Cerpen
Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Pariser Platz, Berlin, 1945

Matahari tak segan berkaca di sana. Konon Elbe adalah tempat kelahiran peri-peri di negeri ini. Tubuh bersimbah cahaya, dikaruniai sihir dan bersayap. Dengki dengan cahaya mereka, Elbgermanen[1] merantai, menganiyaya, membunuh hingga peri binasa dan kehilangan sayap. Tiap peri yang gugur dikubur dengan benih pohon linden di tepi sungai. Di Bavaria, linden melebat menjadi hutan bernyawa. Di hulu Spree ini Elbgermanen pun menetap, melahirkan nenek moyang orang Berlin.

Waktu itu alun-alun berbanjir mereka yang buntung berbincang tentang pasukan Slavia yang mengambil alih jantung kota. Kubah pirus katedral St. Hedwig di Bebelplatz dan kafe-kafe menyuguhkan puisi, ledak tawa dan duka Jerman. Bebelblatz kini menjadi tempat matinya buku-buku, dikenang dengan lubang terbengang. Hari itu ada tuan mabuk yang meletupkan kepalanya sendiri di kubu bawah tanah Reichskanzler.

“Kau aman tinggal di sini,” pria itu, yang menyebut dirinya orang Mardika, teringat ucapan mendiang kawannya yang bernama Hansemann, pemuda skuadron yang meninggalkan istrinya ketika melahirkan anak pertama di ranjang Charité. Hansemann tidak menyembah gembong partai tunggal, ia berseragam garda praetoria sebab ayahnya yang berdarah Mizrahi dari Maroko, walau terlihat Germania, memalsukan sertifikat lahirnya. Ia diancam untuk bersabda gembong para pembantai atau dikirim seperti ternak ke rumah jagal di Polandia.

“Seaman tikus di sarang ular,” orang Mardika menghela nafas, mendongak ke pemandangan luar jendela yang sama sebelum luluh lantak. Lelaki itu membawa hutan hujan dalam kamar sempit rumah susun di Friedrichstraße milik mendiang paman Kellen. Rambutnya ikal pendek, berwarna kurma majhul, berkilat. Matanya bulat, berbinar-binar. Hitam pekat seperti tetes tebu. Darah peranakan, ia membatin, campuran tanah lembang dan beku. Buah pergundikan. Hidungnya bangir. Jenjang. Degenerasi Eropa.

Ia teringat aroma buah bisbul, menteng, riuh Cirebon dengan sepeda ontel, kereta lembu pengangkut tebu, bau tanah basah, kotoran kuda, beras basi, dedak, bunga ratu malam, rimbun gaharu, cempaka putih dan melati gambir yang merebak di jalanan.

“Ernie, aku berjanji, kau adalah hantu bagi Berlin.”

Ayah Ernie, Tuan Zandokh, adalah mandor perkebunan teh Sukajaya dekat Cirebon, sekaligus pemilik lahan-lahan sawah basah. Kisah hidupnya meniupkan ruh dan renjana pada pepohonan dan rawa-rawa. Ibunya bukan seorang nyai seperti ibu para peranakan lain. Orang tetap menganggap ia dipergundik hanya karena warna kulit. Ia berdoa di depan salib tanpa korpus, mengikuti persekutuan para keturunan campur dari budak-budak merdeka dengan syarat baptis di Cipinang, lalu bersedia naik ke pelaminan para pembebas. Dari situ tercipta marga-marga baru berdasarkan nama ayah sang mijnheer, tetapi mereka menyebut diri dengan nama lain: kaum mardijkers, atau Mardika di lidah lokal. Merdeka, mimpi gagal di tanah itu. Menjadi Mardika berarti bisa mengisap susu langsung dari puting sapi. Menjadi Mardika berarti berpembuluh gundik dan noda tetapi berderajat setapak di atas tanah lembang.

Senja ketika sanak saudara Hansemann membantai di lahan penuh arang batu bara, pemuda peranakan itu menilik semburat terbenam seperti semburan darah, jerit kesakitan dan biru tawang fjord Norwegia di langit, bak lukisan Skird-nya Edvard Munch, lalu ke arah pepohonan linden yang tak bergidik dan mistis, pusara para peri yang dijagal orang Marcomanni ribuan tahun lalu. Ketika Tuan Zandokh bertolak ke pangkuan Tuhannya setahun sebelum Berlin jatuh ke panji-panji Timur, Laurits Zandokh, putra sahnya yang hampir berusia kepala tiga, menagih hak milik kepada orang-orang Mardika dari kebun teh Sukajaya. Merdekanya para buruh tidak tercatat. Mereka hanya diberi surat bahwa kontraknya habis dan surat baptis Cipinang. Atas dasar ini, Laurits mengekang adanya kemerdekaan dan mulai menampik para keluarga bermarga. Ia mengikat mereka kembali dengan tali rotan.

“Ketika kita, orang-orang Mardika, sudah tak bisa berdiri lagi. Kejahatan akan terus berduyun.” Begitulah putranya setiap sore membantu ibunya berdiri setelah penuh memar dan dicabuli, ketika sanak saudaranya di lahan mendiang ayahnya tertelungkup di teduhan daun-daun wangi. Ibunya berkata bahwa dirinya sudah menjadi bagal semenjak ayahnya meninggal. Tetapi putranya sudah muak berdiri dan membantu orang berdiri.      

Sore itu di dipan yang sama, Ernie mengintai dari balik serambu dan menaruh muatannya. Laurits baru saja mengancam sang ibu. Matang-matang ia pertimbangkan. Akhirnya buah pertimbangannya jatuh dari pohon yang sudah lama ia tanam dan rawat. Pemuda peranakan itu melarikan diri dari kebun, bertelanjang dada dan bercelana kain dikencangkan tali linen sebab bajunya sudah berkedut. Ia menunggang kuda penarik muatan dari istal. Perlahan berkendara sepanjang semak-semak hijau yang berbatasan dengan buluh-buluh sungai.

Laurits merokok dengan tangan gemetar ketika ia mendengar derap mendekat, mengenakan kemeja linen penuh keringat, kepalanya menunduk. Di atas langit, ia tak yakin melihat para peri bermandikan cahaya bertengger. Ia dapat melihat di punggung pemuda yang berkuda itu tumbuh sepasang sayap yang tak bisa dilihatnya sendiri, memacu dengan riuh. Dipandangnya dari ketinggian punggung kuda tak berpelana. Desakan hati yang beram dan nafsu menikam telah menyiksanya selama berbulan-bulan. Sekilas, seperti melamun di siang bolong, Laurits melihat sayap mengepak-ngepak garang. Kini pemuda biadab berambut gandum itu seorang diri. Kuda itu meringkik bising mengangkat kedua kaki depannya, sang penunggang menjerit pula dan terjatuh menggelinding di tanah. Sayap itu masih utuh dan kembali terbentang. Tunggangannya melarikan diri.

******

Tanpa sayap ini, ia pikir, kudanya tak mungkin melesat secepat itu dan sang penganiyaya tak akan terbagi perhatiannya, atau melihat para peri yang bertengger di atap. Tanpanya, ia tak akan bisa menganiyaya.

Diseret oleh banjir bandang hujatan dan cemooh di dalam ruang dewan dan meja hijau, Ernie melihat sang penggugat di kursi penuntut adalah tak lain sosok Laurits Zandokh. Wajahnya keras oleh geram. Ia dijejali gelak tawa: betapa lemah, kau, tuan tanah Sukajaya bisa ditikam oleh hambanya sendiri. Tawa itupun reda ketika hari itu, Tuan Zandokh muda tampil dengan tunik biru laut berkantong enam dengan label penjahit Tilburg Belanda, lapisan rayon berkilau dan kancing bakelit hitam. Di lengan kiri terdapat lencana jahitan berinisial tiga huruf dalam segitiga merah hitam.

Palu sidang diketuk. Tuntutan dan kronologi jotosan, penubrukan kuda dan penistaan perwira berlencana perangkap serigala dibacakan. Ernie tak sempat mendongak sebab jaksa segera menumpah mandat “kau berbau asin laut, tanah gembur dan memiliki sayap. Kaulah yang seharusnya dinistakan, bukan sebaliknya.” Di situlah ia bertemu Kellen Hansemann. Pemuda rapi berwajah malaikat yang baru bercukur. Rambutnya yang berjurai rata di dahi disingkapkan, pirang menyala seperti padang rami di senja yang hangat. Matanya biru danau toska. Yang membuat bulu kuduk naik adalah ia mengenakan seragam skuadron pelindung tunik kelabu dan bros salib Viktoria hitam. Lengan kiri dibelit kain dengan simbol salib yang sama tetapi keempat ujungnya berlekuk. Ia tahu lambang apa itu, salib api. Tangan Svarog. Malaikat berseragam tukang jagal dari Jerman itu berbincang dengan para juri dan hakim, dan hakim mengangguk setuju.

Selebihnya Ernie tak ingat kecuali mereka memutuskan untuk memenggal sayapnya, alih-alih kepalanya. Laurits Zandokh getun gigit jari, tentunya ini hukuman yang adil. Ia memberontak. Ia ingin si peranakan mati saja.

Dari luar jeruji besi, Hansemann memberi tahu bahwa ayah Ernie adalah keturunan Elbgermanen panjagal para peri di tepi Sungai Rhein. Ibu pemuda itu rupanya salah satu peri terakhir dari Citarum. Orang-orang yang dibinasakan oleh perwira berseragam salib berlekuk, atau kacung pribumi Jawa hingga di laut Banda sana, biasanya adalah peri-peri tanpa sayap, sebab ribuan tahun sayap mereka dipatahkan. Kemudian mereka dengan punggung butung beranak pinak, kehilangan cahaya dan hidup abadinya karena bernaung bersama manusia. Hansemann sendiri berasal dari keluarga peri peranakan Elbe. Melihat sesama keturunan penyembah bintang, ia mengabulkan permohonan sang ibu untuk menyelundupkan putranya di luar pesisir pantai Asia sebab Zandokh tak akan berhenti berburu. Di Amsterdam, keluarga Zandokh di Oudewater dekat Utrecht berhasil mengendusnya seperti anjing-anjing hitam yang mengintai di tepi kanal.

Di Berlin mereka hanya mendengar suara letusan, walau dalam sarang aman milik Hansemann. Mereka diburu karena pemuda itu berkulit lempung dan seorang tentara Mizrahi menjadi perisainya di jalanan. Butiran keringat dari badan dan rambutnya menahan jeritan dari sesak dada: malaikat berambut rami itu terjerembab di selokan, hampir tidak menjerit sebab darah mengucur dari ulu hatinya. Suaranya seperti mengundang burung bangkai,

“tinggalkan aku. Aku seorang pembunuh.” Tetapi Ernie menggotong tubuh pasi itu bergegas masuk ke sarang. Nyawanya sudah tertambat di mulut. Ia baru menyadari bahwa jendelanya adalah bagian dari markas para pembunuh yang telah menjadi puing, tempat hati zamrud rimbun menyembunyikan dinding-dinding terluka yang menonton pertunjukan erangan dalam kubangan air mata dan daun api. Ruang tertutup dan kamar retak tinggal separuh ini menjadi surga beraroma peluru, tanah liat dan bunga linden. Kini pohon di depan jendelanya yang meruak masuk tampak berbunga. Bunga itu kuning rapuh, berbau manis madu dengan sedikit aroma pahit absinth dan tembakau, tampak berbisik dengan suara jasad peri yang ditanam di akarnya. 

Brandenburg masih bisa hidup tanpa benci dan abu

Di luar jendela, di dalam ruang-ruang yang telah ambruk, bayangan matahari tempat sekawan kupu-kupu mengubah debu kelabu di sayap mereka menjadi sutra teratai. Gelap mulai sirna sebab letup-letup senapan hampir berhenti. Pasukan Slavia dari tepi sungai Volga dan Vistula mengibarkan panji berwarna senja. Mereka yang sebentar lagi menguasai negeri ini menyembah matahari: manusia ditinggikan seperti matahari. Siapakah kini yang berbicara tentang kecupan?

Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”

[1] Istilah untuk menyebut suku-suku Jermanik dari tepi Elbe.


Penulis:

Sarita Rahel Diang Kameluh lahir di Surabaya, pada tanggal 10 April. Alumnus dan lulusan Mathematics & Physics tetapi menyukai dunia kepenulisan. Beberapa karyanya tersiar di media daring maupun cetak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *