Puisi
Puisi Tjahjono Widarmanto

Puisi Tjahjono Widarmanto

YANG MENGINTIP DALAM CANGKIR KOPI

/*/
ini tanggal berapa? apakah ini hari selasa?

konon ini adalah hari yang bahagia untuk mati.
matahari masih remang enggan beranjak menuju pagi
aroma kopi meruap keluar dari cangkir.
bangku-bangku di warung masih sendiri
menunggu tengkulak dan bakul memanggul nasib
: untuk memulai atau mengakhiri pagi!
/**/

nglangut gamelan sisa wayangan dari radio
mencoba mengundang siapa saja akan lalu lalang
untuk menerka episode-episode keberuntungan atau kemalangan
tapi hanya fajar merah bergegas melintas tanpa menyapa

“adakah mereka yang mampir sebenarnya
hendak bergegas pergi atau terburu-buru pulang?”

barangkali seseorang yang tergesa-gesa
berjalan tanpa sarung apalagi peci
menelisik jejak-jejak ubannya
menuju arah surga atau neraka.
/***/

tinggal sisa bising radio dan bekas dengkur sepi mengucap salam
satu dua orang mampir menyruput  kopi
lantas melihat kabut yang merunduk pagi
seperti pocongan-pocongan putih menari kamanungsan

seseorang di sudut dengan sedih bergumam
-entah pada siapa
: “aku ingin mengenakan peci agar uban-uban ini
tak rontok dari cangkang tengkoraknya!”

tak ada yang menjawab
tak ada yang peduli
semua sibuk melototi kopi di cangkirnya
: “ lihatlah matahari sembunyi di letek kopi ini.
     malam tak mau selesai tapi kopi ini melarut basi!”
/****/

semua terpaku.semua terpukau
cahaya-cahaya melompat pergi
sebelum pagi yang sebenarnya

semua melihat jarak yang dilipat
dan diseret gelap menuju cuaca yang aneh

semua tetap saja terpukau memandangi kopi di cangkirnya
cemas dan takjub meihat bayangan-bayangan ganjil
muncul dari hitam letek kopi
:”lihatlah malaikat-malaikat bengis itu berbaris sambil menyanyikan himne-himne bising!”

semuanya gemetaran seperti para pelaut tersesat
melihat dinding perahunya pecah diamuk gelombang

semua berlutut melihat warna kopi di cangkirnya
serupa raut mayat-mayat yang dibalsem!

Ngawi, Februari 2023

RUMAH PENYAIR

ingin kurajut sarang meditasi
dari benang-benang aksara
sarang bening tempatku
bisa melongok wajah dunia

rumah kepompong tempatku
menghikmat kehidupan
seperti gending mengayun
suksma para darwis menari sufi
merindu sunyaruri

ingin kupintal aksara dan kata
namun makna menolaknya!

duh, duh Gusti di mana lagi
kucari kedalaman beningnya makna
saat puisi tak lagi mampu berkata-kata

duh, duh Gusti, siapa yang khianat
: penyair atau aksara? 

12.2022

                  

 

 

TETRALOGI DI DEPAN MAKAM SEORANG PENYAIR

/1/
waktu berkelok begitu lembut dan syahdu melaju
dengan meneteskan peluh seperti tetes air mata duyung
keramat menyesali usia
menuju entah perbatasan mana

: disitulah mereka berbaring, mendelik dalam gelap
menangisi puisi-puisi meratapi bunyi.

cuaca sudah lama purba meratap di tembok, keranda dan nisan-nisan
tak ada yang sanggup berlutut, semua bersimpuh
di atas puing-puing legenda masa lampau
yang tertinggal tinggal doa samar yang gemetar
tersesat di wilayah senja kala.

/2/
siapa yang dimuliakan?

segala sunyi, segala yang luruh atau segala yang kembali ke subuh?

yang dituliskan pada pusara serupa menhir itu cuma
peristiwa segera dilupa!

/3/
matahari sepanjang hari, bulan sepanjang awan
di jalanan masih terdengar raung klakson bersahutan
daun-daun rontok, ranting-ranting berpatahan, segala angin mendesing
lihatlah, tanah-tanah terbuka berbenih bara!
dalam gigil udara yang cemas gemetar
: bercakaplah kepadanya, bicaralah pada dirimu sendiri!
engkau hanyalah penyair yang ditinggal minggat bahasa
lantas dilupa kata!
tak ada bilik lain, cuma sepetak ruang membeku dan keraskan
seluruh frase, bunyi dan kilat matamu.
menyerpih tanpa suara hanya desah
mendesiskan kenangan yang segera melapuk
dan putus di tengah-tengah bait sebelum sempat ditulis! 

/4/
ini bukan akhir puisi sebab segala kata telah dipingit dan disingitkan
tak hanya di kitab-kitab wasiat nan keramat tapi juga disematkan di pusara-pusara
bahkan daun-daun di cecabang sudah menuliskannya sebagai penanda musim

puisi telah menjadi bayang-bayang raksasa menguntit siapa saja
yang melenggang atau bergegas
pun pada sumuk yang mengambang di udara

puisi tak lahir untuk mati namun berpikir untuk jalan kekal yang abai pada waktu
boleh saja semua tak peduli atau menumbuhkannya seperti pohon hayat
yang berbenih dan akarnya berurat ke pusar semesta dan runcing rantingnya
tempat hinggap burung-burung keagungan menyanyikan misteri zaman.

Ngawi, maret 2023

SULUK PAMBUKA SULUK KANGEN BUAT KANJENG NABI

Bismillahir-rohmaanir-rohiim

sun memulai membuka suluk ini;
suluk kangen buat kanjeng nabi.

dengan menyebut di lidah lisan sekaligus dalam qolbu
asma keramat Gusti Allah yang Maha Rahmaan Maha Rahiim
yang menurunkan rahmat yang kecil-kecil pun rahmat yang besar-besar
teriring pula segala puja hanya teruntuk untukMU yaa Allah, Gusti segala alam
Gusti yang maha kasih, Gusti yang maha sayang
yang menggenggam hari pembalasan .

sun mengawali dengan segenap sumarah kepada Engkau
hanya kepadaMU kusujudkan sembah memohon pertolongan
berharap akan jalan lurus yang Engkau tunjukkan
peta yang ditempuh para nabi dan segenap mereka
yang Engkau ridhoi dengan cahaya iman    

Bismillah.Bismillah
suluk ini adalah suluk kangen
suluk perindu kepada sang maha guru
suluk rindu kepada kanjeng nabi
suluk mahabah yang bertiup ke segala mata angin
membentang dari barat ke timur
membujur dari utara selatan
berputar ke setiap sudut bumi
di setiap lekuk langit
di sepanjang rongga cakrawala
di sekujur relung semesta
mengetuk-ketuk pintu surga
menyejukkan panas neraka

Bismillah.. .Bismillah
inilah suluk kangen kami buat kanjeng nabi
ini suluk rahasia segala cinta,
rahasia segala bara yang nyala jadi api
segala hormat dan tresna yang meruap dari sajadah-sajadah
sembahyang membumbung ke arasyi Gusti
duh, duh Gusti Allah, limpahkan segala kesejahteraan dan keselamatan
atas kanjeng nabiku sholallahu ‘ala sayyidinaa Muhammad”

duh, duh Gusti, ini suluk kami
suluk kangen buat kanjeng nabiku; Muhammad Rosulullah
suluk kangen buat pembawa cahaya
suluk tresna yang tunduk khidmat pada jejaknya
suluk pengharapan atas safaatnya

sholallahu ‘ala sayyidinaa Muhammad wasallim tasliima
suluk ini, duh Gusti
suluk pengiring sholawat para malaikat
suluk kangen yang bergaung di sekujur semesta
mengalir di air sungai-sungai, bermuara di segala samudera
menyusup di antara kapal-kapal berlayar,
tersebar di pasir segala kabilah.
suluk yang sumusup di reranting dedaunan
suluk yang terpahat di dinding segala tebing
suluk yang tersangkut di puncak menara dan mercu suar
terbang berkibar bersama angin di antara kelahiran dan kematian
suluk kangen yang jadi tinta di almanak-almanak
menuliskan segala tresna, segala harap dan segala kurmat
suluk yang jadi kalam mencatat puncak kangen tak sanggup diucap

  Allohumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad
 wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad wasallim taslima

duh, duh Gusti
suluk ini suluk kangen buat kanjeng nabiku
suluk pengharap syafaat bagi jiwa-jiwa kami yang gersang

duh, duh, Gusti
suluk ini suluk kangen
suluk tresna kami buat kanjeng nabi

duh, duh Gusti,
izinkan kudaraskan suluk kangen ini!

 ngawi, Juli 2023


Penulis:

Lahir di Ngawi, 18 April. Tulisannya berupa puisi, esai, artikel dan cerpen dipublikan berbagai media. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan, antara lain: Penghargaan Seniman dan Budayawan Berprestasi Jatim dari Pemrov. Jatim (2002), Sayembara Penulisan Buku pengayaan Tingkat Nasional dari perpusbuk (2003, 2007, 2010, 2016, 2017), Penghargaan Sutosoma, Kategori Guru Sastra Berdedikasi dari Balai bahasa Jatim (2013), Penghargaan Sastrawan Pendidik Tingkat Nasional dari Pusat Pembinaan bahasa (2013), Sayembara Buku Puisi Terbaik  Nasional versi HPI 2016, dll.

Buku puisi terbarunya SULUK PANGRACUTAN dari KAMPUNG PARA ARWAH (2023), QASIDAH LANGIT, QASIDAH BUMI (2023) dan buku tunggal lainnya.

Selain menulis juga pernah bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, serta menjadi guru di  SMA 2 Ngawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *