Puisi
Puisi Joni Hendri, S.S

Puisi Joni Hendri, S.S

Membaca Cuaca
Rasa panas menyelimuti tubuh. Musim yang mengeringkan kata-kata, datang dengan lugas dari bawah. Lidah diam, kekeringan. Tak ada kalimat yang mampu untuk mengucap. Selain basah yang ditunggu. Menyeru dengan mantra: “Kalau datang dari langit, maka jatuhkanlah cahaya, walau bagai gerhana”.
Kuning matahari, membentuk kunang-kunang di mata, dan kepala. Meretakkan bibir, terlihat pecah-pecah. Menyerupai saluran-saluran darah. Ia mengentalkan air liur, ketika lidah mengeja huruf. Menyekat bahasa yang baru saja ditata. Setiap baris seperti berlarian, mengejar kulit-kulit buku. Meninggalkan panas yang terus mengeringkan lidah, pandangan menari pada setiap paragraf.
Bara menyerupai cahaya petang, mengenai tubuh. Semua yang berbaris mengalami bengkak bekas bakar. Hingga menggenangkan air, kulit tak mampu menghisap. Kemarau terus menggarang. Kemudian berperan jadi pemukau, pada mata yang memandang.
Apakah ada yang risau, setelah mata terganggu? Kuning-kuning terus menikam, di sela-sela kesibukan para penjual ikan.
Rimbo Panjang, 2023

Kengerian yang Berulang
“Kamar, tak memberi tenang.” Katamu.
Ada yang memberi rasa gamang, pada batu-batu di pinggiran pinggang. Asin mulut menelen duka sejarah. Sengal yang menyerupai encok, bermain-main pada sendi.
Setiap malam, dijajah rasa sakit. Rasa yang mematikan saripati, lalu memakan sedatif. Hingga disekak berulang-ulang, untuk membunuh rasa cemas.
Agak sejurus, tembakan rindu menimbulkan sekarat. Membuka sepi di penghujung waktu, yang tak berpintu. Selir-selir hanya melambai tak menentu. Menyerupai selampai pada penutup ka’bah. Menjuntai tajam ke bawah.
Sayup-sayup, dongeng VOC masuk ke telinga. Pekik ceritanya datang seperti mengembara. Mengerikan, untuk perasaan.
Keringat memandikan segala yang retak-retak pada tubuh. Di ujung peles, tak ada suapan terakhir. Duduk terasa sampai batas usia.
“Makin mengerikan!” Kataku.
Rimbo Panjang, 2023

Pulang Dihadang Bono
Dari tanjung ada bayang-bayang bono. Suara ombak bergulung-gulung saling berpantulan. Ia keluar dari gua ketam. Angin membawa bau anyir luka ikan. Kutatap rimba, terlihat diambang pilu.Tempat kapal-kapal terbentur waktu.
Burung-burung ikut ke kota, setelah menenggelamkan daun-daun. Tak dapat mengeja makna yang menghadang pulang. Terasa malang bertaut pada lutut. Bahkah gemetar pasir, menghisap pada tautan kaki. Terhisap jauh ke pusaran air, satu-persatu maut berloncatan. Membentur sampan sebagai kenderaan.
Untuk mengubur kutukan sungai, maka hampiri pasang pagi. Pasang yang dulu menguburkan kapal-kapal Belanda.
Lilitan gelombang berabad, terikat sebagai penyatu duka. Menikmati sisa-sasa tubuh yang hanyut.
Di hadapanku, kini hanya ada ngeri. Membumbung ke atas kepala. Peralahan-lahan suara pekik keluar dari lidah yang basah. Siklus hidup memucat. Hilir ke hulu mendangkalkan doa yang tersisa.
Nelayan mendayung, buih-buih membasahi wajah mereka. Air matanya seperti ke luar. Melihat hadangan bono, bertemu antara hidup dan kematian. Mengalir ke tepi mata, riaknya mengisak sampai senja.
Sengal hati terasa, saat dihadang bono!
Penyalai, 2023

Lukisan Sejarah
Pada abad ke sembilan belas, lukisan Melayu pudar dibasah keringat.
Raja mulai berselubung memakai kain Protugis.
Semua nasib menghunus kuas, sebelum melukis Melayu.
Suku Bugis ikut mengiris kanvas, lalu mengeluarkan darah yang ditanahkan.
Berkelindan, ke lubuk yang abadi. Serat-serat kuas yang rapuh, dibasahkan bibir.
Kita dilanggar lupa, setelah durhaka.
Ke rahasia, sembunyikan cacat. Dari, koyak lukisan!
Segala kompeni kita makikan! Seribu lukisan, menutup Raja.
Suku Seni Riau, 2023

Api dalam Matamu
Aku kehilangan bentuk dalam kobaran, ujung rambut terbakar. Bulu-bulu yang lain jadi abu, airmata tak mematikan nyalanya. Genangan nanah membanjiri tubuh, hingga aku tenggelam dalam debu.
Tulang jadi jembatan, terus berbunyi bertalu-talu. Ketika orang-orang melewatinya. Api dalam matamu masih nyala. Tak ada gairah untuk menyeru mambang. Sebagai panggilan Jin Salaka. Agar terbentuk penyulam makna.
Api dan matamu menjelma pisau. Memandang dengan tajamnya. Sebagai tanda, umpat. Khianat kemarau yang terus mengeringkan. Membuat api membumbung tinggi di atas pulau Mendol. Pulau yang dulu, tempat aku dipaku.
Ada gema dalam bulatan kepala. Setelah tubuh tumbang, terbujur kaku dalam hisapan malam. Peristiwa berulang-ulang! Pembakaran hutan, penggusuran rumah. Semua menyesak dalam diam.
Kacamata pusaka, tetap jadi perangkap. Semua yang masuk adalah abu-abu dari api. Tapi, mataku ikut buta setelah masuk sampah. Setelah dimandikan limbah. Kini bertumpuk rasa pasrah!
Tak memadamkan diri.
Rimbo Panjang, 2023

Di Pulau Penyalai Aku Kembali
Mak.
Setelah bertahun aku meninggalkanmu, aku tetap datang padamu. Dermaga masih berteman sepi, sepanjang pagi. Hempasan batu miring, tak pernah tenang oleh gemuruh gelombang. Namun hiasan sampah di lautmu, tetap tenang mengapungkan rindu. Orang-orang bermata sipit, menanam gedung setinggi-tinggi. Apa yang bisa aku katakan?
Beberapa depa, aku singkap gorden Tenggiri. Pekat hati, membawa segala kenangan yang menggarang. Meski semuanya hanya jadi degup sejarah. Antara Tanjung Sum dan Teluk Kelapa. Aku masih tersepit di tengah-tengah gelombang pagi.
Aku sampaikan asaku pada pulau Penyalai. Sebelum takdir sampai, sebelum tenggelam dalam tanah. Langkahku kini, ditutup kenangan dan lebat daun bakau.
Akar bakau menjalar liar dalam badanku, dalam rimbun waktu. Bekas percikkan gelombang membasahkan cinta dulu. Cinta yang membuat aku jadi hantu. Setelah putus dari kemerdekaan pulau-pulau. Setelah ditutup Tanjung yang berbatu.
Mak.
Lokan yang dibekalkan, kini merayap dalam darahku. Mengalir sederas-derasnya, membawa seluruh ngilau yang beradu. Walau semua mendatangkan debar. Getar batin yang menganak dengan serempak.
Di pulau Penyalai, aku kembali!
Penyalai, 2023

Kami Berdiri di Rempang Tuan
Kami berdiri di sini tuan.
Sejak 1720, kami tetap di sini. Dilapuk takdir, dihapus maut. Daulat akan terus merapal, melawan senjata.
Lihatlah kami berdiri, tak ada senjata, tuan. Sebab kami bertahan, demi Rempang, Galang dan Bulang. Di antara senjata yang menggarang.
Anak-anak berlari lurus, meninggal alas kakinya. Ketakutan dari tembakan, yang mengarah ke segala arah. Gas airmata menghujani marwah, akhirnya jadi lengang:
“Datuk Engku Muda Muhammad! Panglima Raman.” Tanah kita, kehilangan asinnya. Kehilangan kekuasaan. Telah dipijak-pijak orang. Semua hanya tertunduk, pada pangkuan. Seperti terlilit benang. Menahan pedih, pecundang!
Pasukan pembawa senjata, menyerang. Melemahkan tangan-tangan, pemegang batu. Merapal mantra pertikaman dulu: “Mari jahit nasib, dari kutukan darah yang menahan Belanda dan Inggris!” Keluarkan gemuruh itu, lalu diklasonkan.
Kami berdiri di sini, sebagai prejurit Raja Haji.
Sejak 1782-1784, sebelum kita bercinta dengan kemerdekaan. Sebelum orang-orang bermata sipit datang. Melayulah mendiaminya tuan!
Rimbo Panjang, 2023

Peristiwa Laptop
Mengetik-ngetik 1000 kata, di halaman dokumen, menyimpan file-file puisi yang keras. Terus berketak-ketik memburu huruf, serupa bunyi sepatu para penjajah. Lalu jadi sensasi yang menghimpit kepala.
Para pembaca malu-malu, menyimpan kritik di lidah. Berbisik ke telinga-telinga, yang umurnya sudah senja. Kata-kata itu menghujam ginjal dan paru-paru, jadi risau.
Ditemukan penggelapan bahasa, parkir pada kolom-kolom. Terasa maut yang sedang mengintip, tanpa berkedip. Daki-daki tulisannya menempel, di dinding kusam.
Kata-kata jadi poster, pada pohon literasi Sekolah. Namun ujung jari kaku seketika, saat perayaan mulai tiba, kata-kata mulai liar. Berloncatan sepanjang gedung-gedung, meleleh bagai cat yang mulai dioleskan.
Kini kita masih di depan Laptop, mengetik keinginan hampa!
Pekanbaru, 2023


Penulis:

Joni Hendri, S.S kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumnus UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *