Esai
Simulakra dan Paradoks Manusia Urban

Simulakra dan Paradoks Manusia Urban

DARI peristiwa-peristiwa keseharian yang luput dari perhatian  manusia kebanyakan, puisi-puisi Hilmi Faiq ditulis. Ia memanfaatkan bahasa sehari-hari, sindiran, kritik, yang meminta ruang perenungan pembaca.  Saya menemukan dua hal yang menarik dalam buku Peristiwa-Peristiwa Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023) ini. Pertama, ia menyingkap simulakra dalam atmosfer kekuasaan. Kedua, ia mengekspresikan suasana paradoksal untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang tersembunyi dalam larik-larik puisinya.   

Obsesi Hilmi Faiq pada  realitas sosial-politik yang membusuk, memberi warna larik-larik puisinya. Ia menciptakan puisi-puisi dengan kritik yang meledek sekularisme manusia perkotaan yang terselubung kepalsuan. Ia menciptakan sugesti akan kearifan di balik peristiwa-peristiwa yang secara ontologis palsu. Ia juga mengolok-olok kepalsuan-kepalsuan perilaku tamak manusia terhadap kekuasaan, yang melupakan rakyatnya.  

Himi Faiq mengolah fantasi dalam mengembangkan realitas sosial dan kekuasaan. Ia bermain-main dengan berlapis-lapis simulakra: kepalsuan-kepalsuan perilaku manusia urban, kedok-kedok yang menyelubungi perilaku manusia sehari-hari, dan berhadapan dengan  nilai, norma, dan tatanan sosial menjadi pengalaman getir, pedih, di balik kehidupan perkotaan. Ia tak menghendaki pembacanya disibukkan dengan aneka penafsiran puisi-puisinya. Ia memilih mengekspresikan dengan bahasa lugas.

***

Saya mengikuti perkembangan larik-larik puisi dengan pesan moral yang membangkitkan selera humor, dengan renungan-renungan sosial, kekuasaan, dan religius. Keputusan penyair untuk mengeskpresikan kata-kata yang cair, telah menghadirkan puisi-puisi yang menyuarakan hati nurani. Ia seorang wartawan, redaktur budaya, yang senantiasa berhadapan dengan peristiwa-peristiwa keseharian yang menimpa manusia-manusa yang perlu pembelaan dan perlindungan. Ia mencipta narasi kecil dalam puisi-puisinya, yang mengundang empati pembaca.

Puisi pertama dalam buku ini, “Negeri Jerami” menyentak kesadaran saya tentang kepalsuan-kepalsuan kekuasaan, yang tak memperlihatkan keadilan. Tak seorang pun berupaya untuk menemukan keadilan. Ia memanfaatkan majas simile untuk menyatakan bahwa keadilan diserupakan “jarum dalam tumpukan jerami”. Ia menyingkap sikap skeptis masyarakat yang tak lagi memerlukan keadilan: Negeri ini hanya tumpukan jerami/ dan keadilan seumpama jarum/ Tak cukup cahaya untuk menemukannya// Masalahnya// :ada yang menemukan jarum itu/ lalu pura-pura tak tahu/ atau menimpanya kembali dengan jerami baru//. Ia memang mengekspresikan ide-idenya dengan bahasa yang “terang”, tetapi  menarik kita untuk merenungannya. Ia menyertakan majas simile dan metafora untuk menyingkap kedok-kedok kepalsuan, kebusukan moral, dan konformisme, yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat.     

Begitu juga dalam puisi “Di Bawah Lindungan Tuhan”, menampakkan betapa negara tak peduli terhadap nasib kaum gelandangan. Dalam puisi ini kaum gelandangan telah ditelantarkan, tanpa kepedulian masuarakat dan negara. Ia memanfaatkan majas personifikasi untuk menggambarkan “negara tidur-tiduran”, tanpa empati sama sekali terhadap kaum gelandangan yang telantar di bangku taman kota: Dia tergeletak di bangku taman/ plastik berisi lem aibon di tangan kanan/ tidurnya tenang, setenang kuburan// Tiba-tiba hujan/ Bana masih setenang kuburan/ Begitulah cara Tuhan/ membuat Bana lupa pada kelaparan/saat negara tidur-tiduran//.    

Hilmi Faiq menciptakan suasana paradoksal untuk melukiskan betapa pemimpin negeri ini tak memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Ia menciptakan konfrontasi terhadap kekuasaan, untuk membangkitkan kesadaran terhadap nasib rakyat yang tersia-siakan. Dalam puisi “Kepala Batu”, ia melontarkan kritik yang terselubung metafora, yang melukiskan betapa sulit rakyat membebaskan diri dari konformisme kekuasaan: Aku berharap menjadi batu/ yang dipungut bocah/ dijadikan peluru ketapel ke kepalamu// Aku ingin kau tahu/ aku belum menjadi batu/Tolong lihat aku/ Duh, susah sekali jadi rakyatmu//.

Manusia urban, yang meninggalkan desa dan melakukan pertarungan hidup di kota metropolitan, menjadi salah satu obsesi penyair. Ia melakukan sindiran, kritik yang terselubung humor, terhadap nasib para perantau. Kepalsuan-kepalsuan hidup di kota metropolitan disingkap penyair. Ia mengolok-olok kematian hati nurani, dan penaklukan keluhuran budi melalui dehumanisasi di tengah masyarakat metropolitan: Tidak salah kau datang ke Jakarta/ Mimpimu yang palsu itu/ bisa menjadi nyata/ Hanya perlu sedikit menekan nurani/ dan melepaskan egomu/ agar tak mudah haru kepada mereka yang terbujur/ di trotoar meringkuk dihajar nasib//.  Penyair  menghadirkan tokoh manusia urban untuk menafikan nurani dan  empati sosial. Manusia urban perlu hidup dengan kedok, kepalsuan, dan paradoks yang menentang nilai, norma, dan tatanan sosial masyarakat desa.

***

Simulakra  menjadi obsesi Hilmi Faiq untuk menyingkap citra yang menopengi kebusukan realitas dalam puisi-puisinya. Ia  menelusuri makna dusta perilaku kaum penguasa dalam praktik kehidupan manusia urban. Ia banyak menyuarakan ketertindasan rakyat jelata ketika berhadap-hadapan dengan kekuasaan, masyarakat urban, dan modernitas yang berkembang di dalamnya.  

 Dalam kumpulan puisi ini Hilmi Faiq menghadirkan fantasi mengenai simulakra yang menyelubungi konfrontasi batin rakyat jelata dan kaum miskin. Ia bermain-main dengan suasana paradoksal, dan lebih memihak pada kaum tertindas, yang kehilangan pilihan dalam menjalani hidup.  Obsesi puisi-puisinya berkembang dalam penyingkapan (1) kepalsuan negara terhadap rakyatnya, (2) ketakpedulian masyarakat terhadap kaum gelandangan, (3) konfrontasi rakyat jelata terhadap kekuasaan yang menciptakan konformisme, (4) masyarakat urban yang kehilangan empati sosial dan nuraninya.

Dalam hal ekspresi bahasa, saya mencatat empat hal yang menarik.  Pertama, Hilmi Faiq memanfaatkan kata-kata lugas yang “terang” dalam menyampaikan pesan moral. Kedua, lapis-lapis kepalsuan yang menyelubungi kekuasaan dan konformisme masyarakat, disingkapnya dengan bahasa lugas dan majas. Ketiga, ia melakukan pilihan kata untuk menciptakan suasana paradoksal, yang bertujuan untuk menyentuh dialog batin pembaca. Keempat, meskipun beberapa puisi dicipta berdasarkan intertekstualitas dengan puisi penyair seperti Sapardi Djoko Damono, ia mencipta ruang untuk menemukan kekuatan  pengucapannya  sendiri. []


Penulis:

Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit  Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.  Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022) dan Anak Panah Dewa (Penerbit Nomina, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *