Puisi
Puisi Zaidan Dhiya

Puisi Zaidan Dhiya

1. Sebuah garis berangkat menuju yang bukan pulang

Dan yang terputus-putus dari kemarin atau sedikit shoegaze ringan setelah Frankenstein dan menangis untuk ingatan tentang buah di tengah meja

Kau diam dan telanjang
Untuk lurus dan bayangan-bayangan yang terlipat, yang penggaris dan lonceng pagar

2. Besok dan sesekali menjadi biru

Pembatas —mana yang bukan jalan menuju percakapan
atau sesekali meraba ubun tuhan.

Jeritan-jeritan masa lampau seperti seretan kaki di atas bau api dan tubuh yang telah lingkar itu

Aku, ke—ramai untuk etalase-etalase yang dipecah dingin pagi,
setelah seorang kau beranjak untuk diam dan kembali sesekali.

Semua menjadi ter —letak
Tentang yang bukan berjalan untuk sebuah aku di dalam halaman-halaman waktu,
dalam gerakan-gerakan pada lorong paling lupa untuk segala lubang di bawah pasir
dan tubuhmu yang tertidur.

Perbatasan, tak ada.
Tak ada lampu-lampu, lagi.

Kau memanggil diam, mencium bau rumah sebelum kafein dan gula-gula setelah waktu malam.

Tak ada lagi yang berdiam di atas hitam; pundak, dan waktu yang hampir hujan di dalam kau.

3. Selepas, sphinx

Aku sedang menggerakkan lengan,
aku sedang mengintip rasa pulang yang tak pernah ada

4. Lubang-lubang tentang bunyi (tubuh)

Orang-orang di dalam air.

Kau menuju basah dari bulan-bulan sebelumnya.

Yang seperti lurus, mencari huruf-huruf setelah angin
dan kenangan tentang yang terpisah dari retakan-retakan bunyi kereta (yang menyentuh telinga kirimu dengan persis).

Rempah, wadah rajut di dalam tas

Ingatlah gema ruang sebelum kau duduk di depan kesedihanmu

Untuk bau cat yang tumpah
Untuk ruang dan jemari manusia

Yang tersembunyi dari sebuah hilang

5. Bulan-bulan setelah rak buku dan basah
: Setelah Storefront Cruch – the gift

Membaca lagi pekan-pekan setelah yang pergi
dan tertinggal pada bibir gelas dari warna kemerahan bibirmu.

Membaca lagi dua bungkus rokok dan French fries panas di depan badanmu

Membaca lagi nama-nama yang bukan ingatan sebelum sebelah kiri menjadi benar-benar tubuhmu lagi (di seberang hujan).

Membaca lagi lelubang sejarah setelah gerimis di toko buku yang kuyup untuk dua pasang kaki yang berdiri menuju escalator hitam

Membaca lagi badan-badan yang menunggu di depan rumah, di depan warna putih dan bau tembakau setelah seseorang menjadi merasa mati oleh minggu dan Mei yang berdarah

Membaca lagi ruang tunggu yang panas dan tangis

Membaca lagi stasiun kereta atau terminal, lalu teh panas di atas kakimu yang tersilang dan hening dan jejak ungu untuk tidur yang telah bergerak mencari diam

Membaca lagi bau hujan untuk meja kayu di depan kita

Membaca lagi panjang ringkuk
-ku

6. Pertama yang hilang di depan warna putih
: Setelah The Orchids – you say you loved me

Juga

Lalu halaman 4

Lalu halaman-halaman memeluk napasmu

Kemanakah mendengar setelah seluruh pergi

Siapa di dalam foto terakhir

Kau keluar dari pintu untuk masuk
Kau keluar dari pintu untuk segelas air dan hitam

7. Melapas tiga
: Setelah Thom Yorke – daily battles

Menjadi dua
Hanya itu yang gerimis

Sekarang aku benar benar takut rumah

8. Setelah badan Picasso yang gelap

Aku sedang merayap ke dalam denyut jantung tentang warna-warni
dan yang terlepas dari makna setelah sekian jauh di bawah titik yang tak pernah menangis
dan dingin

Aku mencari judul, aku mencari warna kemerahan dari gerakan rambutmu,
dari ungu dan tidur dalam keadaan sepi

Sebab yang terlihat dari biru dan bunga-bunga
di badanmu kembali menuju pintu masuk dan ruang tunggu

Aku sedang berdiam di depan pintu,
membayangkan huruf-huruf naskah menyulam badan Inggit dan Joe di kamar mayat

Aku sedang memecahkan gelas lalu mencari hari besok untuk rasa panas sebelum dingin setelah kita

Aku di bawah gerimis, menyatakan,

Aku dan warna hitam

Aku dan bagaimana kau

Aku dan bagaimana tutup pasta yang hilang sebelum kau melewati batas dapur dan kamar mandi yang basah setelah semua menjadi rumit untuk tubuh yang berdiri di depan swalayan juga patung kuno; bunyi-bunyian yang lebih berisik dari suara jalan

Toko buku menjadi sudut

Kau dan toko perhiasan

Kau setelah setengah longblack nyaris dingin dalam cuaca

Aku melihat badan terakhir,
Menuju badan Picasso yang gelap

9. Gua bikin podcast dulu

Gua bikin film dulu; loe jadi tukang kebun sambil jahit huruf-huruf atau agama sekalipun

Cerita-cerita tentang jam 6 pagi

Tapi waktu itu loe, loe, gua
Kalimat-kalimat gagal dan ke-bingungan

Baris-4 :
Semua menjadi lurus, persis orang-orang di depan gerimis, di depan yang bukan mata selain kita

Gua bakar rokok sebelum seseorang

10. Ladang selain suara di tengah gambar
(Yang memesan waktu)
Memutari suara-suara kutukan; ketakutan
Berjauhan dari butir terakhir sebelum jam menunjukan arah yang berdiam di bangku-bangku pelabuhan
Kau nyaris seperti menunggu
(Udara panas menyulam warna kulit dan ladang dalam warna yang terlihat setelah pejam)

Seseorang meminta kembali
Seseorang baru saja membuka resleting tas di sebelah kaki kiri
Kau di tengah kerusuhan diri sendiri
Mencari hari besok setelah dingin dan bau embun menyentuh kalimat-kalimat yang terputus-putus

Kita meminta untuk pulang

Sebelum kau melihat yang menutup muka dengan kedua tangan
Nyaris seperti tangis

Dinding-dinding yang memeluk tubuhmu, yang memeluk ingatan-ingatan tentang yang berhenti untuk menyelinap ke dalam lelubang di balik pagar, di balik kalimat-kalimat yang lebih dari luka

Menaruh, merangkak

Melihat tubuh sendiri
Melihat tubuh sendiri

Bagaimana telinga merawat ingatan seperti kulit yang kau raba untuk beberapa saat

Merasakan painkiller di dalam tas
Merasakan keramik putih setelah sekian basah untuk sebuah telapak

Tak ada lagi, marun dan kecokelatan di dalam mobil
Di ujung warna hitam yang terlipat oleh sesiapa selain yang bukan

Tak ada lagi, badan
Kau di tengah kerusuhan diri sendiri
Kau di tengah waktu yang tak pernah selesai


Penulis:

Zaidan Dhiya, seorang penikmat juga penulis puisi. Instagram: zaidan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *