Cerpen
Petak Umpet

Petak Umpet

Seorang ibu sedang tidur-tidur ayam siang-siang bersama anak lelakinya yang masih berusia enam tahun.

“Malaikatku,” si ibu menempelkan keningnya ke kening si anak. “Aku akan menjagamu. Aku akan menjagamu seumur hidupku.”

Si anak menarik kepalanya, lantas menatap si ibu dengan mata berbinar. “Kalau aku hilang,” kata si anak, “apakah Ibu akan mencariku?”

Si ibu memegang kepala si anak. “Kau tahu apa jawabannya.”

Lantas si anak menyingkirkan selimut dan melompat dari tempat tidur. “Ayo kita main petak umpet,” teriak si anak. “Ibu yang jaga dan aku sembunyi. Kita lihat apakah Ibu bisa menemukanku.”

Si ibu bangkit dari tempat tidur dan tersenyum.

Si ibu memejamkan mata dan menghitung sampai dua puluh. Si anak mengendap, membuka pintu depan, lantas meloncat ke halaman dan berlari ke jalanan.

Si anak terus berlari. Sesekali, si anak menengok ke belakang, memeriksa apakah si ibu berhasil menemukannya atau tidak.

Berjam-jam si anak berlari dan terus berlari. Ia sampai di jalan raya yang jauh dari rumahnya. Namun ia terus berlari. Seorang lelaki setengah baya menegurnya, namun si anak tidak peduli. Ia terus berlari dan terus berlari.

Lantas gelap tiba. Dan si anak berhenti dengan napas tersengal.

Si anak melihat sekeliling. Deretan ruko yang ramai. Orang-orang hilir mudik dan deru kendaraan membuatnya sedikit cemas. Ia mendelikkan mata dan memeriksa setiap orang yang lewat, menduga-duga apakah salah satu dari sekian banyak orang yang berada di sana adalah ibunya yang sedang mengawasinya. Bagaimanapun, ini permainan yang serius. Si anak tak ingin membuat ibunya bisa menemukannya dengan gampang.

Pikiran itu membuat si anak memutuskan kembali berlari.

Si anak menabrak seorang perempuan tua dan ia jatuh terjengkang ke belakang.

“Hei…” si perempuan tua berkata. “Kau tak apa? Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini? Di mana ibumu?”

Si anak meringis sedikit, lantas bangkit dengan susah payah sambil menepuk-nepuk lututnya. “Aku sedang bermain petak umpet. Dan ibuku akan menemukanku. Ibuku akan berusaha sangat keras menemukanku. Sebab itulah aku harus terus sembunyi agar aku tak mudah kalah.”

Si perempuan masih akan mengatakan sesuatu, namun si anak sudah kembali berlari.

Menjelang pukul sebelas malam, si anak yang kepayahan merebahkan dirinya di sebuah pos kamling yang sepertinya sudah lama tidak digunakan. Langit-langit pos kamling tersebut penuh jaring laba-laba dan banyak kotoran tikus teronggok di lantai.

Si anak menatap ujung jalan. Dan hanya cahaya dari lampu jalan yang jatuh ke aspal jalan yang bisa ia saksikan. Tak ada orang lewat. Tak ada apa-apa.

Pada waktu itulah si anak menyadari jika ia tersesat. “Di mana aku?” ia menggumam.

Si anak mulai ketakutan. Ia menggigil. Dan ia lapar. Ia merintih. Ia menangis. Ia memanggil-manggil ibunya.

Si anak tertidur karena kecapekan. Ia bangun pagi sekali lantaran udara dingin mencucuki kulitnya. Ia kembali memanggil-manggil ibunya.

Satu dua warga sekitar mulai bangun keluar rumah untuk menjalani aktivitas harian dan mereka melihat si anak.

“Apa yang kau lakukan di sini?” mereka bertanya. “Apa kau tersesat? Di mana ibumu?”

Si bocah meringkuk di sudut pos kamling seperti seekor anjing yang terluka. Ia, bagaimanapun, ingat pesan ibunya agar berhati-hati dengan orang asing. Akan tetapi, ia juga ingat janji ibunya yang akan selalu menjaganya. Ia yakin ibunya akan segera menemukannya. Maka, alih-alih menjawab pertanyaan itu, si anak, setelah meringkuk beberapa saat, lantas tiba-tiba berlari meninggalkan pos kamling beserta beberapa orang yang merubungnya.

Seharian si anak berlari dan terus berlari. Ia memungut makanan dari tempat sampah dan mencuri sepotong roti dari sebuah lapak pinggir jalan. Ia terus berlari seraya menghindari pertanyaan setiap orang. Ia terus berlari, mencari jalan pulang yang entah bagaimana seakan menghilang dari ingatannya, sekaligus berharap ibunya akan segera muncul dan menemukannya.

Namun gelap kembali tiba dan si anak yang kecapekan terkapar di bawah sebatang pohon.

Tidak ada ibunya. Tidak ada.

Si anak menggigil dan menangis. Ia memanggil-manggil ibunya.

Dunia si anak berubah semenjak saat itu. Ia tidak lagi tahu sudah berapa jauh ia berlari. Dan ia tidak pernah tahu di mana ia sedang berada. Ia tetap menghindari orang lain. Dan tuntutan untuk bertahan hidup, membuatnya mengembangkan keterampilan mencuri, mencopet, dan pada akhirnya, baku hantam.

Berkali-kali si bocah remuk ringsek dalam baku hantam. Namun ia adalah seorang anak yang cepat belajar. Pada usia sepuluh tahun, ia berhasil menjadi ketua geng dari sekelompok anak jalanan dengan beberapa anggota lebih tua darinya.

Namun bagaimanapun, ia tidak bisa melupakan ibunya. Ia masih berharap ibunya menemukannya meski kini ia tahu, ia bisa menjaga dirinya sendiri.

Bertahun-tahun kembali berlalu dan si anak kini sudah beranjak dewasa. Ia menguasai beberapa pasar dan terminal. Dan ia bisa mengontrak rumah yang layak huni bersama sejumlah anak buahnya. Dari rumah itu pula, ia menawarkan jasa keamanan, jasa penagihan hutang, dan lain sebagainya.

Ibunya masih saja belum muncul untuk menemukan dan membawanya pulang. Dan itu membikin kecewa si anak. Pada akhirnya, si anak memutuskan untuk mempersetankan ibunya. Ia yakin ibunya tak pernah sungguh-sungguh mencintainya, tak pernah sungguh-sungguh ingin menjaganya. Rasa kecewa itu kini berubah menjadi amarah. Dan si anak memutuskan melupakan si ibu untuk selama-lamanya.

Suatu malam, si anak bermimpi bermain petak umpet dengan ibunya.

“Jika aku hilang,” kata si anak dalam mimpi tersebut, “apakah ibu akan mencariku?”

“Kau tahu apa jawabannya,” kata si ibu sambil tersenyum.

Si anak bangun dengan keringat dingin di kening. Napasnya tersengal. Akibat mimpi itu, kini ia jadi ingat kembali kepada ibunya. Ia marah kepada ibunya. Ia benci kepada ibunya. Ia sangat membenci ibunya yang tidak pernah mencarinya. Kini, rasanya, ia tahu apa jawaban dari pertanyaannya sewaktu kecil yang muncul kembali dalam mimpinya.

“Tidak,” ia menggumam. “Ibu tidak akan mencariku.”

Kebencian kepada ibunya membuat si anak memutuskan untuk membuat perhitungan. Ia mengerahkan seluruh anak buahnya untuk melacak rumah masa kecilnya untuk menemukan ibunya. Itu bukan pekerjaan sulit, mengingat kini ia punya banyak sekali anak buah.

Dua hari setelah perintah itu diturunkan, salah satu anak buahnya memberi alamat itu.

Dan ke sanalah si anak berangkat.

Si anak melihat ibunya telah menunggu di teras rumah.

“Lihat,” kata ibunya, “aku menemukanmu. Kau kalah. Kini giliranmu berjaga.”

Si anak nyaris kehilangan semua kalimat dan kemarahan begitu menemukan bagaimana si ibu menyambutnya.

“Ibu tidak pernah mencariku,” si anak mulai terisak. “Ibu tidak pernah melakukannya.”

“Tapi Ibu memang tidak pernah mengatakan akan mencarimu,” si ibu menjawab. “Kau berhak mencari dan menemukan jalanmu sendiri. Dan kau melakukannya. Lihatlah, kau tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Sangat kuat dan tangguh.”

“Tapi,” si anak mengusap airmata, “Ibu bilang akan menjagaku. Akan selalu menjagaku.”

Si ibu tersenyum. “Ibu melakukannya,” kata si ibu. “Kau tahu Ibu melakukannya. Ibu ada di hatimu. Dan kau tahu kau melakukan segala sesuatu sambil mengingat Ibu. Begitulah cara seorang ibu, Nak. Begitulah cara seorang ibu menjaga anaknya agar tetap hidup.”

Si anak kini menangis.

“Dan kini kau kembali,” kata si ibu. “Seorang anak memang akan selalu kembali ke ibunya, tak peduli sepanjang apa jalan yang ia tempuh.”

Dan mereka menangis bersama-sama.

“Jangan lupa,” kata si ibu, “setelah ini, giliran kau yang berjaga.” []


Penulis:

Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022), Cerita dari Brang Wetan (kumpulan cerpen, 2022), serta Peta Orang Mati (kumpulan cerpen, 2023). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku Cara Kerja Ingatan merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Buku Sapi dan Hantu adalah juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 dan merupakan nominee buku pilihan Tempo 2022. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *