Cerpen
Setelah Matinya Anjing-anjing Kampung Kami

Setelah Matinya Anjing-anjing Kampung Kami

Aku sungguh tak habis pikir. Enam anjing di kampung kami mati diracun. Semua anjing itu mati dalam waktu yang berdekatan. Tak sampai dua minggu, mereka ditemukan mati satu persatu di halaman rumah atau di jalanan. Satu-satunya anjing yang tersisa kini hanya Jojo, anjing milik Kang Bahar.

“Kang Bahar harus jaga Jojo dengan hati-hati, lebih baik Jojo dimasukkan kandang dan dimasukkan ke dalam gudang saat malam. Jangan biarkan Jojo tidur di pekarangan seperti biasanya.” Aku mendatangi Kang Bahar, memberi saran padanya. Lelaki itu diam agak lama, mungkin memang tak tahu harus berkomentar apa. Ditatapnya Jojo yang sedang tiduran di pekarangan rumah. Kulihat Kang Bahar kemudian berjalan mendekati Jojo yang sedang tiduran di bawah pohon rambutan.

“Jo, demi keselamatanmu, nanti malam kamu tidur di gudang sebelah ya, tak apa dikunci di dalam sana. Kita ikuti saran Bang Jon.” Kang Bahar berkata sambil membelai kepala Jojo. Anjing itu berkedip-kedip sambil mengibaskan ekornya. Ia seperti memahami ucapan Kang Bahar. Jojo memang anjing yang dipelihara Kang Bahar sudah lama. Ia sering mengikuti Kang Bahar pergi ke kebun. Jojo tidak liar pada orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Ia bahkan akan mendekati jika ada orang yang memanggil namanya. Anak-anak kecil juga tidak takut pada Jojo, bahkan mereka sering bermain bersama.

Jojo anjing yang cerdas. Ia seperti bisa mengetahui ucapan orang terhadapnya. Misal Kang Bahar atau orang lain yang sudah akrab dengan Jojo memintanya untuk tidak masuk rumah, Jojo akan patuh. Itulah kenapa Jojo juga selalu tidur di luar tanpa kandang. Ia tidur di bawah balai bambu di bawah pohon rambutan depan rumah Kang Bahar tempat biasa lelaki itu mengaso. Jojo juga paham jika ia dilarang naik balai bambu tersebut. Jika hari atau malam sedang hujan, Jojo tidur di belakang rumah Kang Bahar, di bawah atap rumah sebagai pelindung tubuh Jojo dari kehujanan. Ada beberapa tumpukan karung goni bekas sebagai alas tidurnya. Jojo seperti sudah menjadi anggota keluarga Kang Bahar dan teman bagi banyak orang di kampung kami.

“Iya ya, Jo. Demi keselamatanmu, kamu nanti malam tidur di dalam ya,” ulangku padanya. Jojo mengangguk-anggukan kepalanya. Cuaca sore yang cerah ternyata memang menyenangkan dihabiskan bersantai di balai bambu depan rumah Kang Bahar ini. Pantaslah Kang Bahar betah bersantai di sini sore hari.

“Tapi saya heran lho, Bang Jon. Kenapa anjing-anjing itu diracun?” Terlontar pertanyaan dari Kang Bahar padaku.

“Itu mungkin suara-suara gonggongan mereka mengganggu istirahat orang-orang jika malam hari. Anjing-anjing itu juga suka mengganggu tanaman di kebun orang. Makanya ada yang tak suka pada mereka. Lagi pula anjing itu kan haram dalam agama kita seperti kata Ustaz Mukhlis….” Tiba-tiba satu suara menjawab pertanyaan.

Seorang lelaki berperawakan kecil dengan sarung menggantung di lehernya muncul dan menghampiri kami. Balai bambu ini memang terletak di pojok depan pekarangan Kang Bahar dengan posisi jalan depan agak ke bawah, tertutup benteng batu pembatas rumah Kang Bahar dengan jalanan. Jadi kehadiran lelaki bernama Kang Marden itu tak kami ketahui.

Lelaki ramah itu lalu bergabung bersama kami, duduk di balai bambu. Ia belum lama tinggal di kampung kami, mungkin baru satu setengah bulan. Kang Marden adalah lelaki perantauan yang kini bekerja menggarap kebun Pak Haji Mariyon. Pembawaannya yang supel dan ramah membuatnya cepat akrab dengan orang-orang kampung kami. Melihat kehadiran Kang Marden, Jojo tiba-tiba mendekat dan menyalak keras pada lelaki itu. Gonggongannya tak berhenti sampai-sampai Kang Bahar menenangkannya. Jojo seperti ingin menyerang Kang Marden hingga lelaki itu merasa ketakutan.

“Jo…Jojo…tenang Jo!” Suara Kang Bahar menenangkan sambil memeganginya. Gonggongannya tak mau berhenti.

“Tuh kan, anjing-anjing haram itu selalu berisik.” Kata kang Marden sambil berpamitan pada kami. Setelah Kang Marden berlalu, Jojo kembali tenang.

“Mungkin benar juga kata Kang Marden ya, Bang Jon. Anjing-anjing kampung kita diracun karena sering mengganggu tidur dan merusak kebun orang. Ada yang tak suka akan itu,” lontar Kang Bahar padaku.

“Soal itu saya kurang paham, Kang. Tapi sepertinya tidak lho. Yang saya herankan kenapa Jojo terlihat beringas pada Kang Marden ya?” Tanyaku.

“Itu karena Jojo belum akrab padanya, terlebih Kang Marden kan memang baru beberapa kali bertemu Jojo,” jawab Kang Bahar.

***

Kang Marden memang sosok yang supel dan ramah. Ia juga sangat dekat dengan Ustaz Mukhlis. Ia memang kulihat beberapa kali seakan menjadi juru bicara ustaz itu. Aku tahu ustaz itu memang kurang suka terhadap anjing. Di matanya anjing itu haram. Tapi aku pernah bilang pada ustaz tersebut jika orang-orang memelihara anjing hanya untuk penjaga kebun dan rumah, itu tak mengapa, kataku. Aku perhatikan jika ustaz itu bisa memakluminya, sementara Kang Marden beberapa kali dengan gayanya yang lembut dan santun mengulang-ulang pernyataan Ustaz Mukhlis dan mengatasnamakan diri ustaz tersebut. “Saya hanya menyampaikan wejangan Ustaz Mukhlis jika anjing itu haram,” dalihnya.

“Jadi menurut Kang Marden bagaimana dengan matinya anjing-anjing kampung kita?” Tanyaku padanya. Aku sengaja mendatanginya di rumah gubuknya yang terletak persis di belakang rumah Haji Mariyon, majikannya.

“Wah, walau saya tak suka anjing karena itu haram kata Ustaz Mukhlis, tapi ya tentu tidak setuju jika anjing-anjing itu diracun, Bang Jon.”

“Tapi anjing-anjing kampung kita kan dipelihara sebagai anjing penjaga kebun dan rumah, dan itu bagus. Mereka juga anjing-anjing yang jinak. Tak ada alasan untuk tidak suka.” Kataku.

“Saya kurang paham, Bang Jon. Saya hanya tahu jika anjing itu haram, begitu kata Ustaz Mukhlis.” Ia menjawab lembut dengan senyum di bibirnya.

“Bagi saya, meracun anjing itu tindakan biadab. Sama sekali tidak berperikemanusiaan. Saya akan ajak duel kalau ketemu siapa yang meracunnya,” emosiku tiba-tiba meledak.

“Sabar, Bang Jon. Begitu juga saya, Bang. Meski anjing itu haram kata Ustaz Mukhlis, saya juga tidak setuju tindakan meracun anjing-anjing itu.” Nada bicara Kang Marden tenang dan lembut.

“Tapi kata Kang Marden kemarin anjing-anjing itu diracun karena ada yang tak suka dengan mereka yang sering mengganggu ketenangan warga dan suka merusak kebun.”

“Itu hanya dugaan saya saja, Bang Jon. Tapi bisa jadi karena yang meracun beranggapan bahwa anjing itu haram seperti yang disampaikan Ustaz Mukhlis.”

Ucapan berulang Kang Marden itu tak urung mengusikku. Tapi aku paham betul Ustaz Mukhlis. Ia, meski tak suka anjing, tapi memaklumi jika anjing-anjing itu sungguh membantu warga dalam menjaga kebun dan rumah. Itulah kenapa kampung kami aman dari pencurian dibanding beberapa kampung tetangga yang beberapa kali terdengar ada pencurian. Beberapa hari lalu aku sempat menanyai ustaz itu, meminta pendapatnya tentang matinya anjing-anjing itu. Ustaz itu juga menyatakan tegas bahwa itu tindakan tidak manusiawi. Anjing-anjing itu sepertinya diracun pada malam hari dan dilakukan dengan rapi. Entah kenapa firasatku mengatakan jika Jojo sedang menunggu giliran.

***

Kematian Jojo itu tetap sangat mengejutkanku walau aku sudah bisa menduganya dan itu sekaligus membuatku berpikir keras. Sungguh ada yang janggal dengan matinya anjing-anjing kampung kami tersebut, terlebih dengan matinya Jojo. Anjing itu mati di gudang Kang Bahar sementara gudang itu dikunci pada malam hari. Ia juga diracun, ada bekas kerat daging yang baru saja ia santap. Aku mengungkapkan kejanggalan itu pada Kang Bahar, tapi memang ia tak bisa berkomentar banyak kecuali pasrah.

Satu minggu berlalu, matinya anjing-anjing kampung kami memang sudah menguap dan dilupakan warga. Tapi satu minggu ini justru aku sedang berpikir keras karena firasatku merasa tak enak. Setiap malam aku mengajak beberapa warga khususnya anak-anak muda nongkrong dan begadang sambil main kartu di gardu padahal sebelumnya gardu itu kosong. Saat beberapa orang asyik sedang bermain kartu dan aku sedang tak main, aku sering menggunakan waktu itu untuk berkeliling kampung kami yang kecil ini. 

Seperti biasa malam itu aku mengajak Kang Bahar dan beberapa anak muda pergi ke pos ronda untuk begadang. Tapi Kang Bahar menolak, katanya lelah karena sering begadang. Beberapa orang yang biasanya senang main kartu, menolak ajakanku juga. Aku bisa memaklumi penolakan mereka. Malam itu akupun tidur cepat.

***

Kabar itu menghebohkan kampung kami. Dua rumah dalam waktu bersamaan dibobol maling, rumah Pak Bondan dan rumah Kang Mardi. Televisi, ponsel, sepeda motor, dan uang sejumlah lima juta lebih raib di rumah Pak Bondan yang juga merupakan warung sembako kampung kami. Kang Mardi kemalingan perhiasan dan uang sepuluh juta. Orang-orang kampung kami memang masih senang menyimpan uang tunai dan tidak disimpan di bank.

Ini adalah pencurian pertama di kampung kami. Aku menduga keras akan sering terjadi pencurian lagi nanti pada lain waktu. Para pencuri itu cukup cerdik dan mampu membaca situasi meski aku juga lebih bisa membaca dan sangat paham situasi kampungku. Siang itu Pak Pendi kepala desa kami mengumpulkan warga untuk mulai berjaga-jaga dengan menerapkan ronda secara bergiliran. Tapi sungguh, aku tak mau kecolongan lagi. Aku mulai membaca hari sambil menguji kesabaran dengan pencuri yang kuyakini akan datang lagi.

***

Aku bersama Ustaz Mukhlis sibuk meredakan kemarahan warga yang mulai tak terkendali. Amukan mereka terhadap tiga orang asing itu tak terbendung. Warga seakan ingin main hakim sendiri. Kang Bahar yang awalnya paling marah karena rumahnya dibobol maling, kini mulai reda. Ustaz Mukhlis mengusulkan agar mereka diserahkan pada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum.

Suatu siang, dua hari sebelum terjadinya pencurian pada malam itu, aku mengatakan pada orang-orang jika aku tak bisa ikut jaga ronda karena aku akan pergi menjenguk saudaraku di daerah lain selama tiga hari. Sebelumnya aku telah menemui Ustaz Mukhlis dan berbicara serius padanya. “Tunggu malam ketiga, firasatku mengatakan itu, Pak Ustaz. Tapi kita harus tetap waspada dan berjaga-jaga.” Ujarku padanya. Malam pertama kepergianku tak terjadi apa-apa, begitu juga malam kedua. Aku memang sedang menguji kecerdikan dan kesabaran dengan maling itu.

Malam ketiga, di tempat persembunyianku, di seberang sungai yang memiliki jembatan kecil yang terletak di belakang deretan rumah warga kampung kami dan berfungsi sebagai penghubung dan jalan masuk pintas desaku dengan desa tetangga, aku membekuk tiga maling tersebut. Itu adalah malam terakhir aku akan tidak tidur di rumah dan menginap serta bersembunyi di tempat lain. Setelah Isya, dengan sabar selama berjam-jam, aku hinggap di pohon mangga besar yang sangat rimbun. Aku tahu saat tengah malam tiga lelaki masuk kampungku, dan aku menunggu mereka kembali dengan barang curian.

Setelah berduel dengan mereka, aku mengabari Ustaz Mukhlis melalui ponsel yang kemudian datang bersama orang-orang yang jaga di pos ronda membekuk dan menggiring para maling ke balai desa.

“Rumah Kang Bahar yang kecurian. Ponsel, uang delapan juta, dan sejumlah perhiasan digondol mereka.” Bisik Ustaz Mukhlis kepadaku.

“Iya, saya sudah bisa menduga. Tapi aman, barang itu akan kembali pada Kang Bahar. Lalu Kang Marden sudah tak ada lagi di rumahnya, kan?”

“Ya, lelaki itu sudah kabur, Bang Jon. Dan warga belum tahu soal ini.”***


Penulis:

Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Suara Merdeka, Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Aceh Pos, Pos Bali, Koran Merapi, Singgalang, Utusan Borneo, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Cakra Bangsa, Dinamika News, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, Majalah Elipsis, Majalah Apajake, Tabloid Target, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, iqra.id, sastra.co.id, magrib.id, himmahonline.id, ideide.id, republika.id, sippublishing.co.id, madrimpos.com, kurungbuka.com, detik.com, cendananews.com, dermagasastra.com, madahetam.com, sastramedia.com, ngewiyak.com, ayobandung.com, sabah360online.com, madrasahdigital.co, labrak.co, nongkrong.co, Lampung News, Radar Bromo, Radar Malang, Radar Kediri, Radar banyuwangi, Radar Madiun, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), dan Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *