Cerpen
Penebusan

Penebusan

Kepada tuan-tuan di parlemen, berhentilah melawak, karena kian hari lelucon tuan-tuan semakin tidak lucu dan membosankan. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada negeri ini, saya melihat orang-orang pergi sekolah supaya menjadi pintar. Sayangnya, orang-orang pintar ini, yang duduk di kursi mewah, berbicara hal-hal yang ideal, justru menunjukkan rupa aslinya yang seperti badut. Tapi siapalah saya mengatakan hal-hal buruk tentang mereka, saya hanyalah tikus di selokan.

Tapi mungkin memang demikianlah faktanya, bahwa persona adalah topeng. Selayaknya pertunjukkan drama di sabtu malam, mereka-mereka itu adalah seorang aktor yang terikat pada perannya masing-masing. Bukankah, yang saya lakoni sekarang ini juga sebuah pertunjukkan komedi yang berulang-ulang? Maka di situlah, saya menyerukan dengan lantang kepada diri saya sendiri, bahwa saya adalah seorang komedian profesional. Namun sekarang, saya ingin berhenti melawak. Dan ini adalah pertanggungjawaban saya.

Saya akan pertegas lebih dulu, pukul dua belas malam nanti, saya akan merayakan puncak seluruh keberadaan badan di hadapan dunia yang bobrok oleh imaji-imajinya yang tidak linear ini dengan satu kematian estetik. Karena hanya dengan cara itu, saya dapat merasakan kejayaan atas hidup yang menyedihkan dari wajahnya yang kian usang. Anggap ini adalah sebuah eksperimen, dan saya ingin mencari istana kristal di seberang sana, di balik asap kabutnya, dan lolongan serigalanya yang mengerikan. Jangan tuduh saya seorang kriminal. Hanya dengan menjadi tiada, saya dapat melihat seluruh keberadaan saya. Meski bukan tidak mungkin, setelah menjadi mati, saya bukan siapa-siapa dan tidak menjadi apa-apa. Dengan kata lain, musnah.

Demikianlah bertahun-tahun saya mencari jawaban atas pertanyaan paling transenden ini, apa tujuan kehidupan? Apa yang kehidupan inginkan atas keberadaan saya?

Saya nyatakan bahwa saya sudah lelah menanti, sama lelahnya dengan menantikan sumpah yang tuan-tuan ucapkan di depan massa. Maka saya akan menjawabnya sendiri dengan cara yang paling radikal. Saya sudah cukup menikmati pertunjukkan ini, sudah banyak kue-kue manis yang ditawarkan di meja prasmanan yang sudah saya cicipi. Begitupun dengan kari-kari yang cukup nikmat, yang mampu memuaskan roh saya, meski terkadang saya harus berulang kali ke kamar mandi karena rempahnya.

Dahulu saya menemukan bahwa masyarakat adalah alasan mengapa saya masih berada di sini. Menemui seorang kawan, saling menukar cerita dengan berbotol-botol bir sambil membahas proyek yang miliaran harganya, atau menggoda para wanita yang mengeluh perkara seks yang tak pernah memuaskan mereka. Menari di lantai dansa, kencing di pinggir jalan sepulang dari pesta pora, atau muntah di selokan. Sungguh itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Sampai pada suatu ketika, bagai sekilat cahaya yang datang dari surga, sebuah pertanyaan muncul dengan cara merayap, menyelinap memasuki ruang sukma yang akhirnya membuat saya tersadar, bahwa jiwa saya benar-benar terasa hampa.

Apa yang terjadi sehingga saya tak lagi bisa menemukan cahaya yang menerangi gegap gempita dunia ini? Maka saya berputar kembali ke titik awal di mana sebuah dunia pernah berdiri oleh karenanya. Tuhan. Sudah banyak yang saya sembah, dalam kata lain, sedemikian banyak agama yang sudah saya anut. Ironisnya, saya menyembah Tuhan yang sama selama ini, hanya saja dengan cara yang berbeda. Lantas kenapa saya dan yang lain-lainnya terus memerangi satu sama lain semata-mata untuk menghinakan diri di hadapan sosoknya yang saya dan mereka sembah selama ini? Sungguh ini sangat memalukan. Dan tak ada satu hal pun sejauh kehidupan saya ini yang lebih memalukan ketimbang hal itu.

Maka saya berpaling dari agama, sekali dan untuk selamanya. Saya berhenti mengikrarkan diri pada gereja, mesjid, kuil, dan tempat-tempat suci lainnya. Saya berhenti pada agama, karena orang-orang itu sudah mencampuradukkan kebudayaan ke dalam hal-hal yang paling esensial di dalam agama.

Saya menjadi hamba yang taat dengan cara saya sendiri. Hingga pada akhirnya, saya ikut berhenti menjadi hamba semata-mata karena segala yang saya temukan dalam konsep ketuhanan selalu berujung patah oleh seluruh kontradiksinya. Saya menginginkan Tuhan yang pentuh cinta, ia mengadakan malapetaka. Saya menginginkan Tuhan yang paling logis, bahwa dia sama sekali tak tahu menahu atas dunia yang sudah diciptakan oleh tangannya sendiri, dengan segala macam hukum alam yang ia cantumkan ke dalamnya dengan caranya yang paling sempurna, justru mengarah pada hal-hal yang paling fatal, bahwa Tuhan saya ceroboh. Maka saya berhenti menjadi hamba.

Sekilas terlintas di kepala saya, Tuhan yang selayaknya orang tua, mengaku cinta pada anaknya, terkadang menjerat mereka ke dalam sedemikian banyak tekanan hanya karena mereka ingin anaknya menjadi hebat. Namun, di saat yang bersamaan, dia membuka peluang bagi mereka untuk membencinya. Oleh sebab pikiran itu, setiap kali saya dihadang oleh bencana, saya diradang oleh satu perasaan bahwa Tuhan menginginkan saya menjadi dewa, yang suatu saat datang untuk membunuhnya.

Tapi, daripada saya membenciya, karena ini sungguh suatu hal yang membuang waktu dan menjijikkan, maka saya lebih memilih untuk tidak mempercayainya sama sekali. Karena kebencian akan Tuhan adalah kemungkinan yang paling mewah di dunia ini yang bisa saya jangkau. Namun mengingat saya adalah proletar yang sekarat, saya memilih untuk mengibarkan bendera putih di hadapan muka saya sendiri.

Dari situlah saya masuk ke dalam rawa-rawa ini. Mungkin seseorang benar, bahwa mengapa saya sekeras baja, hanya karena saya bisa menghadapi segala marabahaya seorang diri. Jika tidak, tentu saya akan mati sedemikian jam setiap harinya. Dengan demikian, untuk meluluhlantakkan segala argumen yang saya buat, maka saya harus mati. Tapi kematian begitu lama untuk ditunggu, hingga saya lelah menantikannya di stasiun. Sudah begitu banyak orang yang saya temui dengan beragam rupa bentuknya, dan mereka pergi secepat kereta menuju chorus.

Saya harus melampaui keberadaan saya, supaya saya bisa merasakan hidup dalam bentuk aslinya. Meski seandainya keberadaan itu tak ubahnya adalah ketidaksadaran, atau terlelap seribu tahun lamanya. Tapi, bukankah saya sudah lebih dulu berada di sana, sebelum akhirnya saya keluar dari rahim ibu? Semenjak saya disambut kepada kehidupan, hakikatnya, saya sedang berjalan di jembatan menuju kematian.

Terakhir, saya akan menanyakan pada diri saya, dan mungkin, tuan-tuan juga berhak menanyakan ini pada diri tuan-tuan. Kapan terakhir kalinya tuan-tuan merasa malu melihat diri tuan-tuan di seberang cermin? Kapan terakhir kalinya tuan-tuan merasakan takut akan kamar gelap? Kapan terakhir kalinya tuan-tuan menggigil oleh kesendirian di kesunyian malam? Kapan tuan-tuan terakhir kali merasakan bahwa tuan-tuan adalah penjahat di balik meja? Dan kapan tuan-tuan terakhir kalinya menutup telinga untuk suara-suara yang mengganggu tidur tuan-tuan?

Oh, indahnya masa kecil itu. Hingga ketidaktahuan pun nyatanya jauh lebih menyenangkan, dan mungkin itulah penyebab kenapa banyak sekali orang bodoh.

Saya melihat langit melalui jendela di ruang bawah tanah yang sudah saya diami semenjak dunia luar itu sudah begitu busuk aromanya. Bintang-bintang di luar sana bertebaran seperti janji-janji politik yang tak pernah dipetik, indah, manis, dan menawan. Awan-awannya juga indah, menutupi masa depan anak-anak kecil yang menyerupai kotak misteri di balik tangan orang-orang tua mereka.

Segala hal menjadi indah ketika lilin sudah hampir habis terbakar di tatakannya. Secepat saya memahami hal ini, angin berhembus, dan di balik tangis dan teriakannya, ada satu keinginan saya untuk tersenyum. Tapi, semua sudah terlambat. Sedari minggu lalu saya menunggu orang-orang merdeka untuk berkumpul di ruang bawah tanah ini. Nyatanya, saya tidak tahu apakah undangan itu sampai, atau justru tenggelam di pasifik.[]

2018


Penulis:

Nuzul Ilmiawan, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *