Puisi
Puisi Jun Desember

Puisi Jun Desember

MENGUMPULKAN KESEDIHAN ORANG-ORANG YANG MELINTAS DI DEPAN RUMAH
aku ingin orang-orang yang melintas di depan rumahku menjatuhkan sebanyak-banyaknya kesedihan. saat jalanan mulai lengang aku akan mengumpulkan kesedihan-kesedihan mereka.

di dalam kamar aku mendaur ulang setiap kesedihan mereka menjadi sebuah hiasan dinding, aksesoris, furnitur rumah, peralatan makan, kantong belanja, miniatur kota lengkap dengan hiruk pikuknya, mainan anak-anak, gaun pernikahan, dan lain sebagainya demi keramahan lingkungan.

karena jika kesedihan dibiarkan berserak di jalanan dan menyumbat lajunya air di selokan maka jika musim penghujan tiba; entah seberapa besar kesedihan mampu menenggelamkan kita.

suatu malam, kau mengetuk pintu rumahku dan aku sedang sibuk merajut setiap helai kesedihan diri sendiri. akan aku jadikan sebagai selimut, baju penghangat, atau syal untuk menghangatkan tubuh rindu bila suatu saat masa lalu deras menghujani. tetapi kau datang dengan segala pelukan yang menyudahi berbagai macam kesedihan di dalam dadaku berpuluh-puluh tahun.
(2023)

 

SEBUAH PENGINAPAN DALAM TUBUHKU
rinduku adalah penduduk lokal yang sudah kehilangan rumahnya, sementara luka ialah turis asing yang tak berhenti bertanya padaku mencari sebuah penginapan.

sepi tempat wisata bagi seluruh kata-kata. kubiarkan kata-kata berlibur menikmati akhir pekan sebelum kembali ke kantor sajak dan puisi.

patah hati lagi; kata-kata kembali bekerja, luka sudah menemukan tempat peristirahatan dalam tubuhku, rindu pejalan kaki yang belum menemukan rumahnya.
(2023)

 

KAFE SUNYI
bangku-bangku di kafe itu telah ditinggalkan pengunjungnya. musik yg biasa digaungkan untuk meretakkan labirin-labirin sunyi tak lagi terdengar. aku duduk sendiri dalam temaram lampu, membaca buku menu yang dibiarkan terbuka di atas meja.

tak ada lagi minuman kesukaanku seperti waktu dulu, hanya ada kopi hitam yang tak pernah kupesan sebelumnya. seorang barista yang tersisa menemuiku dan mengantarkan kopi hitam itu. di sudut sana, seorang laki-laki berusia 40 tahunan yang masih betah dengan kesendiriannya sedang termenung menatap layar senyap, karena kafenya yg semakin hari semakin sepi.

semua telah berubah, suasananya tak lagi sama. aku menghirup sunyi yg mengepul dari gelas kopi di hadapanku dan terlalu pekat. kenangan yg tak pernah ditulis dalam menu, menghidangkan rasa yang tak asing. aku menemukanmu dalam sepiring masa lalu yang membuat lambung rinduku tiba-tiba keroncongan.
(2023)

 

SECANGKIR MUSIM
tak terasa, kita telah menghabiskan secangkir musim. langit mulai senja. aku melihat diriku kesepian, tenggelam bersama malam pada tegukan terakhir.

awan berarak dari langit menuju tepian matamu. membawa rinai hujan beserta kenangan kita.

hujan yang jatuh ke bumi; mungkin sebagian adalah rindu yang sejak lama tertampung dalam dadaku, kekasih.
(2023)

 

KATA-KATA YANG TAK SEMPAT MENJADI PUISI
bersama ibu, kata-kata adalah bahan masakan yang dipelihara dan dirawatnya dengan segenap cinta; pagi hari menjelma sarapan, siang hari menjadi makanan berat, dan malam hari sebagai hidangan hangat sebelum tidur.

bersama ayah, kata-kata menjadi tulang punggung yang tak lelah mencari nafkah untuk keluarga. di tengah lamunannya, kerap aku temukan rintihan kata-kata yang bersembunyi di balik asap rokok.

bersamamu kekasih kata-kata adalah puisi dan sajak yang tak sempat kutuliskan, karena kata-kata telah menjadi  air mata sepenuhnya.
(2023)

 

 

KEPADAMU
jangan berlari di gemuruh hujan
nanti kakimu tersandung kenangan
kepalamu terbentur masa lalu.

jangan melamun di persimpangan sepi
nanti tubuhmu terhantam rinduku
yang melaju dengan kecepatan tinggi.

jangan sering menahan kantuk di tengah malam
nanti kantung matamu bertambah dalam
entah sudah berapa banyak luka yang terbenam.

jangan membaca buku puisi sendiri
nanti penyair ini menghantuimu
bersama cintanya yang tak ingin pernah mati.
(2023)

 

HUJAN SEMALAMAN
di luar, hujan menggigil
diterpa angin semalaman

lampu jalan depan rumahmu
menjadi satu-satunya tempat berteduh rindu
dari derasnya air mata

di luar, angin basah kuyup
dilanda hujan semalaman

Batang pohon di halaman rumahmu
menjadi satu-satunya tempat berlindung sunyi
dari buasnya sendu

tubuhku membeku
diselimuti kenangan setiap waktu
(2023)


Penulis:

Jun Desember, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 27 Desember 1996. Bukunya yang telah terbit Cintaku Terlalu Puisi (2020). Puisi-puisinya pernah dimuat di berbagai media online dan bisa ditemukan dalam buku antologi atau di IG: @jun_desember

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *