Esai
Tulisan dan Pekerjaan

Tulisan dan Pekerjaan

Ada persamaan kisah di antara tiga penulis perempuan Jepang yang karyanya melambung di kancah internasional ini. Tidak. Persamaan kisah yang saya maksud bukan tentang keseluruhan jalan hidup mereka, melainkan terhadap bagaimana mereka menghasilkan karya-karya yang telah mereka terbitkan. Tiga dari penulis itu, yakni Sayaka Murata, Hiroko Oyamada, dan Banana Yoshimoto memiliki keterkaitan yang erat di antara ruang menulis, pekerjaan, dan kegelisahan terhadap kondisi di sekitar mereka.

Satu hal yang menarik, kelahiran karya mereka tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan persinggungan mereka terhadap pekerjaan yang pernah mereka lakukan. Dari kisah penulis paling senior di antara ketiganya, yaitu Banana Yoshimoto, kita mendapati cerita bahwa saat menulis novel fenomenalnya itu, Kitchen (Grove Press, 1988), Yoshimoto baru berusia dua puluh tahun, dan upaya menulis draf novel tersebut dilakukannya di sela waktu bekerjanya sebagai pramusaji di sebuah kedai kopi. Yoshimoto bukannya seperti Haruki Murakami, yang tak pernah menulis fiksi sama sekali tetapi seolah mendapat ilham saat menonton pertandingan bisbol yang lantas membuatnya memulai menulis novel pertamanya; sebab, kegiatan menulis fiksi itu sudah Yoshimoto lakukan sejak ia kecil. Lingkungan tempatnya tumbuh pun menghendaki hal tersebut. Ayahnya, Taakaki Yoshimoto, juga dikenal sebagai penyair dan kritikus Jepang yang diperhitungkan, sementara kakaknya, Haruno Yoiko merupakan seniman manga yang cukup terkenal.

Dari situ, Yoshimoto kecil terinspirasi dari kegiatan kakaknya, kemudian bakat menulisnya baru kentara setelah ia menulis cerita kelulusan di kampusnya, Moonlight Shadow (1986). Itu karya penting pertamanya, sebelum ia menulis Kitchen (1988). Dan, siapa yang menyangka, kalau novel yang ditulis di sela pekerjaan paruh waktunya itu menjadi batu loncatan yang cukup berhasil? Kegemilangan karya itu tidak hanya dibuktikan dengan larisnya penjualan dalam pasar Jepang sendiri, sebab Kitchen pun maraup kesuksesan di kancah global. Lampu sorot pun diarahkan terhadap diri Yoshimoto. Kendati beberapa kritikus menilai bahwa edisi bahasa Inggris itu dinilai mencederai prosa Yoshimoto yang puitis, atau bagi kalangan kritikus Jepang yang menilai cerita di dalamnya terkesan kelewat cengeng, tetapi hal itu tetap tak meredupkan ketenaran dari Kitchen. Novel itu bahkan tetap dianggap sebagai salah satu novel kontemporer Jepang yang berhasil.

Satu dekade lewat setelah nama Banana Yoshimoto melambung di jagat kesusastraan Jepang, kita pun diperkenalkan dengan nama-nama yang baru mencuat sekitar satu dekade ke belakang. Dari banyaknya nama itu, tersebutlah nama Sayaka Murata dan Hiroko Oyamada. Dua-duanya tak berkerabat, tentu saja, bahkan corak prosa yang mereka hasilkan pun sedemikian berbeda. Namun, benang merah yang menghubungkan dua penulis ini, juga terhadap penulis Banana Yoshimoto—seperti yang telah dikemukan sebelumnya—adalah keterlibatan pekerjaan dalam proses kreatif menulis yang mereka lakukan. Jika Banana Yoshimoto menulis kala ia tengah menjadi pekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi, Sayaka Murata turut merasai itu saat ia tengah bekerja sebagai pegawai minimarket. Itu tempat kerja kesekian yang ia dapatkan setelah bekerja di lima toko serba ada lain yang kesemuanya bangkrut. Di situlah ia memulai penggarapan novel fenomenalnya itu, yakni Konbini Ningen atau Conveniene Store Woman (Grove Press, 2018). Atribut toko serba ada bahkan benar-benar melekat dalam novelnya itu. Murata meniupkan roh para pekerja toko serba ada, interaksi yang mereka lakukan, kebiasaan mereka, dan juga aspek lain yang bergeliat di dalamnya. Bahkan, bisa dibilang, novel itu sebagai penggambaran fiksional dari kehidupan penulisnya. Ia seperti catatan kaki dari kisah hidup Sayaka Murata sendiri.

Kendati begitu, karya yang tercipta bukannya menjadi novel semi-biografis yang monoton. Kita patut bersyukur bahwa novel itu memanglah bukan karya sembarangan, sebab apa yang Murata tulis mengandung banyak kritik, gugatan, dan pertanyaan yang ditunjukan terhadap banyak kalangan masyarakat di Jepang, bahkan mungkin masyarakat di luar Jepang. Kisah perempuan yang menghabiskan delapan belas tahun hidupnya bekerja paruh waktu di toko serba ada walau usianya sudah kepala tiga itu, nyatanya, memang sebuah kritik yang gaungnya tidak bisa kita tampak begitu saja. Murata mempertanyakan, utamanya tentang “bagaimana masyarakat mematok standar kenormalan seseorang”. Itulah yang ingin disuarakan oleh Sayaka Murata, dan suara itu bukannya datang ruang hampa, sebab latar belakang dan pengalaman yang pernah ia raup di kehidupan nyata, membuatnya tiba pada titik tersebut.       

Selain itu, sama seperti Banana Yoshimoto, perjalanan menulis Murata bukanlah sesuatu yang singkat dialami. Sebab sedari kecil, Murata sudah bersinggungan dengan dunia tulis-menulis. Di masa lalu, ia sering membayangkan cerita atau alur sebuah novel. Ia pun mulai menulis novel saat duduk di bangku sekolah dasar. Kegiatan menulis itu berlanjut sampai ia lulus dari universitas dan ia pun fokus menulis karya sastra yang dikenal sebagai Junbungaku (Karya sastra adiluhung). Sejak saat itu, karyanya beberapa kali memenangi penghargaan bergensi. Dan novelnya ini, tak luput dari ganjaran salah satu dari penghargaan tersebut. Tahun 2016, Conveniene Store Woman memenangi penghargaan bergensi Akutagawa Prize.

Di sisi lain, napas kritikan terhadap masyarakat dan elemen di dalamnya pun bisa kita dapati dalam karya penulis Hiroko Oyamada. Nama ini terhitung baru bila kita membandingkannya dengan dua penulis sebelumnya, terlebih dengan Banana Yoshimoto. Akan tetapi, dari karya debutnya yang berjudul di kancah global, The Factory (New Directions, 2019), Oyamada seolah telah menancapkan ciri khasnya sendiri. Kecenderungan prosanya yang berantakan, atau tumpang-tindihnya antara narasi dan dialog, menjadi ciri yang paling terlihat di antara sekian karya sejenis. Banyak pula yang beranggapan, bahwa ruh Kafkaesque pun mengalir dalam tubuh prosa-prosa Oyamada tersebut. Lebih jauh lagi, novel The Factory ini turut dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalamannya sebagai pekerja di sebuah perusahaan mobil. Perjalanan menulisnya ini yang sedikit banyak mengingatkan kita pada proses penulisan Convenience Store Woman yang ditulis Sayaka Murata.

Dari wawancaranya bersama penerjemah David Boys di Lithub, kita mendapat kisah bahwa novel itu ditulis olehnya saat Oyamada masih menjadi pekerja sementara di perusahaan mobil ternama di Tokyo. Ia menulis draf awal novelnya selagi bekerja di sana. Motivasinya dalam menulis novel itu pun berhubungan erat dengan pengalamannya itu. Ia menulis The Factory sebagai kritikannya terhadap dunia kerja yang merenggut waktu dan makna kehidupan seseorang. Hal ini pula yang begitu tampak di dalam kisah, bahwa di sebuah perusahaan besar tak bernama, ada tiga karyawan yang dalam keseharian kerjanya mereka seolah direnggut makna hidupnya sebab pekerjaan yang dilakukan kelewat monoton dan terkesan tak bernilai apa pun. Mereka seperti dipaksa melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa nilainya, dan menyaksikan kebingungan dan kegagapan mereka tak berbeda dengan menyaksikan adegan mimpi buruk.

Lebih jauh soal perjalanan kepengarangannya, sama seperti Sayaka Murata, Oyamada menulis tanpa memikirkan “ending ceritanya yang bakal seperti apa”. Kedua pengarang ini mengaku, bahwa ending cerita tersebut akan kian tampak seiring mereka menuliskan kisah novel mereka. Sementara bagi Oyamada sendiri, dalam penggarapan novelnya, ia memulai dengan satu kata kunci tertentu, lantas menuliskannya jalan cerita keseluruhannya. Begitulah ia melahirkan karya-karyanya.

Sebuah Perbandingan
Kalau ingin membandingkan antara ketiga penulis tadi, kita bisa mengklasifikasikan corak kepengarangan mereka setidaknya tampak dalam dua semangat utama: Sebuah kritik dan penggambaran seseorang dalam menghadapi sekian kesulitan di tengah-tengah masyarakat. Penggambaran ini, lebih jauh, bisa dibedakan dalam dua sisi lagi, yaitu yang berkaitan dengan eksistensi diri sendiri dan bagaimana mereka menjadi bagian dari sebuah sistem atau masyarakat. Kita bisa melihat, corak prosa Banana Yoshimoto lebih cenderung berkaitan dengan ihwal eksistensi diri dan pencarian nilai-nilai kehidupan demi mencocokkan diri dengan lingkungan sekitarnya. Novel Kitchen secara baik menunjukkan hal tersebut. Adapun mengenai kritikan terhadap “bagaimana kita, sebagai individu, mencocokkan diri dengan sekian aturan, standar, dan norma atas sistem atau masyarakat di sekitar kita”, begitu tergambarkan dalam prosa-prosa Sayaka Murata dan Hiroko Oyamada. Namun yang pasti, kesamaan di antara mereka sekali lagi, memiliki pengaruh dari rupa latar belakang dan pengalaman pekerjaan mereka. Dua hal tersebutlah yang bisa kita dapati dalam karya-karya yang telah mereka tulis. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Akun media sosial : IG; @karaage_wahid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *