Cerpen
Seekor Buaya yang Melata dari Kelopak Mata

Seekor Buaya yang Melata dari Kelopak Mata

Seorang pria mengalami mimpi buruk yang melibatkan seekor buaya berulang kali. Dan setiap kalinya, ia selalu terbangun dengan keringat dingin di kening.

“Ini benar-benar aneh,” ia mengeluh kepada seorang kawannya. “Aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Maksudku, apa hubungan buaya denganku?”

Kawannya menyarankannya agar pergi liburan. “Siapa tahu kau hanya capek?” kata si kawan. Namun bagaimana pun, lelaki itu tidak punya tabungan atau dana cadangan untuk liburan. Maka ia tidak melakukannya.

Malam itu, mimpi buruk kembali mendatangi si lelaki. Seekor buaya muncul lagi dalam mimpi tersebut dan memandang si lelaki tajam. Hanya diam dan memandang si lelaki. Namun bagaimana pun, kengerian akibat pandangan si buaya membuat si lelaki ketakutan. Si lelaki berteriak-teriak, namun suaranya tersumbat di tenggorokan. Si lelaki berusaha berlari, namun sepasang kakinya seperti dicor ke dalam lantai.

Dan seperti yang terjadi sebelumnya, si lelaki terbangun dengan keringat dingin di kening dan napas ngos-ngosan.

Kali ini, setelah menyeka keringat dan mengatur napas, si lelaki marah dengan mimpi buruk berulang kali itu.

“Ketimbang hanya menggangguku dalam mimpi,” ia berteriak dengan putus asa, “muncul sini dan kita baku hantam!”

Lantas si lelaki pergi ke kamar mandi untuk cuci muka.

Dan pada waktu itulah, ketika ia berdiri menghadap cermin kamar mandi, ia menemukan kelopak matanya bengkak. Hitam. Lantas kelopak mata itu berkedut-kedut.

“Apa yang terjadi?” ia berpikir.

Dan sesaat kemudian, seekor buaya keluar dari kelopak matanya. Awalnya hanya seperti bayangan, namun ketika seluruh tubuh buaya itu sudah sempurna keluar, bayangan tersebut memadat dan menjadi seekor buaya utuh. Buaya muara besar sepanjang lebih dari lima meter.

Si lelaki meringkuk di sudut kamar mandi. “Jangan sakiti aku,” ia memohon.

Si buaya memandangnya tajam. “Tentu saja aku tidak akan menyakitimu,” si buaya berkata. “Kau tahu,” lanjut si buaya, “aku menunggumu mengizinkan aku keluar. Kenapa selama ini?”

Si lelaki tidak mengerti apa yang dikatakan oleh si buaya. Karena itu, ia terus memohon agar si buaya tidak menyakitinya.

“Jangan merengek,” si buaya berkata. “Aku sudah mengatakan tidak akan menyakitimu. Karena itu, aku tidak akan menyakitimu.”

Itu sedikit melegakan si lelaki.

Beberapa saat kemudian mereka telah berada di ruang tamu. Si lelaki menyuguhkan segelas teh panas untuk si buaya. Dan si buaya, duduk menyilangkan kaki, menyeruput teh manis tersebut.

“Aku tidak punya banyak waktu,” si buaya berkata. “Aku harus segera pergi. Ada hal penting yang harus aku kerjakan.”

Si lelaki mengangguk. Ia senang bahwa si buaya tidak punya waktu. Dan ia berharap si buaya segera pergi.

Bagaimana pun, demi sopan santun, si lelaki melambai ketika si buaya merangkak keluar dari rumahnya.

“Jangan sungkan untuk mampir,” si lelaki berteriak.

Dan si buaya terus merangkak.

Si lelaki meneruskan tidur setelah si buaya pergi. Dan mimpi buruk tidak lagi menganggunya. Keesokan harinya, ia terbangun pagi sekali dan segera menghubungi temannya.

“Kau tidak akan percaya apa yang terjadi,” ia berseru.

Dari seberang sambungan telepon, temannya menguap dan menanyakan apa yang terjadi. Dan ia menceritakan semua.

“Benar-benar aneh,” si teman berujar.

“Kau kira aku berbohong?” si lelaki setengah tersinggung justru karena respon si kawan yang di luar dugaannya. Ia mengharap si kawan akan menyebutnya gila atau semacamnya, dan bukan hanya mengatakan benar-benar aneh untuk kisah yang benar-benar aneh tersebut.

“Aku tidak mengatakan itu,” kata si kawan.

“Tapi nada bicaramu mengesankan kamu tidak percaya apa yang aku katakan,” si lelaki masih bersikeras.

Dari seberang sambungan, si teman menghela napas panjang.

“Terlalu banyak hal aneh yang terjadi,” kata si teman, “sepanjang dini hari ini. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak percaya satu hal aneh lagi.”

“Apa maksudmu?” si lelaki bertanya.

“Apa maksudmu dengan bertanya apa maksudmu?” si teman balik bertanya. “Kau belum memeriksa media sosial?”

Si lelaki menggeleng meski ia tahu si teman tidak akan bisa melihatnya.

“Kau belum tahu apa yang terjadi dengan Siti?” si teman kembali mengejar setelah tak mendengar jawaban apa pun dari si lelaki.

“Siti siapa?” si lelaki bertanya. “Ada ribuan orang bernama Siti di Samarinda. Apalagi jika ia orang Banjar.”

Si teman kembali menghela napas panjang di ujung sambungan.

“Siti mantan pacarmu, kau babi!” si teman merutuk.

Si lelaki, bagaimana pun, memang tidak tahu apa yang terjadi. Mimpi yang menghadirkan seekor buaya muara raksasa selama lima hari belakangan telah membuatnya tidak bisa tidur, dan pada akhirnya, ia merasa lemah lesu. Sebagai akibatnya, ia tidak semangat melakukan apa pun. Ia bahkan mengajukan izin tidak masuk kerja dengan alasan sakit.

Selama waktu itu, satu-satunya orang yang ia hubungi adalah si teman yang kini berada di ujung sambungan. Dan itu pun sebatas mengabarkan ia sedang mengalami mimpi buruk. Waktu yang tersisa ia gunakan untuk membaca komik, olahraga, minum ciu yang ia beli dari Acil Syarif. Dengan itu semua, ia berharap bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk.

Namun mimpi buruk itu tetap datang. Mimpi itu tetap datang sampai malam tadi, ketika si buaya melata keluar dari kelopak matanya.

Dan oleh karena itu, ia benar-benar tidak tahu apa-apa.

“Apa yang terjadi dengan Siti?” si lelaki bertanya pelan, nyaris seperti gumaman kepada diri sendiri. Dan tak peduli seberapa lama ia dan Siti berpisah, ia masih merasa dadanya bergetar.

Siti adalah cinta sejati si lelaki. Setidaknya, itu yang diyakini oleh si lelaki. Mereka bertemu pertama kali di Pasar Segiri, ketika secara tak sengaja mereka menawar sekilo daging sapi di kios yang sama. Si lelaki menyaksikan pipi Siti bersemu kemerahan ketika ia meminta nomor telepon Siti.

“Aku sudah bersuami,” kata Siti waktu itu.

Namun, seminggu kemudian, mereka bertemu di Wisma Ulin. Si lelaki ragu-ragu mencium bibir Siti. Dan Siti malu-malu memagut bibir si lelaki.

Mereka bercinta untuk pertama kalinya hari itu. Dan hari-hari selanjutnya, mereka kembali bertemu di tempat yang sama, bercinta dengan gairah yang semakin bertambah.

Lantas pada suatu hari, Siti berkata bahwa ia hamil.

“Suamiku mandul,” kata Siti waktu itu. “Aku tahu suamiku mandul, sayangnya ia tidak percaya. Kukira, seorang lelaki tak pernah mau mengakui jika ia mandul dan selalu menganggap si perempuan yang mandul. Namun, bagaimana pun, ia gembira mengetahui aku hamil. Dan ia yakin jika janin dalam rahimku adalah anaknya.”

Si lelaki tak tahu apa yang harus ia katakan waktu itu.

Namun Siti tahu. “Kukira ini waktu yang tepat untuk berpisah,” kata Siti.

“Sejak beberapa hari yang lalu,” kata si teman dari ujung sambungan, “Siti muncul di Berita Samarinda. Kau mengikuti akun itu di Instagram bukan?”

Si lelaki mengangguk meski ia tahu si teman tak bisa melihatnya.

“Siti muncul dalam sebuah berita singkat,” kata si teman. “Wajahnya tampak kuyu dengan rambut berantakan di unggahan itu. Dan itu semua dikarenakan anak semata wayangnya jatuh terpeleset ke Sungai Mahakam ketika mereka bermain di Tepian. Siti berusaha menyelamatkan anaknya. Namun itu sia-sia. Si anak terbawa arus kencang di bawah permukaan Mahakam.”

“Oh,” si lelaki mengeluh pendek. “Aku sama sekali tidak tahu. Sudah beberapa waktu aku tidak membuka Instagram.”

“Dan kau tahu apa yang barusan muncul di unggahan Berita Samarinda?” tanya si teman dari ujung sambungan.

“Aku tidak tahu,” ujar si lelaki. “Sudah aku bilang aku tidak membuka Instagram beberapa waktu terakhir.”

“Seekor buaya muara raksasa sepanjang lebih dari lima meter mengusung jenazah anak Siti,” ujar si teman, “dan mengantarkannya ke tim SAR yang berdiri ketakutan di Tepian. Seseorang merekam kejadian itu. Dan Berita Samarinda mengunggahnya.”

“Seekor buaya?” si lelaki mengulang, hampir tak percaya.

“Seekor buaya muara,” sahut temannya. “Sepanjang lebih dari lima meter.”

Si lelaki terdiam. Lantas mematikan panggilan. Di seberang sambungan, si teman memanggil-manggil, “Haloo… haloo…” []


Penulis:

Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022), Cerita dari Brang Wetan (kumpulan cerpen, 2022), serta Peta Orang Mati (Kumpulan Cerpen, 2023). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku Cara Kerja Ingatan merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Buku Sapi dan Hantu adalah juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 dan merupakan nominee buku pilihan Tempo 2022. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *