Puisi
Puisi Wijaya Suryantarini

Puisi Wijaya Suryantarini

Kurator Museum

tak usah percaya bila kukatakan datang dengan tujuan.
jiwa-jiwa misterius melahap, bagai ombak menyeramkan.
mimik-mimik wajah tak terbaca di balik tirai kejauhan.
bernapas di udara lembap, berhimbit antara patung-patung tak bergandeng tangan.

aku bersembunyi di bayangan kakiku sendiri,
menaiki tangga hanya mengganti kebisingan yang kutemui.
dahi mengkerut dan jas hitam berbicara pada lukisan penjual ikan.
serat kanvas seolah tak ingin seseorang berani menyentuh.
aroma laut mendadak menyusup masuk,
menyandera seisi ruangan terasa diamati ribuan mata yang tertutup.

aku merasakan beban terpangku di kepala menindih gulungan konde dan uban,
kulit cokelat mengelupas melambai-lambai pada musim panas,
anak kecil menarik-narik baju memohon lekas pulang.
seseorang membisikiku jeritan manusia di pasar sahut-menyahut pemusik jalanan.

nama seniman yang kukenali, tetapi,
siapa yang tahu apa yang terjadi saat cat tumpah?
kini anak-anak tak lagi dibekali ikan asin,
bayi-bayi menggeliat kelaparan di bilik beratapkan kardus.
senyum tipis menyimpul di bibir sang ibu,
jari-jari kaki parestesia menyeruak kepanasan,
dengungan orang-orang sekilas iba dan kasihan.

aku ingat anganku tak pernah sampai di lantai tertinggi,
semakin sunyi dikelilingi guci-guci antik terpahat,
penghujung hari yang redup dan letupan-letupan keringat.
sesuatu membara di hati manusia begitu keras dan menakutkan.
kakimu ditahan tangan-tangan lumpuh kisah lampau yang membisu.
aku tak pernah bertemu lagi seseorang yang membantu sejarah bicara.

Mataram, 12 Mei 2023

Kisah Hidupku yang Malang

Hati yang buas, mimpi yang liar.
Roh-roh bersemayam dalam pikiran yang terkutuk,
terjebak sangkar bayang-bayang di atmosfer tak dikenal.
Asmara menyeruput racun memuntahkan pada samudera tak berombak,
rasi utara menuntun langkah bayi-bayi serigala,
hutan dijanjikan penyihir padanya tak lagi berpayung kabut dan bau bangkai segar,
tak lama setelah induknya tertunduk panah sandyakala.
Oh, hujan lagi singgah menjerat rindu di pangkuan kekasih,
kayu-kayu basah tetap membara di perapian,
lilin meleleh menjilat karpet di pertengahan,
begitulah manusia tertidur dalam detak yang kesepian.

Sisa luka hari kemarin yang kembali menyelinapi renung-renung tengah malam,
sesuap memori buruk yang tak pernah berhasil disembuhkan pusaran waktu.
Aku membunuhi suara-suara misterius di kepala,
tanya-tanya keras kepala, bodoh-bodohnya esok yang kututupi rencana,
kuantarkan ia pulang selepas dansa semalam,
segelas bir sambil berdiri dan sorotan burung hantu,
kini ia tak lagi ingat namaku dan keping-keping kisah hidupku yang malang.

Mataram, 21 Juni 2023

Suatu Temu, Suatu Pisah

Maaf kutinggalkan ruang tamumu yang temaram itu,
sebelum hujan reda, sebelum sepatah katamu selesai.
Kini tiap dersik musim berganti membawa aroma parfummu ke koridor kelasku,
tiap eunoia di kepalaku mengeja namamu sebelum aku membuka mata dan menyadari,
bahwa tiap lapis pakaian yang kukenakan terasa penuh dosa dan memanggil,
mungkin kau hendak datang lagi meski hanya timpaan bayangan rembulan di lantai kamarku.
Meski hanya ujung jariku mencari-cari sosok yang tersembunyi,
apakah kaumulai menulis sendiri kisah hidupmu,
atau hadir menjenguki harapan orang lain?

Maaf aku membinasakan senandika kita miliki dalam damai dan tawa,
sesaat gemuruh menakutkanku,
sejenak kita tergesa menghabiskan kata yang berlalu.
Kini tiap sakura yang mekar membawaku ke pertemuan kita masa itu.
Jangan kembali,
jangan pernah,
meski sebagai mimpi yang nyata,
meski sebagai karangan yang utuh.

Mataram, 21 Juni 2023

Tanah Gersang dan Keluarga-Keluarga Kecil

Dulu ada penjual majalah usang di sini,
berkawan dengan gitaris jalanan, melebarkan senyuman saat dafodil bersemi.
Anak-anak sekolah selalu pulang dengan celana robek, kaki keriput,
piring rotan tak pernah terisi nasi hangat, hanya ikan teri dan rumput laut,
irisan apel untuk 5 orang, aku mengunyah permen karet hambar.
Dewi hujan tak begitu murah hati, penjaja minuman kaleng angkat kaki.
Pendatang tak tahu tentang kubis membusuk di kebun,
musang-musang liar menetap di semak-semak dekat sekolah,
stasiun kereta terlalu jauh untuk didatangi dengan alas kaki.

Aku membayangkan awan-awan putih memayungi kepala-kepala kami,
kotak bekal yang berisik, baju baru yang kami tunggu sambil merengek dan berguling,
orang-orang dewasa melarikan diri dengan selembar uang kertas.
Dan tak satupun bayi-bayi terbiasa dengan jerit sapi,
dengung tonggeret di atap-atap pohon ek, kabel listrik melambai-lambai.
Hanya buah-buah beracun terlindas gerobak petani,
aku menerawang sisa-sisa koin di mesin berkarat,
semburat oranye di angkasa seakan mengurung kami tetap berharap.

Dan tak kutemukan lagi sungai kering dan bangkai katak,
tulip membungkuk, atau paman-paman botak bersendawa hingga pagi buta.
Lampion menyala benderang, rel kereta berdecit, selamat datang.
Jendela kelas tak pernah tertutup lebih awal, aku merindukan petak umpet di hutan dan lutut yang pincang.
Kini penjual majalah tak lagi mengunjungi anak-anaknya di luar negeri,
rumah bertingkat, aspal yang melepuh, genangan kolam seusai hujan.
Kusembunyikan namaku dalam-dalam dari ingatan para lansia dan gerbang-gerbang kuil berumbai.
Biarlah hanya tangan-tangan kecil tak sengaja tersayat tajamnya rumput pematang,
hati mereka yang polos tidak perlu tahu besok akan sepedih apa.

Mataram, 21 Juni 2023


Penulis:

Wijaya Suryantarini | Penulis bernama lengkap Ni Wayan Puspa Wijaya Suryantarini. Pembaca bisa menyapanya Yanari. Penulis lahir pada Juni, tahun 2004 dan berasal dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Penulis gemar menulis di buku harian selayaknya dia senang mendengarkan musik di waktu senggang. Satu hal yang paling dinikmatinya ketika menulis puisi adalah karena penulis dapat menyembunyikan perasaan aslinya dalam himpitan kata-kata beragam makna, dan melihat bagaimana para pembaca menginterpretasikannya berdasar pengalaman dan perasaan mereka sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *