Cerpen
Istri Seorang Politikus

Istri Seorang Politikus

Berita tentang kecelakaan pesawat yang ditayangkan salah satu siaran teve cukup menghebohkan bagi keluarga Ibu Sumarti. Rahmi, salah seorang puterinya menyampaikan kabar duka itu dengan suara terbata-bata. Pak Nandar, seorang anggota dewan, juga teman baik Pak Darsono yang sama-sama politisi ternama, kini sudah sampai ke rumah duka. Setelah nama-nama korban disebutkan, Pak Nandar mendengar sendiri kabar tersebut, hingga langsung meluncur ke kediaman keluarga Ibu Sumarti.

Untuk memastikan kebenaran berita tersebut, Pak Nandar mencari-cari saluran teve yang terpasang di dashboard mobilnya. Dikontak sana-sini melalui ponsel belum juga ada kejelasan. Ia masih bertanya-tanya dalam hati, apakah benar nama yang disebutkan tadi adalah Darsono, sahabat karibnya yang berkiprah di kancah perpolitikan Indonesia dalam satu naungan partai yang sama, sejak limabelas tahun silam.

Mendengar berita kematian suaminya, Ibu Sumarti tampak tenang-tenang saja sambil duduk manis di kursi sofa, sementara ibu-ibu tetangga, berikut saudara-kerabat merasa bersedih sambil termenung mendampingi Ibu Sumarti dan puterinya. Bu Ratna, istri Pak Nandar menangis terisak-isak hingga jatuh ke pelukan Rahmi yang juga masih menangis di samping ibunya. Tak berapa lama, Ibu Sumarti melangkah menuju kamar untuk menyendiri, seraya mengunci pintu rapat-rapat.

Di dalam kamar, ia mematikan lampu dan duduk di kursi yang terletak di bawah jendela. Ia mengamit bantal dari tempat tidur lalu memeluknya erat-erat sambil duduk menerawang ke luar jendela. Merasa lelah meladeni ibu-ibu yang menangis di luar kamar, akhirnya ia memutuskan menyendiri sambil menampilkan ekspresi janggal, seolah-olah ia tersenyum di depan cermin yang retak.

Pucuk-pucuk pohon rindang bergoyang riang menyambut datangnya musim hujan di bulan Oktober. Suara burung berkicau merdu di atap rumah ikut menyemarakkan suasana hati yang terasa sendu dan menyenangkan. Harum nafas dari rintik hujan yang menggantung, juga ikut mendukung suasana hati yang berbunga-bunga. Tukang somay dan pedagang baso mendentingkan suara-suara mangkuk yang terdengar begitu merdu di jalanan depan rumah.

Ibu Sumarti, semua orang tahu, adalah seorang ibu muda yang cantik dengan raut wajah yang ceria dan kadang keras kepala. Ekspresinya menunjukkan karakter yang memendam hasrat dan keinginan besar. Kadang, matanya memancarkan pandangan kosong, terpaku pada petak-petak biru di langit luas. Ketika mendengar nama suaminya disebutkan, pandangan mata itu sama sekali tidak mencerminkan kerinduan, apalagi merasa kehilangan atas kabar kecelakaan pesawat yang baru didengarnya.

Ia tidak mempunyai firasat kuat bahwa sesuatu akan terjadi padanya, dan dia menunggunya dengan perasaan waswas dan janggal. Apa yang akan terjadi nanti? Dia tidak tahu. Namun, ia tetap merasakan sesuatu yang besar, menjalar keluar dari kisi-kisi langit, menggapainya lewat getaran suara-suara burung yang merdu di atap-atap rumah tetangga.

Nafasnya mulai memburu dan dadanya naik-turun dengan cepat. Ia mengenali perasaan yang mendekat seakan merasukinya, namun ia berusaha memerangi perasaan itu dengan sekuat tenaga. Ketika ia berhenti memerangi perasaan galau tersebut, tiba-tiba menguar aroma harum semerbak, hingga tersungging senyum di bibirnya. Seketika itu, ia merentangkan kedua tangannya, dengan kepala terkulai dalam posisi duduk, lalu keluarlah satu kalimat yang seakan tersimpan dalam lubuk hatinya sedemikian lama: “Sekarang, saya sudah bebas, bebas, bebas….”

Tatapan kosong yang sebelumnya menguasai perasaan Ibu Sumarti, seakan sirna seketika. Berganti dengan pancaran yang riang dan bersinar-sinar di matanya. Denyut nadinya berdetak secepat langkah kaki kuda yang terbebas dari beban tunggangannya. Darahnya mengalir hangat ke sekujur tubuh hingga membuat hatinya membuncah dan berbunga-bunga.

Ibu Sumarti tidak mempertanyakan perasaan yang menggelora dan membalutnya secara mental. Ia justru merasa bersemangat, seolah hendak menyambut hari baru yang mencerahkan. Ia sadar ketika pada saatnya nanti menatap jenazah Darsono, sang suami yang politikus itu, ia harus dapat memposisikan diri sebagai istri yang sedang berduka di hadapan para pelayat. Terlebih di hadapan kamera wartawan yang nanti akan saling jepret kiri dan kanan secara berebutan.

Ia akan siap menampakkan aktingnya selama beberapa hari ini, dengan dandanan berkabung dan make up polesan wajah yang nampak muram dan bersedih di hadapan para tamu dan saudara-kerabat yang berdatangan hadir. Tentu hanya dia sendiri yang tahu, bahkan Rahmi anaknya pun tidak akan paham, bahwa di bulan-bulan dan tahun mendatang ia akan dianugerahi kebebasan hidup yang gilang-gemilang, seakan-akan burung yang lepas dari sangkar emas. Dan sekarang, sangkar yang terbuat dari emas itu sudah ada dalam impiannya.

Di tahun-tahun mendatang, ia membayangkan dirinya hidup bukan untuk orang lain. Tetapi, hanya untuk dirinya sendiri. Ia juga tak perlu mengikuti aturan-aturan khusus yang biasa dianut oleh istri-istri politikus yang temperamental macam Darsono suaminya itu. Baginya, kebebasan yang akan diraihnya adalah suatu kemenangan dan anugerah yang sesuai hukum alam yang berlaku. Bukan atas dasar penyimpangan oleh ulah tangan dan perbuatannya sendiri.

“Bebas! Sekarang tubuh dan jiwaku bebas merdeka!” teriaknya di dalam hati.

Dulu, di tahun-tahun awal pernikahannya, ia pernah mengakui dirinya tulus mencintai sang suami, dan akan membantu apapun yang dilakukan suami dalam kiprahnya di dunia politik. Tetapi lama kelamaan, ia semakin berjarak setelah suaminya lebih memenuhi dan melayani kepentingan konstituennya, ketimbang hasrat dan keinginan dirinya pada aksesoris duniawi. Terlebih ketika urusan suaminya semakin menumpuk dengan pihak Bank.

Sebagai politisi ternama, Darsono semakin sibuk dengan urusan sana-sini. Ia mengurusi pembayaran kredit ini-itu, seolah masih tetap menjadi “orang sosialis” yang memenuhi hasrat dan segala keperluan konsituen berikut sanak famili di sekeliling mereka. Padahal, istrinya lebih tahu segalanya. Ia tahu segala keluhan dan kejengkelannya pada sebagian konstituen yang pintar menipu dan mengelabui dirinya dengan dalih banyak persoalan di lapangan, yang konon membutuhkan pengeluaran biaya dan anggaran.

Ya, dulu ia menyatakan setia pada suaminya, bahkan di hadapan teman-teman karibnya pun terang-terangan mengakuinya. Tetapi, ketika sang suami lebih menonjolkan sikap temperamennya, dengan gemar mengungkit-ungkit masa lalu istrinya, juga sikap yang tidak hormat pada mertuanya, kini ia hanya bisa menghitung momen-momen terpenting demi kebebasannya. “Ah, persetan dengan urusan cinta!” kata Ibu Sumarti pada teman-teman karibnya.

Di depan pintu kamar, puterinya Rahmi mengintip dari lubang kunci, seraya mengetuk-ngetuk sambil memanggil ibunya, “Mah… buka pintunya, Mah, kenapa mengurung terus di kamar, nanti Mamah sakit, ayo buka pintunya!”

Sang Ibu segera bercermin, membiarkan rambutnya yang masih tergerai dan mukanya yang kucel terlihat sedih. Pelan-pelan, ia membuka pintu, lalu membisiki anaknya, “Kamu enggak usah khawatir, tenang saja, Mamah enggak apa-apa, kok.”

Ia menyeruak ke tengah saudara-kerabatnya yang sudah berkumpul, sedikit menampakkan senyum untuk menunjukkan sikap ramah kepada para tamu yang melayat. Di pintu depan, ia juga melihat beberapa tamu yang sedang duduk dengan melirik ke arahnya sambil menunjukkan rasa sedih dan penuh empati. Bu Ratna memeluk dirinya dengan air mata membasahi kedua pipinya, tetapi justru Ibu Sumarti menenangkan sahabat karibnya itu, “Ya sudahlah, kalau sudah takdir dan ketentuan Tuhan, mau apa lagi? Kita terima saja kalau memang sudah keputusan Yang di atas.”

Ia terlihat bersemangat seolah menghirup udara segar yang berhembus masuk dari pintu dan jendela yang terbuka. Pikirannya melayang ke hari-hari yang dinanti, tidak lama lagi dari sekarang. Musim hujan mulai datang, rintik-rintik hujan merupakan pertanda yang akan menyambut kemenangannya. Ia membayangkan dirinya sebagai sosok “Nyi Hindun” dalam novel Perasaan Orang Banten, yang masih sanggup menggaet seorang suami tentara yang masih muda umurnya ketimbang sang istri.

Seketika, ia menghaturkan banyak terimakasih kepada para hadirin yang datang, ikut-serta mendoakan, ditambah doa terakhir yang terpenting, agar kita semua diberi kesehatan dan umur panjang yang berkah dan sentosa.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba mobil Darsono datang. Mobil itu diparkir di samping jalan depan rumah, karena tak bisa masuk garasi yang dipenuhi kursi-kursi para pelayat. Ketika Darsono turun dari mobil sambil menenteng tasnya, semua orang terperangah kaget dan terbengong-bengong.

Bukankah Darsono disebutkan namanya dalam kecelakaan pesawat menuju Singapura yang berangkat dari bandara Soekarno-Hatta kemarin sore? Lalu, Darsono siapakah yang disebutkan namanya dalam salah satu siaran teve tersebut?

Ternyata, ada dua nama Darsono yang berangkat ke Singapura dalam penerbangan kemarin, dengan dua pesawat yang berbeda. Dalam pesawat yang mengalami kecelakaan itu adalah Ahmad Darsono, sedangkan dia sendiri bernama Darsono Ismail, yang berarti bukanlah Darsono yang disebutkan dalam salah satu siaran teve tersebut. Rupanya, Ahmad Darsono juga seorang anggota dewan, namun ia hanya bertugas di DPRD tingkat provinsi, dan bukan DPR Pusat.

Ketika Darsono Ismail menyeruak kerumunan orang yang sedang membaca surat Yasin, di depan pintu rumah tiba-tiba anaknya Rahmi berteriak histeris, seraya menghambur dan memeluk sang Ayah tercinta. Sementara Ibu Sumarti istrinya, terperangah dengan tatapan melolong, seakan melihat monster raksasa yang menyembul dari permukaan bumi.

Seketika itu, tubuh Ibu Sumarti terkulai lemas, nafasnya tersengal-sengal seperti suara kuda betina yang meringkik, kemudian tersungkur jatuh ke lantai. Sejam kemudian, pihak rumah sakit menjatuhkan vonis bahwa Ibu Sumarti, istri politikus itu telah meninggal dunia pada pukul 17.47, karena serangan jantung.

Para politisi dan saudara-kerabat yang hadir menduga-duga, bahwa Ibu Sumarti merasa gembira melihat suaminya pulang dan selamat dari musibah kecelakaan pesawat. Tapi, apakah mungkin suatu perasaan gembira bisa membunuh seseorang? []


Penulis:

Indah Noviariesta. Peneliti sastra mutakhir Indonesia, juga pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa). Menulis prosa dan opini di berbagai media nasional, cetak dan online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *