Resensi Buku
Kesaksian, Lelucon, Kabar Angin, dan Imajinasi

Kesaksian, Lelucon, Kabar Angin, dan Imajinasi

Judul Buku: Joko Klobot dan Nyi Kemretek
Jenis: Novel
Penulis: Puput Sekar
Penerbit: NAD Publishing
Tahun Terbit: September 2023
Isi : xii + 252 halaman, 14 X 20 cm
ISBN : 978-623-88178-8-7

Sewaktu saya kecil bisa dibilang cukup akrab dengan dunia wayang, meski sekadar penikmat pertunjukannya. Saya sering melihat wayang sampai ngebyar. Salah satu hiburan di desa adalah ketika ada warga yang punya kerja nanggap wayang. Dulu saya punya semacam catatan tentang siapa yang nanggap wayang, tempat dan waktu pertunjukannya.

Meski begitu, point besar yang saya pakai untuk mengulas novel berjudul Joko Klobot dan Nyi Kemretek ini bukan berangkat dari sana, jikapun ada ketersinggungan dengan hal itu karena saya menganggap wayang dalam novel ini adalah sarana untuk memenuhi kriteria terkait bagaimana ceritanya akan dikisahkan. Semoga di suatu saat novel ini juga ada yang membahas dari ilmu perwayangan oleh orang yang mempunyai kapasitas akan hal itu.

Untuk membuat novel tidak harus cerita yang spektakular karena apa yang dinilai baik kadang bukan tentang apa ceritanya melainkan bagaimana cerita itu dikisahkan. Menurut saya novel ini telah mengedepankan tentang bagaimana pengisahan ceritanya, di mana hal itu dapat saya jabarkan melalui empat hal: kesaksian, lelucon, kabar angin, dan imajinasi.

Kesaksian
Nadine Gordimer (Penulis dari Afrika Selatan yang menerima hadiah nobel sastra pada tahun 1991) dalam tulisannya yang berjudul: Bergantung pada Matahari Terbit, mengatakan bahwa pada awal dekade 70-an dia membuat garis batas kualitatif terkait karya sastra, yaitu antara tulisan yang dibuat atas dasar kesaksian dan tulisan yang dibuat atas dasar imajinasi. Nadine mengatakan bahwa orang-orang mungkin tidak menyukai ide itu. Pernyataan Nadine menjadi masuk akal karena waktu itu dia sendiri mengakui bahwa dia juga tidak suka dengan ide tersebut.

Saya menduga Nadine memunculkan ide tersebut sekadar untuk keperluan membahas karya sastra yang ditulis atas dasar kesaksian, karena apa yang Nadine sampaikan waktu itu mengenai tulisan-tulisan dari Afrika di mana kondisi kehidupannya berada dalam era Apartheid. Nadine menganggap karya sastra kesaksian waktu itu dinilai belum bisa menggambarkan permasalahan sampai ke akar rumput. Hal itu karena penulis sendiri tidak punya akses untuk melihat sendiri tentang apa yang terjadi. Atau istilah Nadine mereka telah dibungkam untuk menjamin kerahasiaan. Lebih tepatnya terbungkam di bawah ketakutan akan ancaman, bahwa sepotong kata yang diartikan secara tak sehat dapat menghilangkan sebuah nyawa si pembicara atau si penulis.

Selanjutnya Nadine mengatakan bahwa karena hanya ada pengadilan-pengadilan besar tentang tuduhan pemberontakan pada era tersebut, menurutnya penjelasan dari hal-hal itu muncul secara tidak benar dalam potongan-potongan pengakuan setelah proses interogasi yang menyeramkan.

Merujuk pada Joko Klobot dan Nyi Kemretek ini, meski saya tahu ada perbedaan masalah dengan tulisan yang dibicarakan Nadine, namun kepentingan saya menggambarkan kondisi di atas ingin menjelaskan bahwa dalam pembuatan novel ini, Puput tidak akan menemui hambatan yang berat seperti halnya tulisan yang dikemukakan Nadine. Hal ini bukan berat ringannya sebuah masalah namun kesaksian-kesaksian yang dijadikan bahan dalam menyusun novel ini dapat diperoleh dengan mudah. Tema novel ini adalah keluarga, di mana keluarga tersebut sedang mengalami cobaan. Problem tentang retaknya sebuah keluarga sudah banyak di sekitar kita. Kita tinggal mengambil dan menyaring lalu menggunakannya sebagai bahan untuk menyusun novel.

Berikut adalah salah satu contoh narasi kesaksian tentang permasalahan keluarga yang ada dalam novel ini: Kamar Prantawati menjadi saksi bagaimana hatinya didera kesusahan. Bantalnya setiap malam basah oleh air mata. Malamnya menjadi dingin dan hening. Padahal semestinya malam-malamnya masih membara dalam pergumulan asmara. (hal. 3)

Di novel ini ada juga yang menggambarkan masalah besar, contohnya perihal perilaku penguasa. Sekarang kita bisa melihat dan mendengar sendiri keputusan-keputusan penguasa yang hanya mementingkan kelompok tertentu. Kesaksian jenis seperti ini juga mudah kita temui.

Berikut adalah salah satu contoh narasi kesaksian tentang kesewenangan penguasa yang ada dalam novel ini: Namun, khayalan mereka seketika buyar ketika Batara Guru menimbang dan memutuskan bahwa Dewasrani yang akan turun ke dunia manusiaPalu diketuk tiga kali, keputusan Batara Guru tidak dapat diganggu gugat (hal.68).

Sementara itu, para batara kecewa, Seperti biasa, Batara Guru acapkali mementingkan keluarganya. Azas nepotisme barangkali sudah melekat erat di wilayah Jonggring Saloka. (hal. 69) (Perlu diketahui bahwa Dewasrani adalah putra Batara Guru)

Kesaksian lain dalam novel ini adalah ketika penulis menyebutkan gelar tokoh di masa silam, penentuan lokasi, dan sesuatu yang bersifat spesifik di tempat yang bersangkutan, dalam hal ini adalah tumenggung. temanggung , dan tembakau.

Lelucon
Menurut Myra Sidharta (Penulis dan pengajar kelahiran Belitung, yang menguasai lima bahasa asing), dalam tulisannya yang berjudul Lelucon Erotis mengatakan bahwa lelucon yang paling disenangi adalah lelucon yang klimaks. Ia seolah-olah suatu surprise yang mengejutkan dan menyenangkan.

Berikut contoh lelucon yang mengejutkan dan menyenangkan: Tidak ada lagi aroma mawar….  aroma kamarnya  berganti dengan minyak angin cap pethel.(hal.3)

Berikut contoh lelucon yang kurang klimaks: Ia hanya bisa menggaruk bagian tubuhnya yang tak gatal. Mulai dari kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki, juga bokong.(hal. 32)

Akhiran bokong dalam lelucon di atas seperti kurang pas. Kata itu bersifat membuyarkan, Ibarat meruntuhkan gedung yang telah dibangun di awal. Menurut saya mengapa tidak menjadikan klimaks sekalian, misalnya menjadi: Ia hanya bisa menggaruk bagian tubuhnya yang tak gatal. Mulai dari kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki, daun telinga, mata, hidung, dan pipi.

Lelucon yang sejenis di atas ada pada halaman 33: Ia hanya menunggu bagian mana yang akan luluh lantak terlebih dahulu. Apakah kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki? Untuk yang ini, agar tidak menjadi pengulangan bisa diatasi dengan penambahan: dan seterusnya. Lantas akan menjadi: Ia hanya menunggu bagian mana yang akan luluh lantak terlebih dahulu. Apakah kepala pundak, lutut, kali, lutut, kaki, dan seterusnya?

Lelucon lain yang sederhana dan berhasil: Tidak ada satu pun aral melintang. Ia hanya ingin mertuanya mencium bau bunga. Tentunya bunga mawar melati semuanya indah.(hal. 31)

Terkhusus untuk lelucon seks, Myra berpendapat tidak ada orang yang akan merasa puas kalau klimaks tidak tercapai. Myra mencontohkannya dengan sebuah ilustrasi jika ada lelucon yang dimulai seolah-olah sebuah lelucon seks, ternyata pada akhirnya tidak demikian, hal itu dianggap sebagai lelucon yang tidak sampai klimaks. Hal itu berhubungan dengan pendapat para pakar, seperti yang disampaikan Myra, bahwa ada analogi antara kenikmatan sebuah lelucon dengan seks. Untuk novel ini, meski tingkat bahan leluconnya sederhana tapi penulis berusaha memuaskannya. Berikut adalah dua contohnya:

Ia memilih tidur memunggungi Prantawati dan menjawab dengan ketus. Dari pada bibirnya keceplosan membuka kegiatannya selama ini. Padahal dedek di bawah sudah ingin ehem-ehem dengan Prantawati. (hal. 17)

Ia kesal untuk semua hal, terutama untuk urusan “arus bawah” yang tidak terakomodasi. Maka setiap malam, Petruk sendiri yang mengolesi minyak cap pethel ke tubuhnya. Diam-diam ia juga mengolesi dedek dengan minyak pelumas lainnya, mengganti fungsi Prantawati dalam menjalankan tugas. Biarlah ia melakukan sendiri dengan tangannya.(Hal. 17)

Namun menurut pengamatan saya, semakin menuju ke halaman belakang, justru leluconnya semakin hilang. Saya membayangkan alangkah asyiknya jika pada saat geger, atau pada saat perang, lelucon-lelucon itu tetap dihadirkan.

Kabar Angin
Saya awali pembahasan bagian ini dari kutipan paragraf akhir tulisan Myra Sidharta yang berjudul Kabar Angin, sebagai berikut: Bagaimanapun kabar angin memang suatu gejala yang sangat menarik, meskipun rumit untuk diteliti karena merupakan fenomena dari komunitas sosial. Dimanika manusia dalam bentuk baik maupun buruk, dalam seriusitas maupun dalam humor, imajinasi, pengamatan, dan pikiran semua dapat dikerahkan dalam kreasi, peyebaran, dan pembantahan kabar angin.

Jika keadaan rumah tangga yang seharusnya disimpan ternyata bocor, akan menjadi mudah menimbulkan kabar angin yang bisa membuat keluarga semakin tidak baik, bahkan justru sangat mungkin menjadikan keluarga akan hancur sehancur-hancurnya. Puput menggunakan sarana itu untuk membangun plot di mana ceritanya diangkat dari kisah yang dekat dengan kita. Bahkan di novel ini saking santernya kabar angin itu beredar hingga ke Jonggring Saloka (Khayangan), tempat di mana para batara tinggal.

Contoh awal terciptanya kabar angin dalam novel ini ada pada narasi halaman 55: “Kresna berarti gagal menjadi orangtua, sampai anak saja pergi dari rumah!” ujar Batara Brama, kakek Wisanggeni itu dengan semena-mena memberikan tuduhan untuk sesuatu yang tidak ia tahu dengan pasti.

Karena itu meski kita tidak bisa lolos dari kabar angin, seyogyanya kita harus tetap lurus agar bisa selamat. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Myra, bahwa tidak ada orang yang kebal terhadap kabar angin, tetapi tidak ada salahnya untuk menbentuk sedikit kebebalan melalui kesabaran yang baik sehingga aspek-aspek bahayanya dapat ditanggulangi.

Imajinasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imajinasi adalah khayalan atau daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambaran (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.

Dalam novel Joko Klobot dan Myi Kemretek ini, imajinasi menjadi sangat berguna ketika penulis memutuskan sebuah cerita perpindahan tokoh wayang yang akan menjadi manusia. Pada bagian inilah penulis mesti benar-benar berpikir keras untuk membuatnya. Meskipun bagian perpindahan itu merupakan sesuatu yang tidak masuk akal namun dengan daya imajinasi, hambatan untuk mewujudkannya tetap bisa diatasi. Setidaknya imajinasi itu akan membangun kelogikaan cerita yang dari awal merupakan hal yang tidak nalar.

Berikut beberapa narasi novel ini yang pembuatannya mengikutkan unsur imajinasi.

“Memang seperti itu, Ndoro. Setelah kita berada di dunia manusia ini, kita berada dalam wadak seseorang yang sudah mati,” (hal. 42).

Prantawati histeris lagi. “Hah, jadi aku ada di dalam jasad orang mati! Kalau begini aku tidak mau! Aku mau kembali ke duniaku sendiri!”(Hal 43)

Seperti halnya kebaikan, kejahatan pun bekerja dengan caranya sendiri. Ada aturan yang dilanggar, ada hukum yang didobrak. Semua dilakukan hanya untuk memuluskan apa yang diinginkan. Dewasrani turun ke bumi tidak menaati aturan yang berlaku (Hal. 105-106).

Penutup
Cerita novel ini sederhana, berkisah tentang hal di sekitar kita, dan dekat dengan kita. Tapi karena cara pengisahannya lain hingga membuat cerita ini lebih menarik. Bukan tentang apa yang menjadi cerita melainkan bagaimana cerita itu dikisahkan.

Sebelum berakhir, sebagai penutup saya akan mengambil salah satu kalimat sakti dalam novel ini. Ketika memang sudah tidak ada lagi keadilan di muka bumi, maka masih ada keadilan yang tidak akan pernah salah dalam setiap catatan. Menelan kepahitan memang tidak mengenakkan, tetapi menggenggam bara api jauh akan lebih mencelakakan. []


Penulis:

Yuditeha. Pecinta buku. Menjadi rajin membaca ketika hati sedang berantakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *