Puisi
Puisi Eddy Pranata PNP

Puisi Eddy Pranata PNP

PEREMPUAN PINUS YANG MEMBUAT
AKU MABUK SELALU

Bau hutan menguar. Matahari masih tertutup kabut. Langkah
mendaki menelusuri jalan setapak. Embun. Debar dada
Dedaunan kuning berguguran. Kenyataan. Menakik getah
Serupa menjerit ia toreh kulit pohon pinus. Bertahun-tahun
: “Aku serahkan segalanya, usia dan doa-doa, penyair!”

Perempuan pinus yang membuat aku mabuk selalu
Ketulusanmu. Bukan karena harta benda. Bukan karena puisi
Tubuhmu berkeringat. Memperjuangkan cinta. Kau takik
getah, kaurentang jalan hidup yang terkadang absurd
bertaruh usia dan doa-doa. Cahaya. Edelweis. Marwah rindu
: “Jangan kaukutuk aku jadi puisi, aku hanya bunga pinus!”

Engkau menabur serpih sejarah dengan sangatlah indah
Tiada sembilu. Tiada pengkhianatan. Tiada penghinaan
Andai engkau langit, adalah keluasan kasih tak berbatas
Dengan takzim aku takjub, aku menaruh hormat, ikhlas
Karena aku hanya pejalan yang fakir, pemimpi yang kalah
: “Peluk, peluklah aku seerat-eratnya, perempuan pinus!”

Pertengkaran demi pertengkaran kian menyatukan hati
yang emosional, yang pencemburu, yang menggebu-gebu
Rindu. Tak sedetik pun hendak bersedih. Maunya peluk
Seeratnya dan tak dilepaskan. Untukku. Untukmu. Serpih puisi
Entah sampai kapan. Perjalanan tak berbatas tak bersekat
: “Kenikmatan ini hanya untukku, untukmu. Kekasih. Cahaya!”

Tapi kenapa engkau ingin boneka Teddy Bear? Di bawah panas
matahari berdangkang, kisah hidup mekar. Tubuhmu selalu saja
lebih rendah dari bayang-bayang. Perjalananmu serupa langkah
dalam labirin. Tergesa dan membentur-bentur dinding kemuliaan
:”Aku tak akan menyerah pada kenyataan, sepahit-segetir apa pun
Aku harus berani bertarung. Aku berhak bahagia dan menang!”

Engkaulah pohon pinus, yang batangnya kutakik setiap waktu
Getah menetes-netes; dari kulit yang terkelupas, ketulusan
Dan kasih sayang. Getah itu menjelma imaji dan kata-kata;
Hidupku adalah keringat dan air mata
: “Selain doa, kebaikan seperti apa yang telah engkau berikan?”

Ingat, jangan pernah berkhianat. Takik. Takiklah getah
Hingga jarak, ruang dan waktu abadi, dalam cinta
Sorot matamu berkaca-kaca:
: “Aku ingin sekali saja menjadi wanita yang kausebut-sebut
namanya dalam puisi rindu sederhana memabukkan hati-jiwa!”

Jaspinka, 15 Mei 2023

LIANG SUNYI

Ke dalam liang paling sunyi. Engkau menuju
dengan zikir, dengan senyum, dan berbaring
tak ada rindu, tak ada puisi
Hanya nyanyian serupa elegi
Hanya sosok serupa siluet
Engkau pergi, meninggalkan wangi
Sisa kecupan, catatan luka, air mata

: “Adakah luang waktumu? Menulis puisi
Memeluk erat hati-jiwa penyair. Walau sekali!”

dari hilir ke hulu, menelusuri masa lalu.

Jaspinka, 30 April 2023

LUKA YANG MENGERING

Setelah bukit, sawah-sawah, jalan yang menanjak-menurun
Pertemuan sebelum perpisahan. Ar mata, pelukan. Luka
yang kemudian perlahan mengering. Kepergian ke kota
yang jauh. Akan menumbuhkan batu tajam rindu. Ngilu

: “Aku ingin bahagia juga, selamanya. Tanpa syarat!”

Tetapi hanya puisi, hanya puisi. Mewangi sepanjang waktu
Cahaya dan tuan penyair. Jarak dan ruang. Rengkuhlah
segala yang membuat bahagia. Sesederhana apa pun

: “Pungut, pungutlah kelopak mawar yang gugur
sebagai bagian kecil sejarah paling debar!”

Jarak dan ruang. Berdenyar. Sepanjang waktu Cahaya.

Jaspinka, 29 April 2023

TITIAN SUNYI

Di antara dua jurang menganga, ada titian sunyi
Membentang, ia, perempuan dengan bekas luka
tepat di bawah ulu hati termangu lama, walau
kemudian dengan langkah sangat hati-hati
Menyeberang. Ketika di tengah-tengah jurang
di atas titian sunyi; ia lihat ke bawah batu-batu
runcing siap menerkam, deras air keruh siap menelan

Ia matanya beberapa lama dipejamkan
Membayangkan tubuhnya melayang, dan sesaat
kemudian membentur batu runcing, ditelan deras
keruh air. Lalu gelap semuanya.
Ia lewati titian sunyi dengan zikir panjang
Senyuman. Langit diam. Angin menderu pelan

: “Ini rindu tajam membatu. Hai, penyair, peluk aku
walau sesaat saja, seluka saja!”

Jaspinka, 29 April 2023

BIDUK RAPUH

Sepahit apa hidupmu? Sesakit apa hati-jiwamu?
Telah kaubiarkan biduk rapuh berlumut membelah selat
Dengan pendayung basah air mata. Terapung-apung
dihantam ombak-gelombang. Entah sampai kapan

Biduk rapuh berzikir. Kekalahan demi kekahalan menjelma
Cahaya melumuri biduk, hamparan laut, tebing karang
Tetapi, sungguh, engkau tahan dada amat sakit, biduk terus
meluncur menembus amuk ombak-gelombang, Mahalara

Biduk rapuh. Membelah-belah selat. Segalanya sunyi
Hanya debur. Hanya perih.

Jaspinka, 28 April 2023

AKHIRNYA KUTEMPUH JUA JALAN SUNYI

Setelah bertahun-tahun aku bertarung dengan panas laut
Gerah kota, dengan orang-orang yang adigang-adigung
Akhirnya kutempuh jua jalan sunyi, jalan lempang panjang
tempat mengalah. Tempat merangkai kenangan-kenangan
sepahit-segetir apa pun. Rupanya tak ada arti lagi cahaya
dari segumpal hati yang sangat diagungkan, sangat dikagumi

Aku pilih jua jalan sunyi. Agar tak ada yang tersakiti lagi
Segala pedih biar aku tanggungkan. Serupa masa-masa
sebelumnya, sejak dulu, aku pilih berpeluk kata-kata
Aku tak mau hati-jiwa dan harga diriku diinjak-injak

Aku pilih jua jalan sunyi akhirnya. Aku biarkan orang-orang
jumawa, merasa paling hebat dan segalanya di atas dunia
aku memang hanya sebutir debu, sebutir debu, tiada makna
Aku hanya akan berpeluk kata-kata, entah sampai kapan

Aku pilih jua jalan sunyi. Akhirnya, aku ingin (sendiri): Puisi!

Jaspinka, 26 April 2023

LELAKI PENGUNYAH PUISI

Lelaki pengunyah puisi itu telah menjadi mayat sunyi. Hati-jiwanya
amatlah rapuh Sebelumnya takluk dan kalah. Terseret jauh ke dalam
gelombang dan terbentur-bentur ke dinding karang, lalu terhempas
ke daratan. Di atas gundukan pasir, mayat sunyi itu terbakar
matahari, aromanya edelweis. Satu dua camar melintas di atasnya.
Entah sampai kapan, mungkin sampai tangan kasih-Mu memeluk
lalu menguburkannya ke surga.

Lelaki pengunyah puisi itu telah menjadi mayat sunyi. Lidahnya kaku
Darah beku. Ia telah kalah. Tak bisa lagi berargumentasi bahwa
keindahan itu sederhana. Sederhana itu indah. Tak ada lagi debar
Yang tersisa hanya rasa takut. Takut kehilangan hal paling rahasia
“Cinta”. Lalu apa lagi?

Lelaki pengunyah puisi itu telah menjadi mayat sunyi. Ia nikmati
rasa sakit dan nyeri. Tak berbagi.

“Cinta” serupa apa bisa dimaknai dari Lelaki pengunyah puisi
yang telah menjadi mayat sunyi? Ketulusan. Keagungan. Ikhlas.

Waktu berguling di atas hampar sembilu.

Jaspinka, 25 April 2023

SAJAK DALAM TUBUH ASU

ya, Tuhan, lihatlah ada sajak dalam tubuh asu
Sajak serupa asu. Menyeringai. Menggonggong
Melolong panjang ketika purnama. Lidahnya menetes ludah
Lahap segala tulang, daging dan roti. Berdasi. Bersepatu
Berbaju oranye. Terkam yang bisa diterkam. Gigit yang
bisa digigit. Garong. Kemplang. Minum arak, air laut
dan soda susu. Mengendap, mendengus, merangsek
Tanpa ampun. Gasak. Kesempatan. Kewenangan. Tak
peduli, pamer kemewahan. Menghapus jejak. Tapi tak
semua jejak terhapus. Terbongkar. Seret ke bui

Sajak serupa asu. Tak ada toleransi, apalagi rendah hati
Adigang adigung, tak berguna. Tak peduli Si Lapar
Terus saja melolong, menggeram. Lahap tulang, daging
dan roti. Abadi dalam segala yang bernama gasak
dan sembunyi dari matahari. Dari kebenaran. Dasar. Asu!

Jaspinka, 11 April 2023

GUMAM KECIL DARI BUKIT PINUS

Angin bergemeretak. Pohon pinus tegak lurus dengan langit
Ada suara melengking serupa jerit. Getah menetes
Kulit-kulit pohon terkelupas. Arit. Tempurung. Jemari tangan kekar
Peluh. Hanya gumam kecil: Kanjeng Gusti beri ia kekuatan
Tebing terjal. Bukit curam. Daun-daun pinus gugur
Waktu mengeras menjelma kesunyian. Entah hingga kapan
Getah menetes. Peluh menetes. Sorot mata berkilat-kilat
Di sela barisan pohon pinus. Bertebaran kisah getir. Upah minim
Asal dapur ngebul. Menjaga napas tersengal. Apakah itu suratan
Burung liar menjerit. Mengiris pucuk-pucuk pinus. o, Puisi

Sorot mata berkilat. Senja pergi. Tangan kekar gemetar jua
Mulut menganga. Tapi tak jua keluar suaranya

: “Kanjeng Gusti, beri ia kekuatan. Beri ia sepotong rezeki!”
Angin bergemeretak. Pohon pinus tegak lurus dengan langit.

Jaspinka, 09 April 2023

MENGHANYUTKAN KENANGAN

ke hulu serayu jua menghanyutkan kenangan
pahit+getir serupa duri+onak membelit gigir bukit
kabut mengurung sampan meluncur ke hilir
: “kauseret dukamu pada setiap pertemuan
dan ou, air mata serupa bah”

sampan terus meluncur ke hilir melupakan luka
batin yang tersiksa karena egomu
tak akan pernah kalah atau salah
tetapi penindasan demi penghinaan harus dilawan
setiap orang harus berusaha berjalan kepala tegak
tanpa seujung kuku pun mengharap belas kasihan
: “ini hidup+cinta hanya buat tuan penyair!”

ke hulu serayu jua menghanyutkan kenangan
sampan senantiasa bercahaya meluncur ke hilir
terus berzikir ke muara kasih-Nya.

Jaspinka, 03 April 2023

MEMERAS IMAJI DAN INTUISI

bercampur keringat+sengat matahari
seorang penyair harus kuat mengunyah keras kata-kata
yang bisa menjelma palu bisa menjelma batu karang
kata-kata yang siap memukul siap membentur ruang waktu
tapi engkau terlihat gagu+ragu memeras imaji dan intuisi
: “usiaku terlalu mentah untuk berani bertarung kata-kata
aku biarlah tetap bocah ingusan yang manja!”

kata-kata terus membentur ruang waktu lama+jauh
meninggalkan hati gundah jiwa resah, jangan sentuh
lagi wajah dan tubuh karena mungkin terluka
mungkin kecewa+gemetar tiada nyali, biarlah ia tetap
anak-anak suka merengek, suka dimanja tak mau derita
: “tak ada lagi keringat yang jatuh dari imaji+intuisi, tuan
penyair berhati kawat berjiwa mekar bunga!”

tinggal arus sunyi menderas dari ruang waktu
memanjang di atas segala kesedihan+derita
entah sampai kapan, arus sunyi sampai ke muara
ke laut kasih-Nya.

Jaspinka, 02 April 2023

AKU TERSUNGKUR DI ATAS SAJADAH

serindu apa pun kepada-Mu
aku tersungkur di atas sajadah jua

ini ramadan kesepuluh, air mata tetes
membasahi bayang seorang penyair
yang kurus dekil
yang nyentrik berambut panjang
yang bersandal jepit bercelana jeans robek
yang jarang mandi gosok gigi
yang kadang bicara seperti filsuf
yang sering diam mematung di bawah tiang bendera
yang menulis sajak-sajak ngilu dan sajak-sajak bara

hanya sekilas ingatan

rinduku kepada-Mu aku tersungkur
di atas sajadah
air mata tetes
membasahi bayang seorang novelis
yang bertahan hidup dengan dunianya
yang memakan segala jenis buku
yang melahap derita-derita purba

aku tersungkur di atas sajadah
air mata tetes
membasahi bayang diri yang kian menua
yang ingin zikir sepanjang masa
yang menuju pintu kematian
dalam halus genggaman telapak tangan-Mu.

Jaspinka, 01 April 2023

KEPAK SAYAP BURUNG
MEMBELAH RUANG KESUNYIAN

orang-orang terkasih, izinkan, aku hanya ingin merenung: sepagi ini, sepasang burung emprit– telah begitu khusuk membangun sarang, sulur-sulur rumput kering, ranting-ranting perdu kering diusungnya dengan paruh ke pucuk pohon rambutan dijalin sulur demi sulur, ranting perdu demi ranting perdu membentuk geronggang serupa puisi yang absurd nyaris tanpa suara, tidak ada kegaduhan yang mengusik ketenangan, langit biru muda bersih, angin tak menggoyang daun-daun, sepasang emprit itu mengepakkan sayapnya, kembali mengusung sulur-sulur rumput kering, ranting-ranting perdu kering, dijalin sulur demi sulur, ranting perdu demi ranting perdu begitu terus berulang-ulang hingga menjelang siang, sarang itu telah begitu sempurna, sepasang emprit saling bertatapan, dari kedua pasang matanya memancarkan cahaya: kekasih, kuasa tuhan apalagi yang kausangsingkan? sarang itu telah terbangun rapih indah di atas pucuk pohon rambutan; kehidupan, cinta kasih, akan senantiasa lahir dari jiwa-jiwa yang tulus, dari kepak sayap burung membelah ruang kesunyian, o!

Jaspinka, 20 Maret 2023

DEJAVU #1

tak hanya seorang penyair, cerpenis, novelis, penulis naskah drama, atau siapa pun, profesi apa pun ketika dirinya diibaratkan serupa sesosok masa lalu yang getir dan amis tentu akan jengah atau tak enak hati, akh, sesosok yang datang hanya untuk meretas sebuah kebahagiaan kalau memang telah disudahi ya sudahilah, tak perlu lagi menyebut-nyebut masa lalu itu jangan sampai jurang menganga, dan api menyala: “kuburkanlah seluruh masa lalu!” seru seorang musafir yang begitu mengagumi langit masa depan dan musafir itu kemudian berlalu ke arah tenggara, menyusuri jalan terjal paling sunyi: baris-baris puisi o, puisi!

DEJAVU #2

selaksa elegi dari hutan pinus
meruang-waktu
getah menetes sekujur tubuh

: “tak akan mengering perih
menjadi rahasia!”

di sini, getah mengental puisi.

DEJAVU #3

hal yang paling menyedihkan
adalah bayangan wajah sembilu.

Jaspinka, 17-19 Maret 2023


Penulis:

Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat.. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021). Puisinya tersiar di pelbagai media dan terhimpun di puluhan antoogi bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *