Resensi Buku
Kuda: Meneropong Arus Zaman Pada Sebuah Kisah

Kuda: Meneropong Arus Zaman Pada Sebuah Kisah

Judul: Kuda
Penulis: Panji Sukma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Oktober 2022
Tebal: 94 halaman
ISBN: 978-602-06-6455-2

Kuda Ajimpiani tidaklah lazim sebagai nama jika diberikan kepada anak yang lahir setelah reformasi. Berbagai penelitian bahasa menunjukkan bahwa pasca reformasi kecenderungan masyarakat Indonesia menamai anaknya dengan menyematkan bahasa Timur Tengah atau Eropa. Hal itu terjadi karena pergeseran pemahaman kebudayaan yang mulanya tertutup menjadi terbuka.

Namun berbeda dengan tokoh Kuda dalam novel Kuda karangan Panji Sukma (Gramedia Pustaka Utama, 2022). Kuda mengemban peranan penting dalam membangun 14 bab kisah, yang mencakupi persoalan perubahan zaman, pengkhianatan, keluarga, sejarah, dan segala macam pernik masalah hidup manusia.

Kuda merupakan anak Empu Manyu, seorang empu keris tersohor di era orde baru. Tetapi, setelah reformasi pesanan keris semakin menurun dan berdampak pada masalah himpitan ekonomi. Akibatnya, Kuda yang terkenal sebagai anak yang memiliki kemampuan kognitif di atas rata-rata tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

Peliknya kisah yang tersaji memiliki kaitan dengan masa sebelumnya. Kuda adalah keturunan ketujuh dari nenek moyangnya yang ditakdirkan mendapat kutukan. Melalui sebuah patrem keris yang ditemukan Empu Manyu di sebuah telaga, kutukan itu menjalar ke setiap fase hidup Kuda: mulai dari musabab kematian ibunya, hingga kisah yang menutup novel melalui adegan pertarungan seorang sipil dan militer.

Patrem keris yang menyimpan kutukan tersebut ditemukan Empu Manyu seusai mengakhiri prosesi ritual yang diminta sahabatnya, Abdul Aziz, guna mendapatkan kemujuran hidup. Keduanya kemudian saling berjanji, namun di sisi lain Empu Manyu keberatan karena harus menikahi perempuan yang dihamili Abdul Aziz. Sahabatnya itu berkepentingan untuk meminang anak seorang jenderal demi mengamankan jabatannya di institusi militer.

Empu Manyu menerima perjanjian atas nama persahabatan, sebab Abdul Aziz adalah orang yang membuka keran rezeki kepadanya. Abdul Aziz menawarkan keris karya Empu Manyu kepada kolega, pejabat pemerintahan, maupun atasan di institusi militer. Selain pusaka, wejangan Empu Manyu perihal wibawa dan kewaskitaan juga menjadi daya tarik lain bagi orang-orang penting di masa orde baru.

Keris tidak hanya berperan sebagai sebuah senjata begitu saja, tetapi menjadi simbol kedudukan seseorang. Keampuhan seorang empu diuji seusai keris keluar dari besalen. Sebelum campuran logam ditempa, empu hendaklah harus bertemu dengan calon pemilik untuk mengenali siapa dirinya, sehingga keris yang nantinya diserahkan sesuai karakter pemiliknya.

Narasi dalam novel mampu mengenalkan bagaimana prosesi pembuatan keris kepada pembaca. Selain itu, detail narasi juga menegaskan latar belakang pengarang yang tidak lain adalah anak seorang empu. Kelihaian Panji membuat narasi semestinya menjadi refleksi kepada pembaca tentang keris yang selama ini divisualisasikan sebagai pusaka yang buruk, mistis, dan dekat dengan sesuatu yang bertentangan dengan agama.

Pendekatan teks yang logis perihal keris sebagai benda pusaka maupun empu sebagai profesi, mendudukan bahwa keduanya berhak diberi tempat yang setara dalam pandangan kebudayaan. Keris senyatanya tidak selalu dekat dengan ritual dukun, ahli santet, atau dunia per-klenik-an. Panji memberikan pengertian bahwa setiap benda yang selama ini digambarkan dalam batas imajinasi masyarakat sebagai sesuatu yang negatif justru mencatat beragam peristiwa di berbagai masa.

Sementara itu, penempatan logika dalam teks lainnya adalah empu tidak lebih sebagai sebuah profesi. Pengetahuan, guru, dan praktik merupakan proses panjang yang harus dilewati seorang empu sehingga dirinya dikatakan ampuh. Apa yang dihadapi Empu Manyu pun tak jauh dengan profesi lainnya, kadang menghasilkan pundi-pundi lebih atau sebaliknya.

Adapun Kuda karangan Panji Sukma ini berbeda dengan novel sebelumnya, Sang Keris (Gramedia Pustaka Utama, 2020). Perbedaan yang paling kontras terlihat dari penokohan. Sang Keris menawarkan sebuah kisah perjalanan keris sebagai pusaka perekam zaman. Sementara itu, Kuda, menawarkan kisah keluarga seorang empu keris, yang diwakilkan melalui tokoh-tokohnya.

Namun, kekuatan Panji selalu menebalkan peristiwa politik-kekuasaan sebagai pembangun cerita. Pergulatan kekuasaan memang diolah sedemikian rupa baik dalam pandang historis maupun futuris. Panji berupaya menitipkan ingatan kolektif masyarakat perihal kehidupan pra dan pasca reformasi dalam Kuda.

Cerita kadang berjalan pelan dan tiba-tiba menohok pembaca. Misalnya, kemunculan Nyi Pethak, Demang Sukayana, dan Tumenggung Tjipto hadir menjadi penerang dari mana kutukan tujuh turunan itu berasal. Sambungan lain juga muncul mengenai pernikahan Empu Manyu dan Marini, keduanya menikah bukan karena rasa cinta tapi karena keterpaksaan.

Kematian tragis Marini ketika harus melahirkan Kuda dengan menyayat perutnya sendiri, menjadi narasi yang membuat mata terbelalak karena berjalan sangat cepat. Kemungkinan-kemungkinan yang hadir berhasil mencabik logika pembaca, terlebih prosesi kelahiran Kuda terjadi di bangsal rumah sakit.

Bangunan kisah berjalan seperti mengontraskan narasi yang pada umumnya hidup dalam budaya tutur masyarakat Jawa. Tentang bagaimana masyarakat pasca orde baru memandang empu tak ada bedanya dengan dukun atau keris sebagai sebuah simbol yang syirik. Secara membabi buta, Panji menampar hegemoni tersebut: tidaklah benar tinggalan nenek moyang layak mendapat anggapan seperti itu.

Bagian menarik lainnya perihal penggambaran situasi pasca reformasi adalah kemunculan Ko Aho dan anaknya, Alin. Keduanya merupakan warga keturunan Tionghoa yang menepi dari kota akibat kerusuhan. Di desa Ko Aho mendapat ketenteraman dan mendirikan pabrik produksi pabrik.

Panji, di setiap cerpen atau novelnya kerap menempatkan Bekonang entah sebagai latar atau bangunan suasana. Ciu selain memabukkan, ternyata juga mampu menjadi cairan pembersih karat alat-alat pembuat keris.

Selain itu, dalam novel ini, ciu produksi Honggowongso memiliki tempat penting. Karena kebenaran tentang siapa Kuda, kutukan masa lalu, hingga hubungan antara Empu Manyu dan Abdul Aziz terungkap ketika Kuda membeli ciu di tempat Honggowongso.

Novel Kuda mengingatkan situasi pasca reformasi kepada pembaca. Seperti ciu, novel ini juga berhasil memabukkan kesadaran pembaca untuk merefleksi reformasi di zaman sekarang. Pula penawaran dekonstruksi pemahaman tentang kebudayaan moyang yang logis dibanding mengecapnya jauh dari agama atau ketinggalan zaman, cukup membuat sesorang sempoyongan sembari menanyai kembali dari mana dirinya berasal. []


Penulis:

Rudi Agus Hartanto, putra daerah Mojogedang. Merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret.  Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *