada dokter ahli di Jakarta,” ujar Pak Sukmara lagi, “khususnya perihal keadaan istri saya akhir-akhir ini, mereka menyarankan supaya lebih banyak diistirahatkan, agar menjauhi rangsangan kejiwaannya, serta mencegah apapun yang bisa mengarah pada perilaku kekerasan.”

“Maksud Bapak, apakah istri Bapak pernah mengamuk?” tanya saya lagi.

“Saya kira tidak. Hanya kekesalan biasa saja yang menimbulkan pecahnya gelas dan piring, serta pajangan-pajangan keramik di ruang tamu.”

Saya pun menghela napas panjang. Kini sudah cukup jelas bagi saya, mengapa Mbak Dania tadi menanyakan apakah saya mengenal Dokter Maya dengan baik, ataukah tidak?

Tapi masalahnya, apakah saya perlu mengenal lebih jauh setiap psikolog atau psikiater yang harus saya kunjungi di negeri ini? Bukankah mereka yang semestinya mengenali dan mendiagnosa saya sebagai pasiennya?(*)


Penulis:

Hafis Azhari adalah pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Jenderal Tua dan Kucing Belang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *