Cerpen
Berada dalam Kubur

Berada dalam Kubur

Wajah ibu yang berkata dalam hape itu menyiksa batinku. “Pulanglah Nak, tinggallah di kampung,  aku merindukanmu. Aku ingin bersamamu beberapa hari sebelum ajal menjemputku,” ia merasa kematiannya sudah dekat, membuatku ketakutan. Ia ngomong seperti itu diwaktu sehat. Aku mengakhiri obrolan panjang itu, diiringi airmata yang menetes di pipi, kemudian mengucap salam sesenggukan, sambil mematikan hape. Seperti biasa, mata ibuku tidak sembab. Ia adalah sosok ibu nomor satu paling tangguh di dunia melebihi almarhum ayahku. Entahlah setelah hape mati, ia menangis sendirian di dalam kamar menyimpan kesedihannya sendiri. Adek perempuanku pernah bilang, memang ia tidak pernah melihat ibu menangis selama aku di rantau, kecuali waktu ayah meninggal, dan beberapa hari sesudahnya. Aku punya persepsi sendiri, ibuku seorang perempuan setia, sama dengan almarhum ayahku. Dan sekarang ia menyuruhku pulang kampung, dan tinggal di sana, membuatku gundah. Bukan aku tidak sayang pada ibuku, sungguh aku begitu menyayanginya dengan sepenuh hati. Aku bisa membayangkan, jika aku menuruti kehendak ibu, tinggal di kampung halaman, apa lagi dalam jangka panjang. Setiap hari aku mendengar gosip tak berguna berhamburan dari setiap sudut, lewat mulut-mulut yang berbau busuk. Tak mungkin aku mengurung diri terus-terusan dalam kamar, seperti gadis yang baru patah hati.

Takutnya, aku yang jenuh di kampung, ikut-ikutan terseret pada perbuatan mereka yang tak terpuji. Yang paling menyedihkan bagiku, aku tidak punya teman untuk berdiskusi tentang sastra di kampungku, seperti  yang sering aku lakukan dengan teman-teman penulis di komunitas. Jika berlama-lama tinggal di kampung, pikiranku pasti buntu. Apalagi aku sudah berjanji pada Lidia, gadis yang membuatku megap-megap, dan ia sudah mendekap dalam selimutku yang usang, aku segera menikah dengannya. Selama aku berkelana mencari cinta, aku merasa dialah yang tepat untukku. Aku tidak akan menyia-nyiakan dia. Mengenai tempat tinggal setelah menikah, kami sudah berjanji, ia siap lengser dari pekerjaannya hidup entah berantah denganku di Pekanbaru, seorang karyawan yang tak bermutu. Atau aku yang hijrah ke Batam, tempat ia bekerja. Menururtku itu hal yang mudah diatur. Masalahnya, apa yang harus aku katakan pada ibu tentang Lidia? Apakah lebih baik aku menetap di kampung bersama ibu setelah aku menikah dengan Lidia? Apakah Lidia mau tinggal di kampungku yang kumuh? Apakah ibu memberiku izin, seandainya aku berangkat ke Batam setelah menikah dengan perempuan itu? Pikiranku terguncang.

Sebelum pulang kampung. Aku harus berangkat ke Batam menemuinya, mengajak ia bercerita tentang kegundahan yang membalutku. Kalau diobrolkan lewat telpon kurang asik rasanya, karena ini masalah serius.

“Bagaimana menurutmu sayang, bisakah kau mengambil keputusan yang baik?” Aku sudah berada dititik lain, datang menemuinya sepulang ia kerja. Setelah mendengar keluh kesahku, lama Lidia terdiam. Ia yang biasa tertawa lepas ketika kami melakukan obrolan panjang berjam-jam lewat hape sambil meperlihatkan wajah masing-masing, sekarang wajah itu terlihat pucat, matanya yang menatapku memancarkan sinar kesedihan.

“Sebenarnyakan perjalanan kita masih panjang, baru antara kau dan aku yang saling suka. Siapa tahu ibumu tidak mensuport cinta kita, apalagi setelah ia tahu aku seorang janda,” penjelasan yang rinci itu sering ia utarakan, dan aku lama-lama bosan juga mendengarnya.          

“Begitu juga sebaliknya, tentang keluargaku, terutama orang tua belum mengenalmu. Siapa tahu setelah kau melamarku dia juga tidak setuju setelah mereka tahu pekerjaanmu. Maaf, aku bukan bermaksud merendahkanmu ataupun pekerjaanmu itu.” Aku mengerti maksudnya, orang tuanya pasti membandingkan aku nanti dengan almarhum suaminya, yang kerjanya jelas, dan yang terpenting gajinya lebih tinggi. Jauh beda dengan aku, hanya seorang office boy.  

Dalam hal ini aku tidak berhak marah, kesal atau apapun yang senada dengan itu. Jauh-jauh dari Pekanbaru datang ke Batam menemuinya menuntut kepastian, yang aku dapat segumpal kepiluan.

“Kasih aku waktu satu, atau paling lambat dua minggu ini untuk berpikir. Seandainya kita jadi menikah, aku tidak kuat kalau tinggal di kampung. Baik di kampungmu atau di kampungku,” aku menafsirkan sendiri kata-kata itu. Semakin aku tunjukkan rasa cinta, dan semakin aku mengejarnya, malah ia jadi mempermainkan aku. Dari pertemuan ini aku rasa dia sudah memperjelas jawaban untuk menghapus keinginannya dulu yang berniat menikah denganku, seperti yang pernah kami janjikan sebelumnya. Secara tidak langsung, ia menolakku. Dan aku harus mengambil sikap, menyingkirkan jejak yang terjadi di antara kami. Menurutku dia minta waktu seminggu sekadar basa-basi, dan pertanda ia masih menghormatiku walaupun jumlahnya tidak melimpah seperti dulu.

“Maaf, besok pagi tidak bisa mengantarmu ke Bandara,” ia menutup pembicaraan. Mungkin inilah pertemuan kami yang terakhir. Aku yang berangkat sendirian ke Bandara dalam keadaan linglung. Keramayan tidak bisa menganggu konsentrasiku yang berkhayal. Aku memikirkan sesuatu tentang masa depan. Keinginanku yang menikah dengan Lidia semakin kecil hasratnya. Aku harus cari perempuan lain, sebelum ia menangis meminta maaf, memlih mengundurkan diri dari sisiku, karena tidak sanggup lagi menjalin hubungan lebih serius sampai ke jenjang pernikahan, dengan alasan bermacam-macam.        

 * * *

Aku sudah tiba di kampung halaman, dan memutuskan tinggal. Aku bersukur ibuku dalam keadaan baik-baik saja. Kesempatanku berbakti melebihi hari-hari sebelumnya lebih luas waktunya, ketika berada di sisinya. Kata-katanya tentang kematian waktu itu membuat denyut nadiku seakan berhenti.

“Sudah saatnya kamu menikah Nak,” benar dugaanku, ia pasti membahas masalah yang satu itu. Jika aku jawab belum ada calon, dengan perasaan buru-buru ia memberi solusi.

“Ia Bu, aku lagi menunggu kabar dari seseorang,”

“Kabar apa?”

“Apakah ia siap menikah denganku atau tidak.”

“Dia orang mana?”

“Pesisir Selatan.”

“Di mana itu?”

“Tiga jam dari Padang.”

“Kerja di mana dia?”

“Batam.”

“Jauh sekali, ibu tidak setuju,” secepat itu ia mengambil keputusan kilat. Pemikiran orang tua dulu masih melekat di kepala ibuku. Sesepuhnya, tidak merestui anaknya yang ingin menikah dengan orang yang tinggalnya jauh dari kampung halamannya. Apalagi mereka sama-sama pekerja yang sibuk di rantau, terkekang hidupnya, tidak bisa pulang bebas ke kampung halaman.

“Bagaimana nanti kalau ibu sakit, pasti tidak bisa kalian jenguk segera.” Tak mungkin aku mengeluarkan argumenku di depan ibu dalam hal ini. Apalagi sampai berani menceramahinya.    

“Ibu sudah memilh jodoh yang tepat untukmu Nak,” sudah kuduga ujungnya seperti ini.

Waktu terus berjalan. Aku yang menunggu tak pernah dapat kabar dari Lidia. Sepertinya ia sudah melenyapkan aku dari hatinya. Akhirnya aku memilih dekat dengan Wati, perempuan itu pilihan ibuku. Aku sudah menerima cintanya karena tidak ada lagi kabar dari Lidia. Menelponnya untuk menanya kabar, aku malas. Merasa menjatuhkan harga diriku yang terlalu berharap. Perpisahan ini adalah pilihannya sendiri, aku tidak boleh memaksakan ia datang lagi dalam pelukanku, semacam menuntut yang bukan hakku. Dan akhirnya hapeku berdering, aku dapat telpon atas nama Lidia. Tapi yang menelpon orang asing. Ia bilang di hape Lidia namaku tertulis, teman dekat. Aku tak menyalahkan dia, karena awalnya kami berteman, aku sendiri yang mengubah pertemanan itu jadi sepasang kekasih.

“Aku merasa perlu menghubungimu,” selama ini aku tak pernah mendengar suara orang asing itu, entah siapanya Lidia dia itu. Pikiranku berkata, dia calon suaminya yang merasa cemburu. Sebelum terjadi pernikahan, ia menyelidik terlebih dulu.

“Kalau boleh tahu ini dengan siapa?” Pertanyaanku bisa menjawab yang tersimpan dalam hatiku.

“Aku kenal kamu kok, kamu yang tidak mengenalku. Aku Haris, abangnya Lidia.”

    “Maksudnya pacar?”

   “Bukan, aku abang kandungnya.” Untuk apa ia menelponku. Memberi informasi tentang pernikahan adeknya, yang membuat jiwaku rapuh. Aku masih ingat Lidia bilang, ia pernah cerita pada abangnya tentang kisah cinta kami yang berawal dari teman dekat akhirnya melekat. Mungkin ia cerita juga semua kisah yang terjadi antara aku dan dia sama abangnya, ketika terjadi konflik itu. Karena ia merasa semakin tidak cocok denganku pada pertemuan kami yang terakhir. Mungkin karena itu, ia merasa tak perlu menghubungiku hanya membuat sakit hati. Akhirnya ia memilih menikah dengan orang lain. Abangnya yang tahu rasa sakit hatiku menelpon sekadar meminta maaf atas nama adek perempuannya, aku terus menduga-duga.

“Lidia sudah meninggal, dua hari yang lalu, di salah satu rumah sakit di Batam” aku shock, merasa bersalah. Sikapku yang tidak menelponnya adalah dosa yang tidak bisa diampuni.

“Dia sakit apa bang?” Tanyaku dengan bibir bergetar.

“Kangker, apa ia tidak pernah cerita padamu?”

“Sumpah aku tidak tahu Bang,” perasaan bersalah terus tumbuh dalam hatiku.

“Sebelumnya juga ia bilang, ia banyak pikiran. Ketika ditanya, ia takmenjawab. Apa kalian ada masalah sebelumnya?” Airmataku bercucuran, takmenjawabnya. Mungkinkah aku juga ikut membunuhnya?

“Aku turut berduka cita, minta tolong kirim alamat lengkapnya Bang, besok pagi aku berangkat ke sana,” aku mau ziarah ke kubur Lidia. Perjalanan dari kampungku ke Pesisir Selatan sekitar 10 jam, dua kali naik bus. Ia mengirim alamat lengkap lewat pesan.

 Nagari Damar 8 batang
Kec: Air Pura
Kab: Pesisir Selatan

Setelah membaca pesan itu, aku tersungkur di atas kasur. Badanku lemas, dadaku sesak, pandanganku gelap. Setelah itu aku tak tahu apalagi yang terjadi. Tiba-tiba aku sadarkan diri, seseorang memanggilku. “Prengki, Prengki, kau ada di sini,” Lidia memanggil-manggilku, aku baru sadar, ternyata sudah berada dalam kubur. []


Penulis:

Depri Ajopan. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal. Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa buku fiksi dan sudah diterbitkan. Novel barunya, Pengakuan Seorang Novelis. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Sekarang penulis aktif di Rumah kereatif Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *