Cerpen
Buya

Buya

Sewaktu anak pertama saya berulang tahun yang ketujuh, saya mengajaknya ke toko buku sebagai hadiah. “Hari ini karena Abang ulang tahun, Abang boleh pilih buku apa saja sebagai kado dari Ayah,” kata saya kepadanya.

“Horeee! Beneran, Yah?” tanya si Abang. Alangkah senangnya dia. Lantas saya mengangguk. Saya ingin anak-anak saya tumbuh bersama buku seperti yang diajarkan Ayah kepada saya.

Ayah saya adalah seorang pembaca sekaligus pencinta buku. Kami, anak-anaknya biasa memanggilnya Buya. Bagi Buya, tiada hari tanpa membaca, begitulah yang saya saksikan setiap hari. Membaca menjadi kebutuhan baginya. Setiap ada waktu terkadang beliau membaca di ruang tamu, di kamar tidur, di teras, dan pastinya di ruang kerjanya. Bahkan ketika saya tersentak di malam hari karena ingin buang air pada tengah malam, entah pukul berapa itu, saya saksikan Buya sedang tenggelam dalam kitab berbahasa Arab gundul yang saya tidak paham artinya. Keranjingan membaca itulah pula yang mungkin menjadi penyebab sering timbulnya pertengkaran kecil antara Buya dan Amak. “Sekalian saja kawin sama buku sana,” celoteh Amak.

Tidak lupa Buya mendorong kami, anak-anaknya, agar juga rajin membaca. Kami delapan bersaudara dan saya anak laki-laki bungsu. Dengan penghasilan yang terbatas, Buya tetap berusaha mencarikan bacaan yang bermutu untuk kami. “Untuk membaca, tidak harus membeli buku,” kata Buya. Suatu hari Buya membawa buku-buku karangan Buya Hamka, Armijn Pane, Amir Hamzah, Abdoel Moeis, dan lainnya. Buku-buku tersebut dipinjam Buya dari perpustakaan tempatnya mengajar. Kata Buya, “Semua orang-orang hebat adalah pembaca. Para pendiri bangsa adalah orang-orang cerdas karena mereka membaca. Mustahil mengatur negeri yang besar ini tanpa membaca. Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia adalah seorang pembaca. Bung Hatta, Bung Sjahrir, Haji Agus Salim, semuanya membaca. Buya Hamka bisa menjadi ulama dan sastrawan besar karena membaca. Pendek kata, tidak ada satu pun orang cerdas yang absen membaca. Maka kalian juga harus membaca, membaca, dan membaca.”

Saya masih ingat sewaktu kami masih kecil, di tengah kesibukannya Buya senantiasa menyempatkan waktu untuk bercerita kepada kami sebelum tidur. Mungkin karena wawasannya yang luas Buya tidak menggunakan buku, tetapi ceritanya langsung begitu saja terlontar dari lisannya. Kami belum mau tidur kalau Buya belum bercerita. Berbagai genre dibawakan Buya dengan gaya yang amat menarik. Kami terhanyut dalam cerita Buya seolah-olah benar-benar menyaksikan langsung peristiwa yang diceritakan. Di antara cerita-cerita itu yang paling saya sukai adalah kisah nabi dan rasul.

Kebiasaan Buya bercerita itu menular kepada saya. Cerita-cerita yang saya dengar dari Buya, saya ceritakan kembali kepada kawan-kawan saya. Tentunya dengan versi saya. Ide cerita mengalir begitu saja ketika saya memulainya. Dan saya melambung apabila kawan-kawan meminta cerita lagi. Rasanya saya seperti seorang pencerita ulung.

Setelah menikah dan mempunyai anak, kebiasaan bercerita saya teruskan kepada anak-anak saya. Kedua anak saya sangat senang mendengarkan cerita saya. Seperti saya, mereka belum mau tidur kalau ayahnya belum bercerita. Supaya tidak bosan, nama-nama tokoh di dalam cerita saya ganti dengan nama anak-anak seolah-olah mereka pelaku dalam cerita. Kalau sudah begitu mereka senang sekali, bahkan sampai tertawa terbahak-bahak.

Dalam hal keteraturan dan kerapian, Buya juga teladan terbaik. Setiap selesai membaca, ia memberi tanda, tapi tidak dengan melipat halaman, lantas menaruhnya lagi ke tempat semula. Tidak ada buku yang berceceran di sana-sini. Hanya saja, kebiasaan Buya yang satu ini sulit bagi saya mencontohnya. Saya dan ibunya anak-anak sering bertengkar mulut perkara buku ini. Melihat buku yang terkembang di meja, di atas kasur, atau di ruang tamu lantaran belum selesai dibaca, membuat istri saya menceracau sambil membereskannya. Saat melihat kondisi itu saya pun bersungut-sungut, “Mengapa tak bertanya dulu kalau mau merapikan buku?”

“Makan tu buku!” balas istri saya.                                                                      

***

Di samping seorang guru agama, Buya juga seorang penceramah. Wajar saja karena beliau lulusan sekolah agama. Profesi sebagai penceramah ini turut membantu perekonomian keluarga, meski Buya selalu mengutamakan keikhlasan dalam berdakwah.

Memberi ceramah dari surau ke surau menjadikan Buya dikenal luas oleh masyarakat karena ceramahnya yang bernas dan sesekali diselingi dengan humor ringan. Seingat saya ketika SMA, saya sering diajak Buya menemani beliau memberikan pengajian. Suatu hari Buya pernah mengisi pengajian di suatu kampung yang letaknya agak jauh. Pengajian berlangsung sampai jam sebelas malam sehingga membuat saya terkantuk-kantuk. Usai pengajian ternyata kami tidak langsung pulang, tetapi ada jamaah yang menyalami dan ingin bertanya kepada Buya. Dengan senang hati Buya meladeni orang itu. Sementara saya menguap dengan mata yang sudah lima watt.

“Mohon maaf. Boleh minta waktunya sekejap, Buya?”

“Tidak mengapa. Silakan, Pak.”

“Nama saya Ramli. Terus terang, saya suka sekali mendengar ceramah Buya. Padat, tapi penyampaiannya ringan.”

“Terima kasih. Semoga apa yang saya sampaikan tadi ada manfaatnya.”

“Tentu, Buya. Anu, saya mau bertanya, Buya. Hal ini muncul setelah mendengar ceramah Buya tadi.”

“Kalau boleh tahu, tentang apa itu, Pak?”

“Tentang mendidik anak, Buya. Tadi, kan, Buya membacakan hadis tentang doa anak yang saleh, yang ingin saya tanyakan, bagaimana cara Buya sendiri mendidik anak? Sebab saya perhatikan anak Buya yang satu ini patuh dan penurut tampaknya. Seperti ciri-ciri anak saleh begitu.”

Mendengar pertanyaan demikian, Buya tersenyum dan mengagguk-angguk. Rasa kantuk saya pun tiba-tiba hilang. Saya tersenyum malu-malu. Rasanya kalau dibilang anak saleh, saya masih belum pantas. Buya pun menjawab pertanyaan itu dengan menyertakan dalil-dalil. Sementara itu, saya teringat peristiwa ketika saya membuat kesalahan besar pada Buya. Sebagai remaja saya terpengaruh oleh kawan-kawan sepermainan baik di rumah maupun di sekolah. Saya diejek kalau tidak merokok, dibilang tidak jantan, anak mami, atau anak manja. Akhirnya saya terpengaruh juga. Saya coba sekali-dua kali tidak ada keluarga yang tahu, aman. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh juga. Saya ketahuan dan Buya marah besar. Padahal aslinya Buya bukanlah orang yang pemarah.

“Enak saja, duitku kamu belikan rokok. Itu sama dengan kamu membakar uang. Merokok sama dengan membakar uang, Buyung.  Mulai sekarang kamu tidak akan diberi uang jajan sampai sebulan ke depan. Dan kamu lihat lemari ini. Kamu harus membaca semua buku yang ada di lemari itu dan menceritakan kembali isinya kepadaku setiap hari.”

Saya terdiam dan ketakutan sambil menelan ludah. Tidak diberi uang jajan, saya masih bisa menerima. Namun, hukuman yang satu lagi yaitu setiap hari selama satu bulan saya harus menyetorkan bacaan kepada Buya adalah hukuman yang berat sekaligus aneh. Saya memang suka membaca, tetapi perihal menyetorkan bacaan itu amatlah terasa berat. Kalau tidak dituruti hukuman yang lebih berat pasti menanti.

Selama satu bulan saya tidak keluar rumah. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, saya bergegas pulang untuk membaca dan mempersiapkan setoran bacaan kepada Buya pada malam harinya. Awalnya berat sekali, tetapi setelah dijalani saya menjadi enjoy. Dari hukuman itu saya terbiasa membaca buku. Alah bisa karena biasa. Tidak hanya itu, saya mencoba menulis karangan dan saya kirimkan ke surat kabar lokal dengan menggunakan nama pena. Ternyata, tulisan saya itu dimuat. Itulah mengapa sampai sekarang saya rajin menulis. Jadi, sebenarnya hukuman yang diberikan Buya adalah wujud sayangnya kepada saya yang tidak didapatkan oleh saudara saya yang lain. Pada akhirnya saya merasa tidak dihukum, tapi dilatih.

Semangat saya dalam menulis juga dipicu oleh kata-kata Buya dalam suatu obrolan ringan selepas Isya di ruang keluarga. Kata Buya, di dunia ini hanya terdapat tiga jenis manusia yang perkataannya didengar orang. Pertama, orang kaya yang memperoleh kekayaannya dengan usaha yang susah payah. Kedua, ulama yang dalam ilmunya. Akan tetapi, tidak semua ulama bisa diambil ilmunya. Ketiga, kaum cendikiawan yang bisa jadi akademisi, politikus, atau penulis. Kalau tidak bisa menjadi semuanya, paling tidak jadilah penulis. Seorang penulis, tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang meski ia tidak bertatapan dengan pembacanya. Penulis adalah orang yang berwawasan luas.

***

“Ayo, Buyung kita pulang. Kamu mau tidur di sini?” Perkataan Buya membuyarkan lamunan saya. Jam di surau telah menunjukkan pukul setengah dua belas.  Kami mohon diri kepada garin. Buya menghidupkan mesin motor dan saya bersiap duduk di boncengan. Mesin motor menderu melewati jalanan kampung yang masih belum di aspal. Malam itu begitu dingin meskipun saya sudah mengenakan jaket. Sewaktu hendak memasuki jalan raya, saya bertanya-tanya dalam hati mengapa Buya membelokkan motornya ke kiri. Saya mendekatkan mulut ke telinga Buya, “Buya, bukankah seharusnya belok kanan? Kan rumah kita…” belum selesai saya bertanya, Buya menjawab “Ini sudah tengah malam, Buyung. Demi keamanan, malam ini kita menginap di rumah Bu Sri. Dia itu ibumu juga.”


Penulis:

Yoga Mestika Putra adalah seorang dosen Sastra Indonesia di FKIP Universitas Jambi. Alumni Magister Linguistik UI ini memiliki kegemaran membaca buku. Kecintaannya pada buku sejak kecil mendorongnya untuk bisa menuliskan kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia dapat dihubungi melalui [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *