Esai
Semesta Buah Dada Sindhunata

Semesta Buah Dada Sindhunata

Lewat Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata mendedahkan buah dada sebagai kode untuk menyingkap apa yang tak terungkap. Sebagai tanda untuk membuka lapis-lapis cerita. Sekaligus menambal simbol-simbol rumpang dalam ruang cerita manusia. 

Berpilar kisah pelik Sumantri dan Sukrosono, bangunan cerita Anak Bajang Mengayun Bulan tersusun atas gumpalan cerita tentang buah dada. Setiap gumpal buah dada memiliki bentuk saling berbeda. Masing-masing mengucurkan fragmen cerita dengan plot saling berbeda. Setiap gumpalan tersebut hanyalah kepingan cerita. Dibutuhkan seutas fragmen agar setiap kepingan tak lepas dari garis utuh cerita. Di sepanjang fragmen itulah Sumantri dan Sukrosono meleburkan diri dalam saling-silang fragmen buah dada.   

Sumantri dan Sukrosono mewakili sepasang buah dada Anak Bajang Mengayun Bulan. Keduanya hanya sekejap hadir dalam satu fragmen. Namun, titik hadir itulah yang menjadi titik belok cerita. Kehadiran Sumantri dan Sukrosono adalah penanda bahwa cerita akan digerakkan dari satu plot ke plot berikutnya. Dari satu konflik ke penyelesaian lalu berlanjut ke konflik lainnya. 

Buah dada sejak lama memang menarik perhatian penguasa dari berbagai budaya. Ada satu masa dimana buah dada turut menentukan relasi kuasa. Pada awal abad ke-19, kerajaan Travancore di India memberlakukan pajak buah dada. Kala itu, ada larangan menutup buah dada bagi perempuan kasta rendah. Mereka harus mengenakan pakaian dengan dada terbuka. Jika melanggar, pajak sangat tinggi siap menanti. Seorang perempuan bernama Nangeli nekat mengiris buah dadanya sebagai bentuk perlawanan. Nangeli pun tewas. 

Tak sedekil cerita-cerita di atas, Sindhunata membeberkan buah dada dengan mengambil latar jagat pewayangan. Tentu ada pertimbangan matang mengapa Sindhunata tidak memilih latar budaya populer, keriuhan ruang metaverse, ataupun hiruk-pikuk sosialita urban. Pembacaan terbuka akan membawa kita pada kesadaran bahwa pewayangan dan buah dada memiliki kesamaan: jarang diperbincangkan, tapi dalam banyak persoalan sering dirujuk sebagai jawaban.

Pewayangan jarang diperbincangkan karena hanya segelintir yang benar-benar memahaminya. Banyak orang enggan belajar jagat pewayangan, padahal keseharian mereka adalah duplikasi-replikasi dari kisah pewayangan. Persoalan cinta dengan segala dialektika dan liku-likunya. Kerakusan akan kuasa dan kepalsuan tahta yang ditawarkannya. Bungkus semu yang makin lumrah dikejar daripada isi sejati. Semua itu sebenarnya sudah terkisahkan dalam kitab-kitab pewayangan. 

Buah dada jarang diperbincangkan karena hanya orang ‘dewasa’ yang diberi kuasa—oleh dirinya sendiri ataupun konstruksi budaya—untuk membincangnya. Anak kecil dianggap nakal jika mulutnya menyebut ‘buah dada’ padahal buah dada adalah dunia pertama bagi mulut anak kecil pada tahap awal perkembangannya. Memasung anak kecil agar menjauh dari buah dada justru akan menjauhkannya dari muasal hidup. Padahal, penghayatan terhadap muasal hidup menolong anak menghayati hidupnya kelak sebagai perjalanan saling mencintai sebagaimana buah dada mengalirkan airnya. 

Seperti halnya epos pewayangan, di balik fragmen buah dada ada pelbagai tanda, rupa-rupa kode, dan beragam simbol. Sindhunata menyesap semua itu dan meraciknya menjadi cerita besar dalam rupa kolase fragmen-fragmen kecil. Di dalamnya kita bisa membaca buah dada menjadi saksi fragmen cinta-berahi, kesejatian-kepalsuan, kesetiaan-pengkhianatan, serta kejujuran-keculasan.  

Buah dada niscaya berpasangan. Tanda, kode, dan simbol dalam fragmen-fragmen  kecil di sekujur tubuh Anak Bajang Mengayun Bulan pun dititipkan dalam  frame yang melibatkan pasangan-pasangan. Mulai dari pasangan Swandagni-Sokawati, Sokawati-Sukrosono, Sumantri-Sukrosono, Sumantri-Citrawati, Sumantri-Darwati, Darmawasesa-Citrawati, Arjunososrobahu-Citrawati, hingga Sukrosono-Tunjung Biru. 

Pertapaan Jatisrana yang sejuk dipilih Sindhunata untuk membuka labirin cerita buah dada. Di situlah Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati berjibaku dalam pertarungan purba. Pada akhirnya, semua bermuara pada buah dada. Buah dada menjadi tanda bahwa nafsu bersemayam abadi di balik cinta. Yang suci dan yang profan sama-sama telanjang di hadapan buah dada. 

Dalam banyak fragmen, buah dada mengajak semesta menelanjangi yang profan dan yang suci. Tetumbuhan, margasatwa, dan cahaya bulan hadir membersamai buah dada bergulat dengan kode dan simbol yang diperankannya.  ‘Buah dadanya tegak menantang bulan’ adalah fragmen kecil betapa tubuh manusia selalu lekat pada tubuh semesta. Apa yang terjadi pada tubuh manusia selalu terbaca oleh semesta. Apapun yang terjadi, merusak pun merawat, semesta memberikan keseluruhan dirinya. 

Buah dadanya tegak menantang bulan, berkilapan dengan cahaya kegairahan. Selimut kesuciannya tanggal, tinggallah tubuhnya yang bergelora dengan nafsu asmara. (Sindhunata, 2022: 21).

Cahaya bulan menuntun Begawan Swandagni menyusuri tubuh Dewi Sokawati. Nafsu mengubah cahaya menjadi asmara. Bulan-semesta memancarkan cahaya kepada buah dada-manusia. Ketulusan bulan tampak dari kilapan cahaya, tapi buah dada melambarinya dengan nafsu kegairahan. Meski buah dada sedang termabuk asmara, bulan tetap membalasnya dengan tulus cinta.

“Anakku, kaulah yang menyusuku. Tapi mengapa aku merasa bulan yang sedang menyusu buah dadaku? Adakah bulan di dalam dirimu?” tanya Dewi Sokawati pada dirinya sendiri, sementara ia merasakan betapa bahagianya menyusui bulan. (Sindhunata, 2022: 77)

Mata dan hati Dewi Sokawati terbuka ketika sedang menyusui Sukrosono. Matanya melihat anak bajang buruk rupa. Hatinya merasakan kehadiran bulan yang hangat berlimpah cinta. Ada kerinduan beku antara anak dan ibu. Menyusui adalah puncak kebahagiaan seorang ibu. Menyusui bukan sekadar mengucurkan cairan semata, melainkan mengalirkan cinta. Dengan begitu, buah dada adalah cinta yang beralih matra menjadi nyata. 

Dalam suasana pesta, Prabu Darmawasesa sering gandrung kasmaran begitu ia membayangkan Dewi Citrawati. … . ia merasa Dewi Citrawati duduk di pangkuannya. Disematkannya kuntum bunga kenanga di belahan dadanya. Dan betapa terpesona ia melihat buah dada kekasihnya. Dipujanya buah dada yang indah sebagai kelapa gading yang dibelah. (Sindhunata, 2022: 262)

Bukan hanya memantik belalak mata semata, buah dada juga memantik pergerakan dari satu ruang imajinasi ke ruang imajinasi lain. Yang imajiner dan yang faktual menjadi baur. Batasnya melebur ke dalam serangkaian cerita yang berpusat pada ruang kasmaran Prabu Darmawasesa. Ia menghadirkan Dewi Citrawati-imajiner ke atas pangkuaannya. Di tengah pesta, Prabu Darmawasesa mencipta ruang pesta sendiri. Pada ruang pesta imajiner bernama kasmaran itu ia meletakkan kesadarannya. Jadilah ia terkurung dalam ruang sempit: ruang imajinasi dimana keutuhan Dewi Citrawati tanggal, menyisakan imajinasi kerdil tentang buah dada. 

Selanjutnya, imaji demi imaji tentang buah dada membutakan mata serta menumpulkan syaraf perasa. Darmawasesa tak lagi bisa membedakan mana api mana berahi. Tangannya yang berajah seolah mengusap buah dada Citrawati ketika masuk nyala api pedupaan. 

Dan ketika ia mengulurkan tangannya yang berajah Rajapralaya di atas nyala api pedupaan, rasanya ia seperti mengusap-usapkan tangannya pada buah dada Putri Magada yang ia impi-impikan.  (Sindhunata, 2022: 280)

Sebagian wanita seperti terkena guna-guna, lalu meremas-remas buah dadanya, dan ingin rasanya mereka mempersembahkan pada satria yang demikian memikat berahinya. (Sindhunata, 2022: 300)

Buah dada yang ini bukan buah dada Dewi Citrawati, melainkan buah dada para wanita yang sedang mabuk berahi. Mata mereka lekat pada sosok tampan Sumantri. Ketampanan itu membius kesadaran. Para wanita memindahkan imaji tentang Sumantri ke tangan mereka sendiri. Remasan ke buah dada sendiri itu menahbiskan betapa berahi selalu berhasil mencari jalannya sendiri. 

Raja Maespati melihat, payudara istrinya menyelinap laksana sepasang cengkir gading, yang sedang masak. Ia membenamkan kepalanya ke dada istrinya. Malam pun mengaduh, dan di langit awan membasah , darinya turun hujan mendesah, ketika Dewi Citrawati melepas berahinya dalam jeritan-jeritan yang tak lagi malu menikmati gelisah asmaranya. (Sindhunata, 2022: 416)

Buah dada tampak sebagaimana adanya. Asli, bukan lagi imajinasi. Citrawati tak malu mendesahkan berahinya ketika Raja Maespati membenamkan kepala. Meski cinta sejati Citrawati hanyalah Sumantri, buah dadanya tak menolak berahi, apalagi langit malam mendukung gelisah asmara itu. Bagaimanapun, buah dada adalah tubuh fisikal. Kulitnya dipenuhi syaraf dengan sejuta titik rasa. Ada pertarungan antara nikmat raga dengan gelora cinta. Yang satu menelusup ke syaraf kulit buah dada, yang lain mengguncang jiwa. Keduanya saling menaklukkan, lalu bergantian saling melengkapi. 

Jika nikmat raga berpadu dengan gelora cinta berjumpa, maka yang terjadi tentu saja gejolak asmara berlipat ganda. Citrawati tak lagi malu membuka buah dada dan membiarkan tangan Sumantri menggenggamnya.  

Dadanya naik turun karena napasnya yang memburu, dan tak lagi malu untuk membuka buah dadanya yang selama ini bagaikan kelapa gading tersembunyi di balik kainnya. (Sindhunata, 2022: 445)

Asmara menyerang bagaikan kilat, ketika Sumantri menyentuh dada Putri Magada. Tak ingin rasanya Sumantri menarik kembali tangannya yang sedang menggenggam buah dada yang mengeras karena asmara yang sedang bergejolak.  (Sindhunata, 2022: 449)

Sekujur badannya menjadi panas ketika tangannya meraba-raba dada putri Magada itu. Dan Dewi Citrawati merintih-rintih merasakan berahi yang  berkecamuk di tubuhnya. (Sindhunata, 2022: 463)

Di fragmen ini, Sindhunata mengembalikan buah dada ke garis tujuan semula ia tercipta. Ketika Sokawati mengusapkan kelapa di buah dadanya, ia membentangkan keserupaan buah dada dengan kelapa. Bukan bentuknya, tapi kesucian air di dalamnya. Kesucian air kelapa menyimpan penyembuh racun dalam tubuh. Kemuliaan air buah dada menyimpan penyembuh racun dalam jiwa. 

Sambil mandi dengan air pancuran itu, ibunya mengusap-usapkan kelapa yang terbuang itu pada buah dadanya, kelapa itu pecah dan memberikan kehangatan luar biasa pada tubuhnya. Ibunya yakin, itulah tanda ia sudah ada dalam kandungannya. (Sindhunata, 2022: 440)

Kemuliaan itu bisa kita dapati dari kisah Sukrosono dan Sokawati. Dalam pembuangan di hutan Jatisrana, Sukrosono menemukan hidupnya kembali setelah menyesap buah dada Sokawati. Sokawati pun menemukan hidup yang benar-benar hidup. 

Sukrosono yang buruk rupa nyatanya adalah satu-satunya penggerak cerita tentang buah dada yang mulia. Selain menyesap buah dada ibunya, ia juga merasakan buah dada Dewi Tunjung Biru—yang kemudian menitis pada Dewi Citrawati. Maka, ketika Sumantri menikmati buah dada Citrawati sesungguhnya ia menyesap buah dada yang pernah disesap adik buruk rupa yang tak diakuinya. 

Kehangatan buah dada Dewi Tunjung Biru itu lain dengan kehangatan kehangatan buah dada ibunya yang pernah ia sesap ketika ibunya turun dari alam penantian dan mengunjunginya di hutan Jatirasa. (Sindhunata, 2022: 506)

Lalu, cerita berbalik jauh ke belakang. Ada tumpang tindih nafsu berahi dan anyir darah perang tanding. Ada fragmen berlapis pengkhianatan dan kesetiaan. Ada juga lapis kepalsuan dan kesejatian  tergambar sejak fragmen awal sesapan buah dada. 

“Sumantri, waktu dulu aku menyusuimu, aku merasa seperti ada ular di dadaku. Ular itu seakan hendak menelanku dengan penuh nafsu. Sementara, hanya sebentar aku boleh menyusui adikmu, sebelum aku meletakkannya di tepi hutan itu, dan aku merasa di buah dadaku tertidur dengan tenang seorang anak manusia. Kuamati dia malam itu sungguh dia bukan seorang raksasa. (Sindhunata, 2022: 543)

Buah dada Sindhunata selalu relevan melampaui zaman. Sejak zaman cetak Gutenberg hingga era metaverse Zuckerberg, buah dada tetap kenyal menyingkap kode tak terungkap. Buah dada tetap membelah terbuka menampung pelbagai tanda yang tersemat dibalik lapis-lapis cerita. Ia rela ditelanjangi sebagai biang perkara demi menambal simbol-simbol yang rumpang. Mulai dari hilangnya simbol cinta, hingga nihilnya simbol kejujuran. Semua kembali berdetak ketika buah dada mengalirkan air cinta. 

Pada karya lain, Menyusu Celeng, Sindhunata menampakkan buah dada berwajah muram. Buah dada terpaksa memainkan peran pelanggeng celeng-isme ketika manusia menyusu pada raja celeng. Mereka tanpa malu menyesap sifat-sifat celeng.  Raja celeng yang hanyalah objek lukisan ternyata punya kuasa ketika buah dadanya memantik hasrat para kemaruk harta dan serakah kuasa. 

Sindhunata memang penyesap buah dada. Beberapa karyanya yang lain juga mengumbar buah dada. Novel Putri Cina ditutup dengan kupu-kupu cinta yang terbang ke utara. Badannya adalah Putri Cina bertelanjang dada. Maka, datanglah bebunga berebut menempel di buah dadanya. Pada novel Anak Bajang Menggiring Angin, Sindhunata mengabarkan buah dada Dewi Sukesi sebagai jelmaan bulan purnama kembar yang turun ke dunia. Beradu pikat dengan buah dada Dewi Sinta yang dilukiskan sebagai sepasang matahari senja. 

Dari karya-karya Sindhunata, kita bisa menyesap buah dada sebagai tawaran jawaban atas  pergulatan hidup manusia yang tak lepas dari singkap dualitas dan dualisme. Buah dada meruntuhkan batas-batas baik-buruk, sopan-bejat, dan sakral-profan yang dikonstruksi manusia. Di atas semua itu, masih ada definisi mencintai dan arti memberi hidup yang perlu dieja sebagaimana buah dada tercipta.


Penulis:

Wahyu Kris. Seorang guru yang sedang dan senang menenggelamkan diri di kedalaman kata-kata. Menulis buku Mendidik Generasi Z dan A (Grasindo, 2018) dan Secangkir Kopi Inspirasi (Kekata, 2019). Pemenang kedua Sayembara Kritik Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2020). Pemenang ketiga Lomba Resensi Monolog Di Tepi Sejarah, Titimangsa Foundation (2021). Pemenang Harapan Esai Sastra Taufiq Ismail (2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *