Cerpen
Kau Hanya Perlu Mencari Jalan Baru

Kau Hanya Perlu Mencari Jalan Baru

Awalnya ia berjalan; mungkin sebenarnya sudah berlari. Baiklah, sebut saja ia berlari. Meski tidak secepat mobil, tetapi tetap saja saat melihat ia berlari, kita sepakat ia terlihat cepat. Cuma kesan cepat itu lebih dipenuhi aroma ketakutan atau mungkin berbau keterburu-buruan.

Sungguh, tak ada yang tahu pasti mengapa ia seperti itu. Semestinya sebagai makhluk Tuhan, ia pantas merasakan kemerdekaan yang menjadi fitrah setiap makhluk. Salah satunya kemerdekaan memutuskan cepat atau lambat ia melakukan aktivitasnya sehari-hari.

Tampaknya bukan hanya soal kemerdekaan yang tercerabut darinya. Daya ingat yang seharusnya menjadi andalan, pun telah pula embus dari dirinya. Apa bukti? Tanyakan saja padanya di mana tempat dulu ia dilahirkan. Pasti ia akan menjawab seperti ini kira-kira, “Mungkin di rumah sakit besar, atau di apartemen kecil, atau mungkin di bawah kolong jembatan yang lembab dan busuk.” 

Ia (entah mengapa) begitu amat sulit mengingat. Padahal Tuhan telah memberikan sebentuk kelebihan dalam mengingat sesuatu. Ia sebenarnya bukan tidak pernah mencoba mengingat-ingat peristiwa sakral dalam hidupnya itu. Hanya saja sifat keterburu-buruannya selalu membuatnya gagal mengingat. Yang ia ingat cuma sebuah peristiwa: malam di mana ia mulai menggerakkan kaki mungilnya—di tengah sebuah jalan kompleks perumahan elit pinggir kota—setelah beberapa saat sebelumnya ia dilempar entah oleh siapa. Jangan-jangan saat itulah ia baru sadar telah lahir ke dunia.

Di Kota Anu yang super megapolitan itu, ia sebenarnya tidak hidup sendiri. Banyak yang serupa dengannya. Bahkan dalam wujud yang lain pun banyak. Namun entah kenapa dia macam hidup sendiri: tak pernah tampak berdua, bertiga, atau berkumpul bagai demonstran yang sudah muak melahap janji-janji palsu politisi Kota Anu.

Ia memang sering mendengar para demonstran meneriaki makhluk dalam wujud lain itu (yang dianggap serupa dengannya) dengan menyebut namanya. Bahkan demonstran itu rajin pula membawa poster dan membagikan pamflet-pamfet bergambar dirinya: dirinya yang sedang terkurung. Dan bila ia melihat itu, ia sering merasa heran: mengapa makhluk mulia itu disamakan dengan dirinya, batinnya bertanya.

Akan tetapi apa pentingnya memikirkan hal tersebut kelewat serius. Bukankah keberlangsungan hidupnya nyata lebih penting? Sebab, sekejap saja ia lengah, nyawanya akan menjadi taruhan. Begitu berbahayakah hidupnya?

Sehari-hari dalam hidupnya ia hanya berlari belaka. Kecuali datang waktu lelah atau perutnya keroncongan, barulah ia berhenti. Hanya saja tidak benar-benar berhenti. Karena bila sebuah suara asing atau langkah kaki mencurigakan terdengar pancaindranya, ia kembali buru-buru berlari. Kadang sering selama dua puluh empat jam ia terus berlari.

Sedapat mungkin ia memang harus menghindari sorotan mata dari makhluk apa pun. Baginya sorotan mata, baik yang beringas atau teduh sekalipun tetap sebuah ancaman yang dapat mengganggu keberadaan diri serta nyawanya. Bukan sekali dalam hidupnya, mata teduh yang ia lihat ternyata malah ingin mencoba membunuhnya dengan sadis. Untung ia masih selalu bisa lolos dari mulut maut yang hampir di setiap sudut kota terlihat seperti menganga menantinya.

Maka ia pun harus selalu berlari agar terhindar dari incaran kematian. Selamanya? Itu bukan hal yang harus dicari jawabannya. Toh, waktu dengan segala kedigdayaannya pasti juga akan memberikan jawaban.

Semakin jauh ia berlari di dalam kota itu, semakin menggumpal-memadat ketakutan dalam dirinya. Bermacam lokasi telah ia jadikan tempat menyembunyikan ketakutannya. Kadang di gedung anggota dewan kota, di lokasi prostitusi, di gedung pemerintahan, di kantor partai politik, di kantor departemen sosial, bahkan kadang di rumah ibadah yang sepi atau pun yang ramai.

Tetapi itu tidak pernah lama. Ketakutan acap mendorong kaki kecilnya untuk terus berlari. Seolah-olah di mana pun tempat tidak ada yang aman baginya; bagi kehidupannya. Berpindah-pindah tempat adalah pilihan satu-satunya. Ia tidak pernah tahu apakah itu pilihan yang baik; yang ia tahu hidupnya harus terus ia pertahankan. Sampai kapan? Itu pun ia tak ambil pusing.

Di usianya yang sudah matang, sepantasnya ia sudah mulai memikirkan seks, selain makan dan bertahan hidup. Namun, besarnya ketakutannya pada dunia luar telah membuat ia tidak tertarik pada lawan jenis. Jangankan tertarik, bertemu lawan jenis pun mungkin ia akan lari atau tak peduli. Baginya mempertahankan hidup jauh lebih penting dari sekadar persoalan seks. Apa mungkin ia pernah kecewa?

Entahlah!

Pernah memang suatu kali saat ia sedang makan keju, lawan jenis yang tampak menawan lewat di hadapannya. Semula ia ingin langsung kabur. Cuma ia tidak sampai hati saat mata si lawan jenis terlihat sendu; sepertinya juga kelaparan. Dengan buru-buru ia memberikan makananya, kemudian ancang-ancang ingin pergi.

Akan tetapi saat kaki kecilnya mau ia langkahkan, suara jeritan si lawan jenis menguap ke udara. Ia spontan melompat menerkam makhluk yang membuat si lawan jenis menjerit. Nasib buruk, ia tak mampu menolong. Alih-alih ia pun nyaris mati dalam pertarungan itu. Mungkin peristiwa itu yang menyebabkan ia sungguh tak mau lagi peduli pada apapun, selain dirinya sendiri.  

Matahari mulai menarik gaunnya pelan-pelan ke arah Barat. Bersamaan dengan itu malam pun mulai mengenakan jubah kegelapannya yang tebal—seperti menyeringai dan berkata, akulah kini penguasanya.

Bagi sebagian makhluk, malam adalah awal dimulainya sebuah kehidupan. Denyut nafas terkadang lebih memburu ketimbang saat matahari membentangkan sinarnya. Ya, begitulah kehidupan. Selalu ada dua sisi yang bertolak belakang. Hitam-putih, terang-gelap, baik-buruk, dan sebagainya.

Kota Anu berhias cahaya; terlihat begitu molek-gemerlap. Kota itu mencoba mengubah malam menjadi siang. Tapi siapa pun yang mencoba, selalu lupa jika siang bukan hanya sekadar terang, melainkan mataharilah penanda sahih meski redup belaka.

Tempat hiburan, kafe pinggir jalan, kedai, serta warung makan-minum sudah mulai mengalirkan darah kehidupan malam. Ia masih berlari menelusuri lorong-lorong gelap Kota Anu. Sesekali ia terbentur benda asing di jalan. Wajar, ia sebenarnya memang makhluk yang memiliki penglihatan buruk. Bahkan di siang hari pun, ia kadang sering terbentur sesuatu benda.

Hanya entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja perasaannya mendadak diselimuti ketakutan yang tidak biasa. Semakin kencang ia berlari—dinding-dinding lorong yang gelap dan panjang itu semakin menyempit ia rasa. Akhirnya ia berada di ujung lorong.

Salah satu sudut lorong ternyata telah terpasang sebuah perangkap yang siap menerkam. Ingat, ia buruk dalam penglihatan, bukan buta! Apalagi kalau melihat maut di hadapan, tentu matanya sungguh akan berfungsi dengan baik.

Ia putus asa. Nafasnya memburu; kakinya gemetar—tak tahu apalagi yang mau dilakukan. Mungkin inilah akhir dari pelariannya selama ini. Pelarian yang seperti tidak ada ujung, namun berakhir di ujung sebuah lorong gelap. Mau tidak mau, ujung itu harus ia tuju. Atau?

“Sial, kalau mundur pun percuma!” katanya kesal.

“Sebenarnya kau hanya perlu mencari jalan baru, bukan mengumpat,” kata seekor kucing lapar yang tepat berada di belakangnya. []

Akasia 11CT


Penulis:

ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *