Resensi Buku
Perempuan dalam Pagar Budaya Madura

Perempuan dalam Pagar Budaya Madura

Judul        :    Kembang Selir
Penulis     :    Muna Masyari
Penerbit   :    Diva Press, Yogyakarta
Cetakan   :    Pertama, Juni 2023
Tebal        :    132 halaman
ISBN   :           978-623-189-210-2

Putu Wijaya pernah berkata, “Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak.”

Muna Masyari adalah penulis perempuan yang menjadi bagian dari “gumpalan burung” tersebut. Prosa-prosa anggitannya menggunakan bahasa yang puitis, namun memberontak kemapanan.

Budi Darma mengatakan, “Dalam perkembangan sastra mutakhir, Muna Masyari adalah sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar yang memukau.”

Layaknya meteor, Muna Masyari memasuki atmosfer sastra Indonesia dengan pancaran sinar menyilaukan. Bukan saja karena pilihan bahasa yang ia gunakan dan gugatan lantangnya akan ketidakadilan gender, yang (untuk kesekian kalinya) menghantam kesadaran khalayak, juga lantaran konsistensinya mengangkat budaya Madura dalam prosa-prosa anggitannya.

Muna paham betul kelebihan dan kekurangan budaya Madura yang ia hayati sehari-hari. Seperti pagar, budaya—apapun itu—bisa melindungi sekaligus membatasi individu maupun masyarakat yang hidup di dalamnya. Budaya tak ubahnya pagar yang bisa menjaga, namun sekaligus dapat memenjarakan. Lewat prosa-prosa yang ia tulis, Muna seolah-olah tengah membuka lebar-lebar pagar budaya Madura, mengajak khalayak pembaca masuk ke dalamnya, ikut melihat-merasakan-meresapi-menghayati, kemudian mempertanyakan dan menggugat ketimpangan yang ada. Dengan prosa-prosanya, Muna tak hendak menjadikan ketimpangan dalam pagar budaya Madura, sekadar urusan “kami” melainkan “kita”. Untuk itu, Muna terus berusaha mengusik kemapanan pemahaman dan keyakinan dengan keberaniannya menyoroti budayanya sendiri secara krisis.

Dalam Kembang Selir (kumpulan cerpen, 2023), karya teranyarnya, Muna masih setia mengusung persoalan-persoalan perempuan dalam pagar budaya Madura. Seperti dalam budaya lain, dalam budaya Madura, perempuan adalah sumbu kehidupan. Ia adalah nyala dalam rumah tangga dan komponen penting—tapi kerap tak dihargai—dalam setiap hajat komunal, seperti perayaan, selamatan, peringatan, dan sebagainya.

Cerpen Gelas dan Piring (halaman 48-54), misalnya, menggambarkan bagaimana pengorbanan istri dalam menyangga kehidupan rumah tangga, termasuk mengurusi mertua yang terbaring sakit digerogoti diabetes,

“Malam menjadi begitu gemerlap baginya. Lupa, kalau paginya dia sempat kewalahan membersihan tempat tidur mertuanya yang penuh tinja. Lupa, kalau tangannya tertusuk pecahan gelas dan piring yang berserakan di lantai. Lupa pada seabrek kesibukan yang membuat perempuan ringkih itu tak sempat memperhatikan penampilan dan berdandan.” (halaman 49).

“Siti berbakti sepenuh hati, tidak mengkalkulasi untung-rugi. Baginya, tidak ada hitungan Matematika dalam cinta dan rumah tangga. Apalagi, mengingat waktu kecil, ketika nenek bilang, surga seorang perempuan ada di dada suaminya.” (halaman 49).

Dalam cerpen Burung Tua (halaman 24-31), tergambar jelas betapa vital peran perempuan-perempuan yang saling bahu-membahu, bertungkus lumus menyiapakan hidangan Tajin Sappar guna menyambut datangnya bulan Safar. Pun dalam cerpen Bubur Sura (halaman 71-78)—yang dalam keyakinan setempat, dengan menyantapnya dapat mengindarkan dari malapetaka, “… karena Sura adalah bulan nahas.” (halaman 73).

Juga dalam acara Pelet Betteng, Rokat Kandung Kembar, dan Maulidan.

Tetapi, seperti budaya-budaya lain, dalam budaya Madura pun, perempuan masih kerap dipandang dan diperlakukan secara kontradiktif: kehadirannya diharapkan, namun jasa serta sosoknya sering dimarjinalkan, juga dilecehkan secara seksual. Tak jarang, perempuan diperlakukan layaknya barang yang bisa dimiliki, dipermainkan, dan dipergunakan sesuka hati, termasuk dikawinkan dan diceraikan secara semena-mena.

Cerpen Kembang Selir (halaman 122-128) menggambarkan dengan gamblang perkara tersebut. Tokoh Aku (perempuan) dengan teramat mudah dijatuhi talak tiga oleh suaminya lantaran kecurigaan tak berdasar dan tanpa pertimbangan masak. Dalam hitungan jam, sang suami menyesal. Ia ingin kembali menjadi suami tokoh Aku. Pun si ayah mertua; ia takut menanggung malu jika anak lelakinya tiba-tiba bercerai, apalagi ia telah menghabiskan banyak dana untuk menghelat pesta perkawinan.

Namun kehendak rujuk, terhalang aturan agama. Maka, dengan culas, ayah mertua berkongsi dengan ayah kandung Aku, mengakal-akali agar aturan agama tersebut dapat “diseberangi” dengan mudah. Semuanya dilakukan tanpa meminta atau sekadar memberitahu yang bersangkutan, yakni tokoh Aku. Baik ayah kandung maupun ayah mertua berbuat seenak perut mereka sendiri dengan dalih; demi kebaikan bersama.

Cerpen Tutup Cangkir (halaman 16-23)—di antaranya—merekam bagaimana tindak pelecehan terhadap perempuan kerap disalahpahami sebagai canda dan hiburan belaka,

“… mata pelanggan diam-diam melirik dada montoknya … menyenggol bokongnya seolah tanpa sengaja, padahal dia yakin lelaki itu sengaja melakukannya. Lain lagi soal canda-gurau pelanggan yang selalu menyerempet tentang perkasuran, dan perempuan itu kerap kena lemparan kata-kata nakal.” (halaman 20).

Seperti telah disinggung, kemilau prosa-prosa karya Muna Masyari, tak hanya terletak pada persoalan-persoalan krusial perempuan dan nilai-nilai budaya Madura—entah positif maupun negatif—tapi juga karena kecantikan pilihan bahasa yang digunakan. Di banyak bagian, Muna menggunakan kata-kata perlambang yang dalam secara makna. Ambil sebagai contoh,

“… burung dalam sarung, mati tak dikubur.” (Kandung Kembar, halaman 8).

“… namun janji itu bagai jambu air di musim hujan.” (Tutup Cangkir, halaman 23).

“… menelan nasi di mulut, rasanya seperti menelan sabut.” (Burung Tua, halaman 31).

“Kita seperti September dan Muharram tahun ini. Menyatu dalam perbedaan. Berpaling dari perselisihan. Mengabaikan ketidakmufakatan, namun setelah itu, tetap ada yang meninggalkan dan ditinggalkan.” (Bubur Sura, halaman 78).

“Setiap omongan besarnya tak lebih dari kotoran yang muncrat ketika ulat kena injak, hijau-pekat dan menjijikkan.” (Ulat Daun Emas, halaman 87).

“Bayang-bayang kamboja seredup mata bayi mengantuk. Dahan-dahan pohon itu menggeleng enggan seperti bocah demam ditawari makan.” (Nama-Nama di Batu Nisan, halaman 104).

Tentu kita berharap, Muna Masyari terus menulis. Masih banyak persoalan perempuan Madura yang harus diperjuangkan dalam sastra kita. Diskriminasi terhadap perempuan adalah salah satunya. Persoalan tersebut, bahkan secara resmi termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Maka tak pelak lagi, kendati dilukiskan dalam pagar budaya Madura, sesungguhnya persoalan-persoalan diskriminasi perempuan yang dilantangkan Muna Masyari bukanlah isu-isu lokal, melainkan isu-isu global.


Penulis:

Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah. Ia menganggit fiksi dan nonfiksi di banyak media massa cetak maupun berbasis online. Ayah dua anak ini, kini bermukim di Jalan Letnan Kusni nomor 10 RT 2 RW 6, Bancar Badhog Centre, Purbalingga, Jawa Tengah. Dapat dihubungi lewat surel [email protected] dan Instagram @thomasutomo_.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *