Puisi
Puisi Ngadi Nugroho

Puisi Ngadi Nugroho

SANG PERANTAU

Matahari mengintip dari lubang kusen jendela; pukul 06:00. Aku dengar bunyi detik jam menampar dinding. Meniupkan peluit kehidupan. Setumpuk rencana sudah di ambang fajar. Tapi Tuhan tersenyum. Berita di televisi membisikkan tentang fly over yang belum jadi. Hampir 3 bulan kemacetan merayap menuju jantung kota. Kelelahan itu mulai menjamur sebelum dikoyak ruang-ruang file tepat pukul 08:00.

Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.

Dengan bus yang terseok seperti orang jompo menembus jalanan. Langkah ini seperti hanya bayang-bayang. Sedangkan setengah isi otakku tersangkut di dalam mesin fotokopi kantor. Rindu ini milik siapakah ya Tuhan. Andai sebuah napas tidak terburu-buru; aku ingat Engkau. Dengan suara gemerincing menyentuh mimpi-mimpi. Tapi aku menangis. Tanah gersang  yang tumbuh di dadaku, sibuk aku sirami dengan air mata; angin terasa lembab. Desember menyentuh jantung ini semakin basah. Menunggu telepon berdering dariMu. Tapi jiwaku telah meranggas. Menciumi permukaan tanah, tempat kekotoran tak sempat didaur ulang. Ya Tuhan; maafkanlah. Andai saja Engkau merupa di sampingku. Mungkin tak perlu malam-malam kutuliskan sajak-sajak ini. Aku pernah ingat cerita ibu tentang Engkau. Saat ibu memelukku dengan tangisnya. Menunggu ayah pulang dari merantau.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

AKU CINTA PADAMU

Aku ingin mengenali wajahku kembali lewat bayangan cermin. Tapi ada seseorang mengirim kabar di luar sana. Hingga aku tak lagi melihat secara saksama. Hanya butuh 5 menit dia berbicara. Suara-suara parau itu, menyulam benang laba-laba di jendela. Dia tak butuh obat tidur. Hanya sebuah suara radio yang tumbuh di bibirnya sudah cukup.

Dan kami membuat pertemuan di luar meja. Rupanya ada celah yang bisa untukku sembunyi. Ya, di dalam cermin itu aku melihat diriku. Aku bisa membuat cerita dari dunia yang sama. Jalan-jalan baru yang hendak kulalui. Dan tidak butuh waktu 5 menit pula. Telinga tak butuh kata-kata. Aku cinta padamu.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

SEBUAH KENANGAN UNTUK DITITIPKAN PADA SEBUAH RINDU

Adakalanya aku bisikkan rindu ini pada kesepian. Rindu yang entah berasal dari mana. Tetiba ada saja. Mungkin dia datang dari lamunan atau langit yang berwarna gelap. Yang bosan pada sebuah kisah tentang itu-itu melulu. Percintaan membuta dan kandas. Ataupun kematian yang datang  bertubi-tubi setiap pagi. Sedangkan jendela kamar ini selalu bergoyang bila disapa angin. Tak peduli daun-daun gugur ataupun aku rindu setengah mati. Hanya sebuah jam dengan dering dan dinding retak memandangku setiap hari.

Memang aku masih menemukan mataku masih melekat di situ. Mungkin tengah menunggu rindu itu mekar seperti bunga mawar. Hingga waktu itu datang tapi entah kapan. Engkaulah bunga mawar itu yang gugur tertiup angin. Menjadi beberapa kenangan. Silam, ya bertahun-tahun silam. Hari ini kucoba sedikit tuliskan. Dalam sajak-sajak gelap dan buram.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

KUTULISKAN SAJAK DI SEBUAH DINDING

Truk-truk bertonase berat menjadi teman. Aspal pun seakan ikut meleleh menyentuh detik yang membosankan. Aku kira deritnya tak memberi arti apa-apa seperti juga bunyi telolet klakson yang pernah viral di berbagai media. Langit masih biru, tetap saja seperti itu.

Aku tahu ketika pulang nanti. Semua akan sepi kembali. Aku akan rasakan dinding berhawa dingin dengan suara tokek di sela-sela bunyi gemerisik daun-daun di belakang rumah. Dan akan kutulisi tentang sajak burung-burung yang bermigrasi. Lalu aku akan berdoa agar tanah ini bersahabat dengan hujan. Lalu aku pun akan bercerita pada anak cucu, sanak saudara kelak.

Bahwa tulisan itu masih melekat di dalam dinding relung paling ujung ini. Ya, di dada ini; dalam ingatan ini. Hingga sebuah cerita menemukan tempat berlayar di dadamu. Seandainya aku mati, aku yakin cerita itu telah jauh menyeberang dari hatimu. Membawa truk-truk yang pernah membunyikan klakson bertubi-tubi di telingaku waktu itu. Juga sebuah jalan yang pernah aku lalui dengan warna aspal dan lubang yang sama.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

JALAN YANG BERLUBANG

Kota dengan jalannya yang berlubang. Seperti dada yang penuh koyak. Rupanya hidup tak hanya cukup menahan dingin maupun panas terik matahari. Terkadang perlu belajar mengelak.

Lihatlah kedua orang tua yang di jalan itu. Orang tua renta yang berjalan dan belajar tersenyum kembali. Ketika langit mulai mengambang di matanya. Seolah menyentuh ubun-ubun. Dia tahu napas hanya sejengkal. Tapi sebuah cinta membuat mereka bergandengan tangan.

Masih, masih di jalan yang sama. Menyusuri jalan-jalan berlubang. Kadang berjingkat dari genangan. Tanpa harus melepaskan genggaman.

Dan aku berjalan melewati jalan yang kau buat. Di bulan Juli ini. Sepertinya waktu menggugurkan kisah yang sama seperti tahun-tahun lalu. Apa yang aku lihat tak sama seperti yang kau lihat. Tentang sebuah jalan. Jalan di kotaNya.

Aku tahu bunga itu pernah rekah di jalan itu. Kelopaknya pun pernah gugur.  Namun dua orang tua itu masih bergandengan tangan, menyusuri jalan berlubang. Mungkin mereka tahu. Jalan itu ada ujungnya. Ujung yang memisahkan genggaman tangan, untuk tak saling bisa bersentuhan.

Dan aku melihat. Jelas melihatnya. Mereka tak ingin cepat-cepat dipisahkan, menyusuri jalan-jalan berlubang penuh genangan di musim hujan. Dengan ketabahan.

Astana Kuntul Nglayang, 2023


Penulis:

Ngadi Nugroho, lahir di Semarang, 28 Juni. Sekarang ini aktivitas sehari-hari di Kota Kaliwungu. Suka dengan sastra dan menulis khususnya sajak/puisi. Beberapa kali puisinya tayang di media online, koran dan majalah juga antologi bersama. Bisa disapa lewat email : [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *