Cerpen
Sontani dan Sunyi Bumi

Sontani dan Sunyi Bumi

Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra; teringat pada salah seorang tokoh yang berkata: Orang bahagia takkan menulis novel dan drama . . . Dan dalam perjalananmu ini kali, kau pun semakin mengamini: Betapa penyair dan pengarang memanglah dikutuk untuk mendapati nasib yang getir dan juga serangkaian nasib malang . . .

Sebelum berangkat, kau sudah bertanya di mana pengarang dan penulis drama itu dimakamkan. Akan tetapi, sesampainya di sana, kau tetap memutuskan untuk berkeliling ke setiap blok perkuburan. Amatlah terpukau kau pada perkuburan, kepada makam, kepada batu nisan, dan kepada hal-hal yang menjadi batas kehidupan. Betapa saat kau berjalan-jalan di jalan setapak, di antara blok perkuburan, kau tampak seperti tengah mencari kuburan bagi dirimu sendiri. Dan setelah puas berkeliling luas itu perkuburan, kau pun segera menuju ke makam itu pengarang dan penulis naskah drama yang namanya di negeri sendiri disamarkan.

Ah, di atas sebuah kubur, ada begitu banyak daun-daun gugur—

Dan kau pun membersihkan gugur kering dedaunan; lantas di atas itu pusara, kau pun meletakkan seikat bunga yang kau bawa; dan, meski tampak aneh bagi orang di sana, kau tetap memutuskan untuk duduk di dekat itu pusara: mengirimkan doa sederhana, doa yang kau bisa dan mampu kau baca. Dan sesudahnya, kau pun mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja. Kau bukanlah perokok yang gemar dan bebal; dan kau membawa sebungkus rokok yang tak utuh serta sebuah korak api indah berukir milik seorang perempuan yang terampil melukis kepedihan. Kau amat ingat, dalam beberapa buku dan catatan, bahwa pengarang dan penulis drama yang kau ziarahi merupakan perokok yang gemar dan bebal, yang tangannya beraroma nikotin begitu tebal. Maka kau pun menyalakan sebatang, mengisapnya beberapa kali hingga menyala, dan meletakkannya di atas pusara; kau pun mengeluarkan sebatang lagi, menyalakannya, lantas mengisapnya sendiri. Lalu, kau masukan kembali rokok dan korek ke dalam saku kemeja; dan kembali kau tutup resleting jaket tebal, agar dingin tak genap terasa.

Kau pun berkata, mengajak berbincang padanya, pada yang ada di dalam itu pusara:

Saya bukanlah perokok yang gemar, Tuan, tapi saya begitu yakin bahwa rokok di negeri kita lebihlah sedap dan lebih enak terasa . . . Bukankah begitu, Tuan?

Tantu, tak ada genap jawaban; tapi kau merasa sedang berbincang dan berhadapan dengan seseorang. Dan sambil menghabiskan rokok sebatang yang sendiri kau nyalakan, kau teringat pada sebuah aforisme yang di kepalamu menancap begitu dalam; sebuah aforisme yang kian terasa nyata, berdaya, dan bertenaga tatkala diingat di hadapan itu pusara.

Ah, Tuan Sontani, betapa hidup Anda lebih drama daripada drama, lebih fiksi daripada fiksi . . . Dan betapa saya begitu kagum dan menaruh hormat kepada Anda, kepada karya-karya Anda. Amatlah mungkin pula, bahwa karya Anda adalah salah satu hal yang membuat diri saya menjadi seorang pengarang—meski tahu akan mendapati serangkaian nasib malang . . .

Sambil mengisap rokok sebatang, kau kembali mengenang kisah hidup itu pengarang. Betapa ia tak pernah menghendaki merantau jauh ke negeri seberang, tetapi nasib memang tak mengizinkan untuk pulang, tak mengizinkan sembuh dari risau yang panjang; membuatnya terjebak di negeri asing yang begitu dingin, membuatnya tak bisa bertemu anak semata wayang dan istri yang disayang. Ah, ia disarankan berobat atas nasihat seorang kawan; tapi kawannya dianggap dalang dari suatu pemberontakan, dan membuatnya terseret arus lakon tragedi. Dan betapa, di sana, di tanah negeri utara, penghiburan yang tersisa hanyalah diberi ruang mengajar dan kembali diberi kertas guna mengarang—

Ya, Tuan, ucapmu pelan setelah beberapa embusan, saya pun seorang pengajar, seorang pengajar bahasa. Walaupun, setelah beberapa waktu, agaknya, saya memang tak cocok menjadi seorang guru. Meski begitu, saya sama sekali tak membencinya; dan, seperti Anda, Tuan, saya begitu bahagia mendapati siswa-siswa saya jadi gemar membaca dan begitu suka bertanya tentang dunia, tentang segala—

Rokokmu sudah habis, rokok di atas itu pusara sudah padam; kau pun membersihkan itu pusasa, memasukan abu dan puntung rokok ke tempat sampah yang tak jauh dari sana. Dan sekembali dari membuang puntung dan abu, kau pun berkata kepadanya yang ada di dalam itu pusara:

Tuan, saya tak tahu kapan bisa ke sini lagi, tetapi betapa senang saya bisa mengunjungi Anda dan bercakap-berbincang. Dan baru akhir-akhir ini, saya kembali bisa mengarang, sebab menemukan suatu alasan baru yang menguatkan, dan mengirimkan sebuah manuskrip novela saya ke sayembara ibukota . . . Dan apa Tuan tahu, saat membeli seikat bunga, penjaga toko bertanya kepada saya, untuk siapa itu bunga, dan saya pun berkata itu untuk kakek saya. Jadi, semoga di alam sana, atau kehidupan selanjutnya, Tuan bisa mendapati bahagia—

Dan kau pun berpamitan kepadanya; lantas berjalan keluar dari perkuburan.

Setelah beberapa langkah, tak jauh daripada perkuburan, seekor anjing mendekatimu; dan kau teringat pada karangan yang ditulis pengarang dan penulis naskah drama yang baru saja kau ziarahi itu. Anjing itu tampak begitu kelaparan; dan kau berjongkok mengelusnya pelan. Matamu melihat sekeliling, dan mendapati sebuah toko kelontong. Kau pun membeli roti dan makanan anjing. Hari masih cukup lumrah disebut pagi, dan kau pun berbagi sarapan dengan itu anjing. Ia makan dengan pelahan; dan kau mendapati sesuatu, mendapati bahwa anjing itu adalah anjing betina. Ah! mungkin ia memiliki anak anjing di suatu tempat, pikirmu. Dan kau pun kembali menuju toko kelontong itu: membeli makanan anjing lebih banyak. Kau buka itu makanan anjing, kau masukan ke besar kantong plastik, dan berkata padanya:

Ini untuk anak-anakmu. Jadi makanlah jatahmu, dan mari kita sarapan bersama.

Seolah paham, ia pun makan dengan lahap; dan mendapati hal itu, kau pun juga makan amat lahap. Dan setelah kau habiskan sarapanmu, kau pun berkata kepadanya sambil mengelus lembut itu kepala:

Aku bukan seorang yang tinggal di sini, dan tak bisa merawatmu seperti yang dilakukan oleh Tuan Sontani ketika berada di negeri di mana seorang penyair dijuluki Penyair Bulan dan Dewa Penyair berada; karenanya, hiduplah dengan baik dan rawatlah anak-anakmu . . .

Kau melanjutkan perjalanan; dan kau dapati sepasang mata anjing itu berkata dengan begitu tulus bahwa ia berterima kasih, dan seolah mendoakan sejenis kebajikan kepadamu yang berkata tak bisa merawatnya sebab suatu alasan. []

(2022—2023)


Penulis:

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; dan menetap pula di sana. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini mengajar di sebuah sekolah kejuruan di Sleman. Menulis prosa-fiksi dan drama, serta sajak dan esai pendek. Beberapa tulisannya tersiar di media, baik daring maupun cetak. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *