Cerpen
Nomor Telepon Lama Yang Aktif Kembali

Nomor Telepon Lama Yang Aktif Kembali

Iseng. Iseng belaka. Tak lebih dari itu. Aku tak menduga keisengan itu bakal tumbuh jadi perkara gawat, yang membuat rambutku rontok, nyaris tiap detik, hingga kepalaku botak, hanya menyisakan kulit, membuat sebagian besar orang memanggilku Mas Onde-onde. Panggilan yang membuat kegawatan itu kian memperparah botakku.

Malam itu, karena tak kunjung bisa tidur, kuketik nomor telepon yang sudah lama mati, karena sengaja kubuang ke sungai, tapi masih kuhafal. Setelah purna 12 digit, langsung kuketuk simbol panggilan. Kutempelkan HP ke telinga, seraya kupejam mata, berharap di sela keisengan itu aku bisa tidur. Ternyata panggilanku menimbulkan nada tunggu. Itu artinya nomor lamaku sudah aktif lagi. Sontak aku segera duduk. Jantungku berdetak lebih kencang, menunggu penasaran si pemiliknya menjawab panggilanku.

“Halo! Ini dengan siapa? Di mana tahu nomor saya?”

Suara seorang perempuan. Aku hanya terdiam sembari menatap jam dinding; pukul 23.00. Di luar, malam sepekat kopi.

“Halo! Ini dengan siapa?”

Ia mengulanginya lagi dengan suara yang lebih keras.

“Iya halo, saya……,” aku bingung mau menyebut namaku dengan jujur atau berbohong. Tangan sedikit gemetar.

Dia menutup panggilanku, mungkin karena menganggapku basa-basi. Saat kupanggil ulang, ia menolak beberapa kali hingga akhirnya menonaktifkan HPnya. Malam itu aku benar-benar tak bisa tidur. Orang yang menggunakan nomor lamaku yang baru aktif itu selalu menyusup dalam pikiran.

Keesokan harinya, tiba-tiba ada sebaris pesan darinya, “Mohon jangan main-main denganku meski kehidupan dunia hanyalah permainan, sebab saat ini aku sedang serius—mengurus ibuku yang sakit, buta, dan lumpuh: hidup bersabar di kolong jembatan Banjeru. Menunggu air sungai datang membawa sisa-sisa makanan untuk kami nikmati sekadar pengganjal perutu, tapi air yang datang tak jarang membawa ancaman kematian.”

#

Kusimpan nomor lamaku yang baru aktif itu dengan nama “Anonim”. Entah kenapa aku selalu keranjingan untuk menghubunginya meski pemiliknya jarang menggubris. Aku hanya berprasangka baik; pemilik nomor itu pasti benar-benar sibuk; mengurus ibunya yang sedang sakit, lumpuh, dan buta, sehingga tak punya banyak kesempatan untuk mengecek panggilan dan pesan di HP-nya.

Kini aku terus mencari informasi perihal keberadaan jembatan Banjeru. Aku ingin bertemu orang itu, ini sudah bukan perkara soal nomor telepon, aku penasaran pada apa yang ia nyatakan lewat pesan. Jika benar ia sedang dalam cekik penderitaan, aku ingin memberinya jalan untuk keluar dari penderitaan, sebagaimana aku dulu—yang segala dera deritaku lepas seolah bersamaan saat kartu itu kuhanyutkan ke sungai.

Hingga berhari-hari, aku bertanya nyaris pada semua orang yang ada di kampungku, tapi semua jawabannya sama; mengaku tidak tahu pada sungai itu.

Hari itu matahari baru karam, menyisakan remang dan gerak angin lirih di daunan. Kutatap lekat ufuk magrib yang kemerahan. Di kejauhan, satu dua kelelawar melintas cuma mirip titik tebal yang bergerak melayang. Iseng kembali kutekan tombol panggilan di bawah nama Ajaib. Kali ini ia kembali menerima panggilan.

“Apa lagi?”

“Mohon maaf, Mbak. Jika boleh tahu sungai Banjeru itu di mana ya?”

“Apa urusanmu?”

“Aku ingin bertemu, Mbak.”

“Jawab dulu pertanyaanku. Di mana kamu tahu nomor HPku?”

“Itu sebenarnya nomor lamaku yang sengaja kumatikan, kemarin iseng kupanggil. Eh ternyata aktif lagi.”

“Berarti kamu menginginkan nomor ini lagi?”

“Tidak! Mbak. Biarkan itu jadi milikmu. Oh ya, tapi aku hanya ingin bercerita tentang penderitaan dan hubungannya dengan nomor HP itu.”

“Maksudmu?”

“Panjang penjelasannya, Mbak. Bilangin saja sungai Banjeru itu di mana. Biar langsung kujelaskan ke situ.”

Ia terdiam lama. Hanya terdengar bunyi napas, riak air, dan suara wanita tua yang beberapa kali mengaduh.

#

Aku percaya saja pada penjelasannya, bahwa sungai Banjeru ada di Kabupaten Sumenep, di Dusun Banjeru, Desa Gapura Tengah, kecamatan Gapura. Ternyata sungai itu ada di kabupaten sebelah yang memakan jarak sekitar 80 kilometer.

Tak peduli subuh hari dibalur gerimis, aku tetap berangkat menuju lokasi itu dengan motor tuaku. Angin dan air hujan padu, serasa menusuk dari luar jas hujan, membuatku gigil. Menempuh jalan beraspal dengan kecepatan sedang, agar bisa tiba di tujuan sebelum zuhur. Sesekali petir menghentak. Kian jauh, hujan kian deras. Tapi kemauanku kian menggebu. Mengalahkan cuaca buruk.

Beberapa saat setelah melintasi tapal batas kabupaten, HPku bergetar, ada notifikasi pesan Whatsapp. Ia mengirim lokasi. Aku semakin yakin bahwa ia tidak berpura-pura. Tinggal setengah perjalanan lagi. Cuaca sudah cerah. Tapi kubiarkan jas hujan masih terpakai dengan sisa basah yang menipis. Orang-orang menatapku dengan aneh, mungkin aku dikiranya seperti superhero, padahal aku memang superhero yang sedang berjuang membunuh rasa penasaran.

#

Posisiku sudah di lokasi yang ia bagikan. Tapi tak ada jembatan dan tak ada sungai. Yang ada hanya rumah tua; kusam dan penuh corat-coret anak-anak, satu dari empat jendelanya setengah terbuka. Di terasnya tergelar selembar tikar, seorang perempuan berekerudung hijau menunduk khusyuk ke layar HPnya. Aku memarkir motor di bagian barat pekarangan, tapi ia tetap menunduk, tak peduli ada yang datang.

Untuk memastikan bahwa ia adalah perempuan yang kutuju, segera kutekan nama Ajaib di HPku. Benar saja, ia segera menempelkan HP ke telinganya.

“Hai! Aku kayaknya sudah di depan rumahmu.”

Kuangkat tangan setengah melambai. Ia pun melihatku sambil tersenyum. Ia memutus panggilanku. Langsung bangkit menuju ke arahku. Aku membuka helm dan menaruhnya di spion. Lalu melepas jas hujan dan menyampirkannnya di sadel.

“Ayo ikuti aku. Biar jalan kaki saja, motormu taruh di sini, aman, Kok.” Ia belok haluan ke arah jalan setapak di dekat rumah kumuh itu.

Tak banyak tanya, aku pun mengikutinya. Mungkin karena aku setengah tersihir oleh kecantikannya.

“Nomor telepon lama yang katanya berbahaya itu ternyata membawa berkah,” gumamku.

Langkahku terus membuntutinya, berseling cakap dan tanya jawab. Jalan meliuk itu terus menurun, menuju sebuah sungai, sekelilingnya penuh semak dan terlihat angker. Terus bergerak ke timur, ke bawah sebuah jembatan.

#

Ia bernama Trisna, masih hidup melajang karena kesehariannya lebih sibuk digunakan merawat ibunya yang sakit. Ayahnya meninggal saat dirinya masih berumur dua tahun. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya. Ia kini terpaksa tinggal di bawah jembatan karena rumahnya sudah disita oleh rentenir lantaran tidak mampu membayar utang yang digunakan untuk biaya pengobatan ibunya.

Di atas gelaran selembar baliho bekas, ibunya hanya bisa terbaring lemas, sesekali mengaduh, matanya terbelalak sia-sia, nyaris seluruh tubuhnya tinggal tulang belaka. Tapi wajahnya tampak bersih, rambutnya yang putih tersisir dengan rapi, dan seluruh jemari tangan dan kakinya tak menyisakan kuku. Itu pertanda ia dirawat dengan baik oleh Trisna.

Di kepalaku beraduk tiga hal yang saling timbul tenggelam; nomor telepon, Trisna yang cantik, dan ibunya yang sakit parah.

“Kenapa harus tinggal di tempat ini?”

“Ini atas permintaan ibu ketika beliau masih bisa bicara.”

“Sejak kapan ibumu sakit?”

Ia terdiam dengan kedua alis mengerut, mengingat kapan ibunya sakit.

“Seingatku, ibu sakit hampir bersamaan setelah kubeli kartu ini, sekitar dua tahun lalu.”

“Blekkkk.” Aku terkejut. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Ingatanku terlempar ke lima tahun lalu, ibuku kerap sakit, pertanian sering gagal panen, ternak hampir tiap minggu ada yang mencuri, kalau tidak ada yang mencuri, biasanya mati.

Setelah bercakap beberapa hal, dengan cara yang bertahap, aku mulai bercerita tentang nasib burukku lima tahun lalu. Nasib buruk itu juga datang sejak aku punya nomor HP yang kini jadi miliknya. Dan dengan jujur kukatakan, bahwa nasib burukku baru berkahir ketika kartu itu kubuang.      

“Jadi ibumu baru sembuh setelah kartu itu kaubunag?”

Aku mengangguk.

#

Seminggu kemudian aku mengunjunginya lagi. Di suatu pagi yang berkabut, ia mengajakku ke tepi sungai di sebelah barat kolong jembatan yang ditempatinya. Di sana ia akhirnya melempar kartu itu ke sungai, sebagaimana aku dulu. Saat kartu itu jatuh dan digilas arus, ia tampak tersenyum. Wajahnya mulai sedikit cerah, beriring napas yang berkali-kali ia lepas dengan lega. Kartu yang ia lihat sudah hilang ditelan arus, di balik rerimbun pandan. Senyumnya semakin rekah, mungkin beranggapan kartu itu adalah wujud nasib buruknya yang sudah pergi.

Spontan ia tarik lenganku. Kami saling lempar senyum dan bercanda, lalu kembali ke bawah jembatan. Ia menempelkan jari telunjukknya yang lurus di bibirnya, supaya aku tak berisik. Aku paham, agar ibunya tidak bangun; kedua matanya terpejam rapat. Walau beberapa nyamuk menempel di bagian lengan dan dahinya, ibunya tak bergerak sedikit pun. Sangat pulas.

Setelah menyalakan obat nyamuk, ia mengajakku ke tempat sebelah, yang jaraknya masih seukuran sampainya suara si ibu jika tiba-tiba memanggilnya. Ia terus bercanda dan tertawa, bukti bahwa ia sudah bahagia, mungkin karena merasa nasib buruknya sudah pergi bersama kartu dengan nomor sial itu. Kami terus bercakap dan tertawa. Makan siang beberapa potong umbi. Salat di atas sajadah duan pisang, lalu bercakap lagi, hingga matahari nyaris terbenam. Ibunya masih tetap tidur pulas, serasa rasa sakitnya telah hilang.

#

Keesokan harinya, ada nomor baru memanggilku. Jantungku berdebar, sambil kuduga-duga siapa pemanggilnya. Spontan tawaku pecah saat kudengar suaranya. Tapi ia tak mengimbangi tawaku, tak seperti kemarin. Ia hanya diam.

“Kenapa kamu tertawa? Sekarang kamu harus bertanggung jawab, karena yang ikut pergi kartu itu ternyata bukan nasibku, tapi ibuku,” suaranya berakhir dengan isak tangis. Ia mengakhiri panggilannya begitu saja. Aku mematung dengan HP masih menempel di telinga. []

Rumah Filzaibel, 2023


Penulis:

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura dan aktif di Komunitas Damar Korong. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *