Cerpen
Ikhwal Kucing Hitam dan Keinginan Salindri Mengandung Bayi

Ikhwal Kucing Hitam dan Keinginan Salindri Mengandung Bayi

Salindri tersentak ketika matanya beradu pandang dengan sepasang mata kucing hitam. Sebelumnya tak ia sadari kalau di bawah pohon mulwa itu ada seekor kucing, sampai ia mendengar suara meongnya yang lirih namun parau. Kucing itu berdiri tenang di sana, menatapnya beberapa saat, sebelum akhirnya beranjak pergi, tepat ketika maghrib berkumandang.

“Kucing itu, bagaimana bisa kembali muncul? Oh, bukan. Pasti bukan kucing yang sama,” Salindri menggumam. Ia, seketika itu ingat perihal kucing hitam yang di awal-awal pernikahannya dulu, hampir setiap menjelang petang dilihatnya berada di sudut halaman di bawah pohon mulwa. Salindri tak tahu dari mana kucing itu datang, dan tentu saja tak tahu pula kemana perginya. Tak ada sesuatu yang istimewa dari pemandangan tersebut. Tetapi situasi semacam itu menjadi kebiasaan dan kalau kucing itu tak muncul, kadang Salindri bertanya juga di dalam hati, “Kemana kucing hitam itu?” 

Kebiasaan itu hilang setelah suaminya membunuh kucing hitam itu, Salindri tak pernah lagi melihatnya. Tentu saja. Itu terjadi di sebuah malam, kala mereka sedang bercinta. Salindri  mengira suaminya keluar hanya ingin mengusir binatang tersebut. Kucing itu berada di luar, tepat di bawah jendela kamar dan sangat berisik, sehingga mengganggu mereka yang sedang bercinta. Ketika suaminya kembali ke kamar, ia bertanya perihal kucing yang tak lagi terdengar suaranya.

“Aku telah membunuhnya,” sahut suaminya pelan dan datar, seolah tanpa beban dosa setelah menghabisi seekor kucing.

Salindri tersentak. Ia tak menyangka suaminya tega membunuh seekor kucing. Ia sempat bertanya, dengan cara apa suaminya menghabisi binatang itu. Tetapi suaminya bilang itu tak penting, dan mereka melanjutkan persenggamaan yang sempat tertunda. Suaminya begitu beringas, sedangkan Salindri masih mencium anyir darah kucing di tangan suaminya. Setengah mati ia menahan muntah. Dan itu pula yang bikin ia kehilangan gairah.

Pagi harinya, Salindri menemukan bangkai kucing itu di keranjang sampah dengan kepala terpenggal, perut koyak dan usus terburai. Seketika itu ia mual lalu muntahkan isi perut. Dan bayangan kekejaman suaminya menerornya hingga berhari-hari kemudian.  

Salindri tahu kucing itu adalah kucing yang sering dilihatnya menjelang petang di bawah pohon mulwa. Kucing yang berwarna hitam seluruhnya. Kucing yang selalu menatapnya sebelum berlalu pergi. 

Sekarang ia heran lantaran ada kucing hitam lagi muncul di sana, di bawah pohon mulwa yang tumbuh di pojok halaman rumahnya. Salindri masih ingat dengan pesan perempuan renta yang ditemuinya lebih dari sebulan lalu. Dan itulah kenapa ia kemudian berpikir kalau malam nanti tak ada persenggamaan. Sebab kalau ia melakukannya, maka selamanya ia tak bisa mengandung. Itulah yang dikatakan perempuan renta itu.

***

Sudah hampir tujuh tahun mereka menikah tanpa kehadiran seorang anak pun. Salindri merindukan seorang bayi. Bayi yang lahir dari rahimnya. Ia dan suami sudah berusaha sekuat tenaga, berbagai cara sudah ditempuhnya, tetapi belum juga berhasil. Berulang kali konsultasi dengan dokter, datang ke pengobatan alternatif, terapi, dan segala macam hingga mencoba herbal ini dan itu, tetapi hasilnya tetap nihil.

“Lakiku yang mandul, atau aku yang gabuk?” pernah ia bertanya semacam itu, tetapi baik dokter maupun ahli pengobatan alternatif mengatakan dia dan suaminya baik-baik saja, dan tak ada alasan medis apa pun sehingga mereka tak bisa memiliki anak. Dokter kemudian mengatakan mungkin mereka terlalu lelah, atau barangkali terlampau banyak pikiran.

Baru sekitar sebulan lalu seorang kawan menyarankan agar ia pergi ke orang pintar. Kawan itu bilang ada kenalan orang pintar mumpuni. Dengan diantar kawannya itu, ia pergi tanpa sepengetahuan suaminya. Sebab ia tahu, lelaki itu tak percaya pada dukun. Ada sesuatu yang bersifat ghaib yang menghalangi keduanya untuk memiliki seorang anak, kata orang pintar itu. Dia adalah seorang perempuan tua dengan rambut sudah memutih seluruhnya, wajah banyak dihiasai keriput, tetapi seluruh giginya tampak masih utuh. Salindri bertanya, mengapa bisa begitu?

“Suamimu pernah bunuh seekor kucing!”

Salindri terkejut lantaran perempuan tua itu tahu kalau suaminya pernah membunuh seekor kucing. Salindri semakin yakin perempuan tua itu bisa menolongnya untuk memiliki seorang anak.  

“Tetapi, apa hubungannya membunuh kucing hitam dengan keadaanku yang belum juga mengandung?”

“Susah menjelaskan hal begitu rupa!” ucap perempuan tua itu. “Cukup dipercaya. Kecuali, kalau kamu tak memercayainya. Maka jangan datang kemari!”

Salindri mengangguk. Mengerti, dan tak ingin bertanya lagi. Kemudian perempuan tua itu menjelaskan bahwa kalau ingin bisa mengandung, maka mesti menghindari makan daging dan tidak melakukan hubungan badan apabila sebelumnya, pada hari itu, bertemu dengan seekor kucing berbulu hitam. Itu berlaku hingga 40 hari lamanya. Salindri mengerti dan menyatakan sanggup menahan pantangan itu. Ia lalu pulang dengan membawa sebotol air putih yang sudah diberi jampi-jampi oleh orang pintar tersebut. “Minumlah setiap hendak melakukan persetubuhan!”

***

Salindri ingin memiliki anak. Anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Maka ia bertekad, meneguhkan hatinya untuk tak akan bercinta dengan suaminya. Hanya untuk malam ini, sebab ini adalah hari terakhir. Hari ke empat puluh, pikirnya. Ia tak pernah menolak ajakan bercinta suaminya. Ia tahu, itu tak baik. Tapi malam ini ia tak ingin bercinta, demi bisa mengandung. Itulah yang diyakininya. Ia berharap, suaminya tak akan mengajaknya bercinta.  

Tetapi apa yang tak diharapkan justru terjadi. Suaminya mengajaknya bercinta. Dan seketika membuatnya panik, tetapi sebisa mungkin ia menyembunyikan gelagatnya.  Bagaimanapun, ia tak ingin suaminya menangkap kesan ia menolak ajakannya.

Dan lelaki itu terus mencumbunya. Sementara ia masih buntu tak punya akal bagaimana supaya persenggaman itu urung. Ia tak mungkin bilang sedang datang bulan. Suaminya sangat hapal tanggalnya. Pasti tahu ia berbohong bahkan dengan berpura-pura memakai pembalut sekalipun. Ia juga tak mungkin bilang sedang tak enak badan. Itu pasti kedengaran bodoh dan dianggap alasan yang mengada-ada. Antara berpikir bagaimana mencegah agar tak terjadi persenggamaan dan pura-pura meladeni suami, Salindri benar-benar berada dalam situasi sulit dan membuatnya bingung. Bagaimanapun ia ingin punya anak. Tetapi suaminya terus beringas, dan detik-detik berlalu terasa menyiksanya. Pergumulan itu nyaris saja sempurna kalau tak terdengar suara kucing yang mendadak terdengar begitu gaduh. Segala gerak terhenti. Lelaki itu mengumpat.

“Anjing!”

“Itu kucing!” ucap Salindri, dengan menahan tawa. Hatinya berangsur-angsur lega, seolah baru saja selamat dari bahaya yang mengancam.

Suaminya bangkit. Suara kucing kian ribut, yang agaknya terdengar dari balik jendela kamar. Mengeong-ngeong keras, dengan ritme yang cepat namun tak beraturan, mirip seseorang yang dengan sangat mendesak, menjerit-jerit minta tolong. 

“Aku ingin bisa mengandung dan aku tak ingin bercinta malam ini!” ucapnya pelan ketika suaminya menghilang di balik pintu, sembari membenahi pakaiannya yang kusut. Mendadak terbayang kebengisan suami menghabisi seekor kucing. Ia tak melihatnya langsung, tetapi bangkai kucing dengan kepala nyaris terpenggal yang dilihatnya di sampah pagi itu kembali membayang, dan mengaduk isi perutnya. Ia berlari ke toilet. Di sana ia menghoek. Tetapi tak ada yang keluar, walau sebutir nasi pun. Hanya suaranya saja dari kerongkongan yang terdengar. Sementara di luar kamar, di dekat jendela, suaminya mirip orang linglung mencari-cari kucing yang tak terdengar lagi suaranya. Ia kembali masuk demi mendengar istrinya muntah-muntah. Penuh rasa harap dan girang, ia berucap, “Aha, semoga istriku hamil!”***


Penulis:

Agusta Akhir, Menulis puisi, cerpen, dan novel. Beberapa karya pernah dimuat di media lokal maupun nasional, baik online (media digital) maupun Koran cetak seperti Koran Tempo, Detik.com, lensasastra.id, ideide.id, Joglosemar, Solopos, Suara Merdeka, Tabloid Cempaka, Republika, Radar Surabaya, Pikiran Rakyat, dll. Selain itu, beberapa cerpen juga masuk dalam kumpulan bersama, Waktu yang Bercerita (Alit) dan Secabik Jejak (Alit), Urbanhype (Pelangi Sastra, 2019). Novel pertamanya, Requiem Musim Gugur (Grasindo, 2013). Novel Kita Tak Pernah Tahu Kemanakah Burung-burung Itu Terbang terpilih sebagai pemenang ketiga sayembara Novel yang diadakan Penerbit UNSA Press tahun 2017. Novel Seperti Lidah Api yang Menjilati Bulan di Langit mendapat penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah Tahun 2022.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *