Esai
Pikat di Jawa dan Gairah di Mesir

Pikat di Jawa dan Gairah di Mesir

Buku-buku datang ke Jawa. Di hadapan para gadis, buku itu ingin bisa dinikmati sampai halaman terakhir. Kedatangan buku menerbitkan keinginan. Buku-buku itu gairah bahasa.

Di surat bertanggal, 23 Agustus 1900, Kartini mengabarkan kepada Stella Z di Belanda: “… kami bertiga sudah mulai belajar bahasa Perancis dari buku-buku karangan Servaas de Bruijn. Kami telah bersusah-payah belajar empat buku dan tolong beri tahu kami beberapa buku Perancis yang sederhana (bukan buku teks).” Tiga gadis Jawa tergoda bahasa Perancis. Semula, mereka sudah mahir berbahasa Jawa, Melayu, dan Belanda. Di rumah, mereka ingin mengembara ke pelbagai negeri dengan bahasa-bahasa asing (Vissia Ita Y, 2004). Pengembaraan ide dan imajinasi ingin berkesan memerlukan penguasaan bahasa Perancis. Ingin tak mudah diwujudkan.

Mereka giat belajar, pantang putus asa. “Sekarang ini kami sedang mencoba membaca koran bahasa Perancis bergambar, tapi membaca dan memahami merupakan dua hal yang berbeda, bukan?” tulis Kartini. Lembaran-lembaran itu dilihat saksama. Mereka membaca sambil berusaha mengerti maksud berita atau artikel. Kertas itu terpegang tapi bahasa masih berada di “kejauhan”.

Di Jawa, mereka berimajinasi Perancis. Bacaan-bacaan “mendekatkan” mereka dengan Perancis. Detik-detik mengalir, mereka pun perlahan lancar membaca dan bisa menerjemahkan. Kartini mengisahkan saudara: “Roekmini pernah bermimpi pergi ke Perancis. Ia sedang bersama dengan Chateaubriand di Lousiana, sebuah negeri yang ia lukiskan begitu indah.” Perancis dalam impian meski Roekmini bermimpi dalam bahasa Perancis. Di keseharian, ia berbahasa Jawa. Mimpi itu pasti menguatkan keinginan menguasai bahasa Perancis, berlanjut mengunjungi Perancis.

Pada 1903, tiga perempuan Jawa itu mengadakan sekolah gadis di Jepara. Mereka sebagai pengajar. Di buku susunan Sitisoemandari Soeroto (1979), kita melihat foto menampilkan deretan bocah dan papan tulis. Di papan tulis, ada kata-kata dalam bahasa Prancis. Mereka sedang mengajarkan bahasa Perancis. Bocah-bocah itu bergerak jauh setelah melihat kata-kata asing. Bocah-bocah tentu mendapat pengisahan dan penjelasan berkaitan bahasa dan Perancis. Sekian tahun, tiga perempuan Jawa itu belum selesai belajar bahasa Perancis tanpa janji bisa menuju Perancis.

Kartini, Roekmini, dan Kardinah dalam pengalaman berbahasa. Mereka ingin mengerti bahasa Perancis agar hidup makin indah. Di surat bertanggal 6 November 1889, Kartini bercerita: “Aku berbahasa apa di rumah? Tentu saja bahasaku sendiri, bahasa Jawa. Kami berbahasa Melayu jika kami bertemu dengan orang asing yang berasal dari Timur seperti Melayu, Arab, Cina, dan lain-lain, dan hanya dengan orang Eropa saja kami berbicara bahasa Belanda.” Kartini belum mengungkapkan keinginan belajar bahasa Perancis. Ia sudah mahir berbahasa Belanda disokong ketersediaan buku-buku dan surat kabar.

Bahasa-bahasa asing membuat mereka sanggup “membuka” dunia. Mereka sering berada di rumah tapi menempuh perjalanan ke negeri-negeri. Buku-buku sekian bahasa mengajak mereka “pergi” saat raga mendapat ketentuan-ketentuan adat Jawa. Bahasa mengandung pembebasan. Bahasa pun memicu kemuliaan. Bahasa tak sekadar tulisan di kertas atau pengucapan. Kartini menggerakkan diri berbekal bahasa-bahasa sambil mengadakan gugatan, penghindaran, bantahan, atau perlawanan. Kartini menjadi sosok membarakan kemauan mendapat pengetahuan dengan beragam bahasa meski tak menempuh pendidikan tinggi atau meninggalkan Jawa menuju Eropa.

Di tempat berbeda, bahasa Perancis memikat lelaki buta. Sejak remaja, ia belajar ilmu-ilmu agama di Al Azhar. Ia merasa bermasalah dan memiliki keinginan-keinginan besar sulit terwujud. Ia berani melanjutkan belajar di universitas, bertemu pengetahuan-pengetahuan tak melulu agama. Lelaki bernama Taha Husain itu perlahan terpikat sejarah dan sastra.

Ia bergaul dengan para jurnalis, intelektual, dan pengarang. Taha Husain menulis artikel-artikel mengenai sastra. Ia pun menggubah puisi. Di sekian acara, ia terlibat percakapan mengandung debat dan pembacaan puisi. Hari-hari bersastra memberi gairah tak pernah padam. Tulisan-tulisan Taha Husain mendapat pujian. Orang-orang meramalkan ia bisa menjadi Voltaire di Mesir. Voltaire itu pengarang kondang asal Perancis.

Pada suatu hari, Taha Husain dan Marsafi menghadiri perkuliahan sastra Perancis. Di buku berjudul Hari-Hari Berlalu (1985), Taha Husain mengingat: “Ketika mereka memasuki ruang kuliah dan duduk satu jam penuh, ternyata sehuruf pun mereka tidak mengerti. Tak ada yang dapat mereka bedakan kecuali satu kata saja, La Fontaine, yang banyak sekali diulang-ulang oleh profesor.” Peristiwa itu berdampak. Taha Husain tergoda ingin terus belajar bahasa Perancis.

Pada babak awal, keinginan itu diganjar sedih, malu, dan kecewa. Kita membaca peristiwa Taha Husain ikut kursus bahasa Perancis saat sore. Pengajar kursus itu lelaki Mesir sudah tua. Taha Husain memuji: “… pandai melekuk-lekukkan lidah dalam mengucapkan huruf-huruf. Ia terpesona oleh pengucapan itu.” Terpesona tapi tak mengerti. Kita dibuat terharu: “Guru itu melukiskan huruf-huruf di atas papan tulis lalu diucapkan. Kemudian diminta pelajar-pelajar juga mengucapkannya, dan melihat huruf-huruf di papan tulis, lalu memindahkannya ke kertas.” Taha Husain tak bisa terlibat dalam peristiwa bersama.

Kesedihan ditanggungkan dan sore itu petaka: “Tetapi, anak muda itu (Taha Husain) diam kaku. Ia tak dapat melihat huruf-huruf itu, juga tidak bisa menuliskannya. Guru pun tidak memintanya mengucapkan. Yang diminta hanya kepada yang ada di kanan dan kirinya. Guru itu lewat saja di depannya.” Keinginan belajar bahasa Perancis malah menimbulkan malu dan siksa. Ia merasa disepelekan dan diperlakukan tak adil.

Guru itu tak bermaksud memberi siksa. Kursus bubar, guru malah mengajak Taha Husain bercakap mengenai sastra Perancis. Taha Husain pun girang. “Dari gurunya itu, ia mendengar nama-nama yang amat mempesona dan cukup menggoda hatinya,” kenang Taha Husain. Guru mengenalkan pengarang-pengarang kondang di Perancis. Taha Husain makin terpikat: “Ia telah diantarkan ke dunia lain, dunia asing yang belum dikenalnya. Ia sudah mengembara begitu jauh tanpa suatu kepastian.” Semua bermula dari keinginan mengerti atau menguasai bahasa Perancis.

Taha Husain telanjur terpikat (bahasa dan sastra) Perancis. Ia mencari guru-guru berbeda khusus untuk belajar bahasa Perancis. Lelaki buta itu berhasil berbahasa Prancis dan bertambah gandrung sastra Perancis. Ia pun berani pergi ke Perancis. Cara kuliah ke Perancis dengan meminta pihak universitas sebagai pihak pengirim. Pulang dari Perancis, Taha Husain berjanji memberi timbal balik sebagai pengajar di universitas. Pada 1914, ia berhasil ke Perancis. Ia makin serius menguasai bahasa Perancis: “Di satu pihak, ia harus bersiap-siap memperdalam bahasa Perancis, di pihak lain ia harus belajar bahasa Latin.”  

Pada awal abad XX, tiga perempuan Jawa (Kartini, Roekmini, Kardinah) terpesona bahasa Perancis. Mereka tak berhasil ke Perancis. Mereka tak pernah datang sebagai mahasiswa. Di tempat berbeda, Taha Husain berhasil mengikuti gairah bahasa Perancis. Ia pun menekuni sastra, sejarah, dan filsafat. Di Perancis, ia dalam pusaran pengetahuan. Pulang ke Mesir, ia menjadi “badai” untuk memicu perubahan-perubahan. Ia tak sia-sia mengikuti panggilan menguasai bahasa Perancis meski mula-mula dirundung malu. Begitu.[]


Penulis:

Bandung Mawardi. Kuncen di Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Titik Membara (2021), dan Persembahan (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *