Resensi Buku
Seksualitas di Tanah Konflik

Seksualitas di Tanah Konflik

Judul Buku: Tak Ada Embusan Angin
Penulis: Aveus Har
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: Oktober 2023
Tebal: 13×19 cm, 182 halaman

Jika ditanya apa yang paling menyenangkan dari membaca sebuah novel, saya akan menjawab kesegaran dalam ceritanya. Kesegaran itu bisa berupa apa saja: bisa sudut pandang, bisa gagasan, atau bisa juga teknik penceritaan. Sebagai sebuah novel, Tak Ada Embusan Angin belum bisa dibilang memiliki teknik penceritaannya juga tidak istimewa. Namun, gagasan yang ditawarkannya tak seperti kebanyakan cerita serupa.

Novel ini mengambil latar peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, yakni konflik GAM-Indonesia. Dengan meminjam suara seorang (anak) perempuan, penulis menceritakan peristiwa-peristiwa yang, menurut Dewan Juri Sayembara Novel DKJ, jarang disentuh dalam karya sastra yang berlatar situasi perang. Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang perempuan bernama Maneh Maulu dari masa kanak-kanak sampai menjadi perempuan dewasa.

Cerita dibuka dengan penggalan informasi dari Aku-narator yang berkata besok dirinya bebas, namun dia tidak terlihat senang. Kebebasan menurutnya sama saja dengan keluar dari penjara yang satu lalu masuk ke penjara yang lain (hal. 11). Reaksi itu menghadirkan pertanyaan tentang apa dan mengapa si narator sampai punya pikiran sesinis itu.

Pandangan sinis memang terasa begitu dominan. Sejak pembuka, pembaca dihadapkan oleh sikap sinis narator terhadap dunianya. Itu membuat cerita menjadi tidak menyenangkan. Apalagi pandangan itu kerap disampaikan secara verbal. Narator terlalu cerewet dalam menyampaikan pikirannya. Beruntungnya, pikiran-pikiran itu disampaikan dengan metafora-metafora yang elegan, seperti ketika dia membahas keadilan: “Sampai sekarang, sampai kapan pun, keadilan hanya serupa lampu sorot yang tidak bisa menerangi seluruh” (hal. 173).

Kesinisan narator pun termaklumi setelah kita mengetahui kisah hidupnya. Perang berkepanjangan membuat Maneh mau tidak mau harus melewati peristiwa-peristiwa yang menorehkan luka pada ingatannya. Sebagai seorang (anak) perempuan yang tumbuh di tanah konflik, Maneh rentan mengalami tindak kekerasan. Tidak hanya menyaksikan pemerkosaan yang menimpa ibunya, Maneh juga mengalaminya sendiri. Bahkan dari orang yang seharusnya menjadi pelindungnya. 

Tidak seperti kebanyakan cerita berlatar perang yang biasanya terkesan maskulin, cerita dalam novel ini memiliki kesan feminin. Selain karena naratornya seorang perempuan, ceritanya memang tidak berpusat pada narasi-narasi besar. Ceritanya berkitar di narasi-narasi kecil yang jarang dibicarakan dalam karya sastra yang menceritakan pengalaman manusia yang hidup di daerah konflik. Seksualitas adalah menu utama dalam novel ini, sesuatu yang sangat tabu jika kita kembalikan pada setting tempat cerita ini.

Ada dua hal seputar seksualitas yang menarik dari novel ini. Pertama, seksualitas anak. Maneh pertama kali mendapatkan pengalaman seksualnya di usia sepuluh tahun. Pengalaman seksual itu dia dapatkan dari Ahmadi, cinta masa kecilnya. Saat itu Maneh sama sekali tidak mengerti apa yang Ahmadi lakukan kepadanya. Tidak ada kebencian, tidak ada trauma, tidak ada kesenangan. Maneh hanya merasa bingung. Kebingungan itu membuatnya merasa “serupa manusia primitif yang pertama kali melihat pesawat terbang” (hal. 22).

Kedua, seksualitas yang meliputi hubungan sesama jenis. Setelah perkosaan demi perkosaan dialaminya, Maneh mengalami trauma. Dia melihat seks sebagai sesuatu yang mengerikan. Lalu datanglah Daud, sahabat Nezar, lelaki yang dulu dicintainya setelah Ahmadi menghilang dari hidupnya. Setelah Maneh dan Nezar tertangkap karena terlibat dengan pihak-pihak yang ingin memerdekakan Aceh, Nezar menghilang. Kemudian Daud menggantikan Nezar menjaga Maneh. Lelaki itu pun menikahi Maneh dan berjanji tidak akan memaksa Maneh untuk berhubungan badan.

Pasangan ini pun menjalani sepuluh tahun tanpa persetubuhan. Lalu ketika Maneh merasa menginginkan tubuh lelaki, Daud malah mengaku dirinya gay. Lelaki itu pun mengungkap fakta yang menampar Maneh, bahwa dia dan Nezar sebenarnya adalah pasangan sesama jenis. Dan Daud pun menceritakan alasan mengapa dia menikahi Maneh: selain karena dia memang menyayangi Maneh, dia melakukan itu untuk bersembunyi dari lingkungan sosial yang tidak bisa menerima orientasi seksualnya. Bagaimana mungkin dia bisa diterima jika tinggal di sebuah daerah yang menerapkan syariah sebagai dasar hukum?

Wacana seksualitas yang dihadirkan dalam novel ini terasa ironis dan menghasilkan tegangan dikarenakan setting tempat cerita ini. Keberanian penulis mengupas selubung tabu berbalut konflik bersenjata merupakan nilai lebih yang membuat novel ini bisa keluar dari cerita-cerita sejenis. (*)


Penulis:

Aliurridha, Penulis; Pengajar Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Terbuka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *