Esai
Sugesti Pemilu di Mata Penyair

Sugesti Pemilu di Mata Penyair

PEMILU menjadi obsesi bagi beberapa  penyair untuk mencipta puisi. Dari beberapa puisi yang mengangkat persoalan pemilu, saya memilih empat yang populer di tengah masyarakat.  Empat puisi ini dicipta dengan intensitas dalam hal diksi, imaji, dan majas  untuk memberi makna pemilu dalam kancah demokrasi. Saya tertarik pada empat puisi yang mengekspresikan ketajaman intuisi penyair untuk menyingkap berbagai kerumitan dan kepalsuan hegemoni kekuasaan dalam pelaksanaan pemilu.

Keempat puisi itu adalah “Tentang Seseorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum” karya Goenawan Mohamad, “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail, “Indonesiaku” karya Hamid Jabbar, dan “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono. Ketajaman intuisi menjadi kekuatan para penyair untuk menyingkap peristiwa demokrasi dalam dialektika kekuasaan, yang diperebutkan dengan siasat, kedok perilaku, kepalsuan, dan keserakahan. Keempat penyair ini menyingkap simulakra dalam ranah kekuasaan, di sekitar hari pemilu.

Dengan kekuatan intuisi, imaji, dan bahasa satire, keempat penyair ini mencipta kompleksitas makna pelaksanaan pemilu. Berkembanglah beberapa  tafsir puisi tentang pemilu  yang memiliki kedalaman lapis-lapis maknanya sendiri.  Saya terkesima dengan pandangan  otentik penyair untuk mengembangkan estetika yang memberi pengalaman tersembunyi tentang pelaksanaan pemilu.

***

DALAM puisi “Tentang Seseorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum” karya Goenawan Mohamad, pemilu menjadi ajang perebutan kekuasaan yang mengorbankan orang tak dikenal, yang mati terbunuh, dan tak diketahui asal-usulnya. Kematian seseorang tak beridentitas, tak diketahui partai dan agamanya, dianggap  aneh, asing. Pelaksanaan pemilu telah merenggut korban manusia yang tak bernama, yang menjadi kabar duka, tetapi dianggap asing: Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan/ mayatnya di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum/ dan hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi/ aneh di bawah bulan. Dan kemudian mereka pun berdatangan/.  Dalam larik puisi selanjutnya dikisahkan kematian seseorang yang tak dikenal itu ditulis sebagai berita yang tercetak di koran, tetapi tak seorang pun yang peduli dan merasakannya sebagai ancaman politik  bagi keselamatan rakyat.      

Kemurnian nurani, kejujuran, dan ketulusan dalam proses penghitungan suara, menjadi persoalan mendasar yang diangkat Taufiq Ismail dalam puisi “Kotak Suara”. Ia memanfaatkan majas personifikasi untuk menyingkap manipulasi angka-angka penghitungan suara dalam merekayasa kemenangan pemilu. Hegemoni kekuasaan dicapai dengan cara mengabaikan moral untuk mengalahkan lawan politik. Taufiq Ismail lebih cenderung memanfaatkan majas personifikasi untuk mengekspresikan estetika dan etika dalam larik-larik puisinya: Di dalam kotak suara/ Angka-angka saling bertanya asal-usul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat dan berkelahi sesamanya/ Angka-angka sikut-menyikut, pukul-memukul/ Angka-angka tampar-menampar, gebuk-menggebuk//.     

Kekuatan bahasa sebagai simbol dan satire terhadap perilaku penguasa  disampaikan Hamid Jabbar dalam puisi “Indonesiaku”. Daya tarik hegemoni kekuasaan telah menjadi sihir yang memikat orang-orang untuk mencari kedudukan (“kursi”) dalam kekuasaan, menikmati fasilitas, berperangai arogan dan mencipta “rambu-rambu” (peraturan-peraturan). Diterapkanlah peraturan-peraturan itu untuk  dipatuhi rakyat dan menikamkan luka bagi hati nurani: sepanjang jalanan sepanjang tikungan/ sepanjang tanjakan sepanjang turunan rambu-rambu bermunculan/ Seribu tanda-seru memendam berjuta tanda-tanya/ seribu tanda-panah mencucuk luka indonesiaku.

Penyingkapan kedok kepalsuan perilaku penguasa juga diekspresikan Agus R. Sarjono dalam puisi “Sajak Palsu”. Krisis yang terjadi dalam hegemoni kekuasaan, yang menjadi obsesi penyair, disebabkan kepalsuan-kepalsuan dalam seluruh sektor birokrasi, dan tak ada lagi kejujuran, ketulusan, akhlak mulia, yang menjadi teladan. Penyelenggaraan pemilu, yang dilukiskan sebagai bagian dari masyarakat demokratis, ternyata penuh dengan kedok kepalsuan: Lalu orang-orang palsu/ meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan/ gagasan-gagasan palsu di tengah seminar/ dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya/ demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu//.  

***

SUGESTI yang diekspresikan keempat penyair  mengenai pemilu ternyata didasari pandangan yang berbeda. Saya memilah menjadi dua pandangan penyair. Pertama, pandangan Goenawan Mohamad yang memanfaatkan simbol, majas simile, deskripsi suasana untuk menciptakan sugesti tentang kegentingan pemilu yang menimbulkan korban manusia yang tak dikenali. Goenawan Mohamad menyampaikan sugesti tentang kegentingan pemilu tanpa provokasi. Ia menghadirkan suasana genting, yang membangkitkan imaji pembaca tentang arogansi kekuasaan, bahkan kekejian kekuatan koersif, tanpa meninggalkan jejak agitasi terhadap pembaca. Ia justru mampu menciptakan tafsir kebusukan moral dalam pemilu.

Kedua, puisi-puisi Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, dan Agus R. Sarjono yang menyampaikan sugesti mengenai kebusukan pelaksanaan pemilu, kecurigaan akan kejujuran. Mereka mengeksplorasi diksi yang mengarah pada satire, dan memanfaatkan majas untuk melancarkan kritik. Saya melihat kehendak mereka menciptakan parodi tentang pemilu dan hegemoni kekuasaan, kecenderungan penyimpangan, arogansi kekuasaan dan dunia simulakra yang menyelubungi hegemoni kekuasaan. Demokrasi menjadi bingkai semu yang mengemas pelaksanaan pemilu dan hasil-hasilnya yang menyebabkan pihak-pihak yang kalah dalan pertarungan hegemoni kekuasaan sebagai pecundang, dan rakyat yang selalu menjadi korban pertarungan kekuasaan.       

Keempat penyair ini menyampaikan sugesti tentang pemilu, pada hakikatnya tidak untuk melancarkan kecurigaan, kebencian, apalagi menyerang hegemoni kekuasaan. Keempat penyair ini  sedang menarik kita – dengan kekuatan stilistka masing-masing—untuk merenung, berdialog batin, dan menemukan kearifan. Mereka tidak menyampaikan larik-larik puisi untuk mengekspresikan kekuatan ideologi tertentu. Ketajaman intuisi mereka untuk membangkitkan kesadaran pembaca agar  waspada terhadap pelaksanaan pemilu. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *