Esai
Tradisi Ziarah dalam Puisi

Tradisi Ziarah dalam Puisi

TRADISI nyadran memberi warna sebagian kehidupsn masyarakat Indonesia. Tradisi ziarah menjadi bagian laku religiositas. Kekuatan imajinasi para penyair telah menangkap tradisi ziarah itu dan mencipta puisi yang menyampaikan pesan kompleksitas makna di dalamnya. Berkembanglah beberapa tafsir puisi yang mengangkat masalah ziarah, kadang menyentuh hal-hal yang transenden.  

Saya menemukan beberapa penyair yang mengangkat tradisi ziarah sebagai obsesi penciptaan, untuk mengagungkan leluhur seperti ditulis A. Hasjmy dalam puisi “Di Makam Ibunda”. Penyair Ridwan Siregar menulis puisi “Di Pusara Bapa”  untuk mengekspresikan tradisi ziarah pada makam leluhur yang mewariskan nilai keteladanan hidup. D. Zawawi Imron menulis puisi “Ziarah” untuk mengenang kebesaran seorang tokoh sejarah. Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Ziarah” mengenai penolakan terhadap tradisi mistis ziarah. Kehadiran Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi “Perjalanan Kubur” lebih banyak menyingkap paradoks suasana hati manusia saat ziarah kubur.     

Bagi penyair, ziarah memiliki berbagai makna yang beragam, sesuai dengan pandangan mereka. Ziarah bukan hanya sekadar sebuah tradisi yang disakralkan untuk memuja leluhur, tetapi mereka mengekspresikan berbagai makna secara personal, dengan renungan dan kejutannya masing-masing. Lima penyair yang saya kemukakan dalam tulisan ini memiliki ketajaman batin yang berbeda untuk menyingkap rahasia ziarah, sebagai suatu keadaan yang membawa kesadaran kemanusiaan, sosial, dan kultural. Kesadaran ini menjadi menarik untuk saya bicarakan secara lebih mendalam.

***

LATAR pendidikan penyair A. Hasjmy yang bersekolah Thawalib di Padang Panjang, lalu mengajar di Perguruan Islam Seulimeum, memberi warna puisi yang diciptakannya mengenai ziarah kubur.   Puisi “Di Makam Ibunda” menyingkap pengalaman transenden tentang kematian, penyerahan diri pada Sang Pencipta, dan menyadari betapa harta dunia tiada berguna di alam kubur. Hanya amal yang menjadi kawan seseorang di alam kubur. Penyair mengekspresikap pesan religi ke dalam larik puisi sebagai berikut: “Terkenang betapa untungku nanti/ Kalau badan masuk kuburan/ Berselimut kafan kain putih/ Pada siapa kuserahkan diri/ Selain kepada Malikur Rahman/ Di mana, tempat memohon kasih// Harta dunia tiada berguna/ Tinggal percuma permata intan/ Ia tak perlu di dalam kubur/ Hanya bukti amalan mulia/ Membawa kekal kesenangan/ Menjadi kawan teman penghibur//.

Kehadiran penyair Ridwan Siregar, kakak kandung pengarang Sori Siregar, masih setara dengan A. Hasjmy dalam memandang tradisi ziarah terhadap leluhur. Dalam puisi “Di Pusara Bapa”, penyair memandang leluhur sebagai simbol kehormatan hidup keturunannya. Ziarah telah memberikan kesadaran tentang patriotisme, kecintaan terhadap tanah air. Ziarah menyusupkan kisah pengorbanan prajurit yang meninggal dalam pertempuran dengan mengabaikan perjalanan kehidupan cintanya pada seseorang: “malam yang tekun menjaga pusara bapa/ menyejuk hening dada pada cerita selama usianya/ dan sesaat terasalah akan hidup yang punya harga// anaknya pernah berlinang air mata, sayu/ pandangnya ke muka/ di telinga nyanyian redup prajurit mati kelu-kelu/ berantakan cintanya membuat ia memendam rasa//.    

Puisi “Ziarah”, dalam penciptaan penyair D. Zawawi Imran, ditujukan pada tokoh karismatik Sultan Hasanuddin, pahlawan nasional dari Gowa, seorang mursyid tarekat.  Kesadaran bahwa manusia serupa “debu” ketika berziarah di makam tokoh Sultan Hasanuddin, menyebabkan penyair mencari makna cahaya penerang dari kembang-kembang yang ditaburkan ke makam. Jiwa kepahlawanan Sultan Hasanuddin bangkit dalam spiritualitas para peziarah, sampai kelak saatnya manusia dibangkitkan dari alam kubur. Penyair memanfaatkan beberapa simbol dan metafora untuk memberi makna tradisi ziarah itu sebagai berikut: “Ah, debu juga namanya/ yang mengabarkan ziarah itu/ Siang jadi berarti/ dalam busukan kembang-kembang// Badik yang tidur akan bangun/ hanya menunggu Sangkakala//.

Sapardi Djoko Damono menghadirkan puisi tentang ziarah dengan kekuatan filosofi yang memberi etos kehidupan mutakhir, dalam memandang tradisi. Dalam puisi “Ziarah” yang diciptakannya, penyair menafikan tradisi mistis membakar kemenyan dan menabur bunga-bunga. Ia menyampaikan satire bahwa orang berziarah untuk mencipta  rencana-rencana sekuler  yang menyebabkan berperilaku sombong.  Sesungguhnya  para penyiarah hanya memahami mitos leluhur dari dongeng orang tua, yang membangkitkan harapan-harapan baru yang terus berkembang, sebagaimana larik berikut ini: “Kita tak membawa apa-apa. Kita/ tak membawa kemenyan ataupun bunga-bunga/ kecuali seberkas rencana-rencana kecil/ (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk/ kita sombongkan kepada mereka/… Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka/ ibu-bapa kita yang mendongeng/ tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu/ tanpa menyebut-nyebut nama/ Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita/ kenangan yang membuat kita merasa/ pernah ada”.   

Dengan kredo puisi membebaskan kata dari penjajahan pengertian dan beban ide, Sutardji Calzoum Bachri mencipta puisi “Perjalanan Kubur”. Imajinasi yang dimunculkannya memecahkan kemampatan, kerutinan, dan mengalirkan pandangan segar mengenai ziarah. Ia mencipta paradoks dalam memandang kematian, kubur, dan ziarah. Antara luka dan keindahan, antara kebusukan dan petualangan hidup manusia, tersingkap dalam ziarah. Dalam sebuah kubur dapat kita temukan pemahaman pada diri sendiri, spiritualitas, duka, cahaya,  romantisme, dan penderitaan hidup. Dari larik-larik puisi berikut ini ia menyingkap paradoks ziarah: “luka ngucap dalam badan/ kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ ke bintang bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/untuk kuburmu alina// untuk kuburmu alina/ aku menggaligali sungaisungai mengibarkan bendera hitam/ menyeka materi membujuk bulan/ teguk tangismu alina//.      

***

LIMA puisi yang mengangkat tema ziarah kubur tersirat akan  kesadaran tentang kematian, menjalani hidup secara zuhud, membangkitkan nasionalisme, religiusitas, dan  transendensi. Tak satu pun penyair yang mengajarkan untuk menyembah kuburan, memitoskan makam, dan berlaku syirik.  Bahkan D. Zawawi Imran masih tetap sadar, meskipun seorang pahlawan nasional sekalipun  dimetaforakan sebagai “debu” di hadapan kekuasaan Sang Pencipta.

Dua penyair, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, menawarkan pandangan-pandangan yang membuka kebekuan tradisi ziarah. Bagi Sapardi Djoko Damono, ziarah menafikan membakar kemenyan, menabur bunga-bunga, dan berlaku sombong dengan rencana-rencana sekuler manusia. Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri secara paradoks  memandang ziarah kubur sebagai bagian menemukan diri sendiri, spiritualitas, duka, cahaya,  romantisme, dan penderitaan hidup. Puisinya menjadi bermakna karena ia membebaskan belenggu tradisi dalam ziarah kubur. []


Penulis:

Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit  Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.  Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022) dan Anak Panah Dewa (Penerbit Nomina, 2022).        

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *