Cerpen
Jagoan Tiada Tanding

Jagoan Tiada Tanding

Sehari sebelum usianya genap tujuh belas tahun, Anom Sapujagat putuskan untuk pergi menyepi ke suatu gunung. Telah ia putuskan untuk berlatih di gunung itu selama seribu hari untuk menyempurnakan ilmu silatnya.

Di Gunung Kaleang, tempat para rajawali bersarang, yang puncaknya melewati permukaan awan, Anom Sapujagat setiap subuh, sebelum mentari menerbitkan diri, akan melakukan segala aktifitas yang barangkali telah sangat akrab kita saksikan di serial-serial TV bertema kungfu. Macam berlatih dengan memukul permukaan pohon-pohon hingga remuk dan batu-batu hingga terbelah. Selain, tentu saja ia akan bermeditasi di bawah air terjun guna memfokuskan pikiran. Meskipun seringkali—selama meditasinya ini—ada sebatang pohon hanyut yang jatuh menimpa kepalanya, bikin ia semaput lalu hanyut dibawa arus barang sebentar.

“Aku harus berlatih dengan rajin,” kata yang selalu ia ucapkan setiap kali merasa lelah dan semangatnya kendur, apalagi di waktu petang ketika kesepian melanda akibat jarangnya berjumpa dengan seorang manusia pun di gunung.

Begitulah rutinitas yang selalu ia lakukan dari terbit hingga tenggelam hingga terbit matahari kembali.

Suatu sore, dalam perjalanan pulang setelah ia siuman dari pingsan akibat kecelakaan selama meditasinya, dari jauh telah nampak sesosok pemuda yang menunggu ia di gubuknya.

“Aku adalah adik seperguruanmu di padepokan Tinju Peremuk Tulang,  memberitahukan bahwa masa seribu hari telah lewat dan aku disuruh kemari untuk menjemput.” Ucap si pemuda.

Tanpa perlu membaca adegan perkenalannya yang membosankan, marilah kita langsung lompat ke bagian Anom Sapujagat yang masuk ke dalam gubuk, mengasah sebilah pisau berkarat pada batu asahan, kemudian menggunakan pisau yang telah tajam guna memangkas habis seluruh rambut panjang kusut di kepalanya hingga gundul dan bersih, membuat ia serupa bayi/barangkali seorang biksu Shaolin yang akan pergi ke pertemuan para pendekar.

Ketika semua dirasanya telah pas, ia segera mengajak turun gunung si pemuda, meski hari sebentar lagi gelap. Dan seperti semua cerita-cerita silat, selalu ada halangan dalam perjalanan pulang.

Di tengah perjalanan, dari semak-semak di dekat mereka, terdengar suara seekor binatang menggeram. Tanpa ada kesempatan untuk menebak-nebak apakah hewan itu dari jenis harimau, macan, rusa, atau kelinci…, seekor babi hutan melompat keluar. Babi hutan itu gemuk dan berbulu hitam lebat, dengan dua taring panjang putih agak kotor yang mencuat di kedua sudut mulutnya. Binatang itu terlihat buas dan mengancam. Mungkin terlalu birahi karena memang sedang masa musim kawin, tapi gagal menemukan betina yang dapat digauli karena kebanyakan berakhir di warung sate babi.

Tak berselang lama, binatang itu langsung menerjang mereka.

Adik seperguruannya yang kaget, segera memanjat ke pohon terdekat dengan kecepatan bak seekor monyet gesit. Dari atas cabang pohon, dia saksikan bagaimana obor yang sebelumnya dipegang kakak seperguruannya telah terlempar dan si kakak seperguruan nyaris tak berhasil menghindar dari sundulan si babi hutan.

Di bawahnya tengah berlangsung suatu pergumulan dari dua mamalia yang ingin saling membunuh satu sama lain. Walaupun yang berjalan dengan dua kaki agaknya lebih kepayahan, karena ia sempat tersungkur beberapa kali, dengan luka di sana-sini. Sebelum pada akhirnya, Anom Sapujagat berhasil menerjang balik hewan liar itu dengan tubuhnya sendiri demi meraih taring panjang kiri si babi hutan.

Kraakk, terdengar suara ngilu yang diiringi oleh pekik kesakitan si babi. Satu taring putihnya telah patah. Tanpa memberi jeda, Anom Sapujagat meninju bagian kiri kepala si binatang. Pukulan berat yang tepat sasaran.

Kraakk, kembali terdengar bunyi memilukan. Hanya saja sekarang, berasal dari tempurung kepala yang retak habis ditinju. Si babi hutan sempoyongan sebentar, kemudian ambruk dengan bunyi gedebuk yang keras.

Menyaksikan semua kejadian yang terjadi, adik seperguruannya tak dapat menahan takjub ketika telah turun. Tak terpikir olehnya ada manusia yang akan mampu mengalahkan seorang binatang liar buas.

“Kau benar-benar hebat kakak.”

Anom Sapujagat tidak terlalu menghiraukan pujian itu. “Adik, bantu aku kumpulkan ranting-ranting yang besar,” suruhnya sambil ia sendiri mengumpulkan kayu-kayu mati. “Karena makan malam kita malam ini babi guling.”

***

Setelah pulang ke padepokan tempat ia reuni dengan guru dan kakak-kakak seperguruannya, tak berselang lama, ia segera berangkat ke kota terdekat.  

Di kota, ia mencari-cari seseorang yang dapat ditolong serta penjahat yang dapat ditinju. Berjalan dari satu jalan ke jalan lain, dari satu gang ke gang lain. Nihil. Tak ada kejahatan yang mengharuskan dirinya turun tangan, kecuali kejahatan anak-anak belum cukup umur yang merokok atau mabuk lem Alteco. Satu hari telah selesai.

Keesokan harinya, setelah beristirahat di sebuah rumah kosong yang telah lama ditinggalkan, yang menurut penuturan warga sekitar dihuni oleh kuntilanak dan sundel bolong, di bagian luar sudut kota itu, Anom Sapujagat kemudian menuju ke terminal, paling mudah menemukan preman tukang palak yang bisa ia bikin babak belur, apalagi dengan kesan banyak lelaki terminal yang berwajah garang dan berbadan gempal serta berlaku kasar.

Dengan sabar ia menunggu akan munculnya seseorang yang berbuat onar, di sebuah kios yang menjual aneka jajan dan minuman di dalam terminal, menunggu setiap menit yang terlewati dengan sabar, hingga gelas kopi kedua belas yang dipesannya tandas, dan ia jadi sering bolak-balik ke kamar mandi buang air. Satu hari kembali usai.

Ia tidak kembali ke rumah kosong itu, bukan karena ia terpengaruh oleh rumor bahwa di sana adalah sarang setan dan ia takut dihantui, tapi lebih karena jarak yang terlampau jauh. Jadi ia pilih tidur di terminal, beralaskan kardus serta berselimut koran bekas hari kemarin.

Hari ketiga dan seterusnya, masih ia berkeliaran di kota pertama, walaupun munculnya kejahatan tetap nihil. Padahal banyak orang-orang bertampang kriminal yang dapat saja melakukan kejahatan menurutnya. Seperti preman-preman bertato ular naga di stasiun atau preman-preman bau alkohol yang ia temui di gang-gang, tapi entah bagaimana tidak ada kejahatan yang mereka perbuat, yang akan mengharuskannya turun tangan dan menolong kaum lemah yang tertindas.

Tak dapat menemukan seseorang yang mesti ditolong dan dibela di kota pertama, Anom Sapujagat kemudian berpindah ke kota lain. Namun tetap tak ada kebiadaban maupun ketidakadilan yang mesti dimusnahkan. Atau seseorang yang mesti dihajar. Tidak di kota kedua, ketiga, keempat, serta seterusnya.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi selama tiga tahun ini, kenapa dunia begitu tentram dan damai?” tanyanya keheranan pada diri sendiri.

Inilah saat-saat ketika ia mendengar rumor tentang seorang pendekar yang telah lebih dulu muncul sebelum dirinya. Mengalahkan para penjahat dan bahkan membuat mereka insaf atau lenyap. Pendekar yang hanya dengan menyebut namanya saja membuat gentar para penjahat yang berkomplot merencanakan kejahatan. Sosok yang bergerak dalam gelap mirip Batman tapi tentu saja tanpa topeng serta jubah hitam berkibar. Dan juga tak seperti si Manusia Kelelawar yang hanya menghajar penjahat dan melempar mereka ke bui, pendekar satu ini punya hobinya yang agak vigilante untuk menghilangkan dan mengedor orang.

***

Anom Sapujagat duduk termenung di atas trotoar jalan, meratapi pencarian yang tak membuahkan hasil berbulan-bulan, hingga kemudian ia melihat dua orang polisi turun dari mobil patroli untuk membeli sebungkus rokok di sebuah kios. Dua orang polisi yang berkulit cerah dan berperut buncit.

“Bagaimana mungkin dua orang penegak hukum ini memiliki kulit yang cerah seolah jarang terkena cahaya matahari dan perut buncit yang akan membuatnya lamban berlari ketika mesti mengejar penjahat?” Ia kemudian ingat, bahwa setiap polisi yang ia temui, di setiap kota yang telah ia datangi juga memiliki paras yang demikian. “Masa ini telah membuat para polisi lebih banyak mengisi makanan ke dalam perut daripada mengisi penjara dengan para penjahat.” Ucapnya penuh cemooh.

“Lalu apa gunanya semua waktu dan latihan yang telah kulakukan, jika tidak dapat membantu seorang pun,” ucapnya sedih.

Seribu hari yang terlewati seperti kesia-siaan baginya sekarang. Cita-citanya yang luhur telah mengkhianatinya dan waktu tak mungkin dapat diputar kembali. Ia kini jagoan tiada tanding, karena tak ada kejahatan yang mesti ia tandingi.

Kelelahan akibat kecewa, ia pergi bersandar pada pohon ketapang di taman kota di dekatnya untuk tidur. Dalam tidur pulasnya, ia bermimpi bertarung melawan para penjahat guna menolong seorang perempuan. Ia bertarung dengan sengit lewat gerakan-gerakan gesit dan lincah jurus silat. Mengalahkan semua penjahat dan mendapatkan pujian dan terima kasih orang yang ditolongnya.

Sementara ia keasyikan bermimpi, langit mendung dan hujan turun. Membuatnya terbangun dari aksi indah di dalam mimpi yang tak dapat ia peroleh di kenyataan. Meski hujan turun dengan lebat dan dedaunan ketapang tak mampu melindungi dari basah, ia pilih tak segera beranjak dari sana.

Tapi pada akhirnya, ia sendiri tak tahan dengan dingin dan bangkit berdiri. Di tengah hujan lebat yang sedang terjadi, ia berjalan ke arah salah satu tiang lampu taman, merubuhkan tiang itu dengan sekali tendangan. Mengambil tiang yang tak seberapa panjang dan lebar itu dengan kedua tangan, lalu memain-mainkannya sambil melihat sekitar, sebelum akhirnya melempar tiang itu dengan kecepatan yang mengerikan ke arah kaca jendela bemo yang sedang melaju di jalan raya. Tiang itu tepat mengenai sasaran, menembus, membuatnya terbalik, dan menyangkut di sana. Meski hujan, orang-orang segera berkerumun di sekitar bemo itu.

“Jika aku tak dapat menjadi seorang penegak keadilan di masa ini, maka aku akan menjadi penegak kejahatan! Penegak kejahatan paling bengis!” ikrarnya penuh percaya diri ketika geledek menyambar dan guyuran hujan semakin lebat. “Aku akan dengan sabar menunggu si pendekar itu menghentikanku.” Kini Anom Sapujagat menemukan tujuan baru hidupnya.  


Penulis:

Aldi Rijansah Lahir di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Cerpen-cerpennya telah tayang di media cetak maupun digital. Anggota Komunitas Akarpohon Mataram. Bisa diajak berteman melalui Instagram: @aldi_saja04.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *