Resensi Buku
Yoemi Noor dan Dua Gelombang dalam Sepotong Hati

Yoemi Noor dan Dua Gelombang dalam Sepotong Hati

Judul buku      : Sepotong Hati
Penulis             : Yoemi Noor
Penerbit           : CV Catur Media Gemilang
Tahun              : Agustus, 2021
Tebal               : 99 halaman
ISBN               : 978-623-6439-14-2

Perjalanan sastra dan karya sastra tidak berhenti—mati setelah kepergian senior-seniornya. Di tahun 2000, 2010, 2020-an hingga ke kini perpuisian Indonesia, misalnya, semakin berkecambah. Anak-anak puisi menggelar layar keaksaraan berbahasa ekspresif yang manis. Puisi-puisi mereka tergolong puisi kamar. Tidak banyak anak-anak puisi seperti Sapardi Djoko Darmono, Sang Tetua Puisi romantis. Atau, Mustofa Bisri yang spiritualis. Chairil Anwar yang elegis, Taufik Ismail didatis, atau bahkan Joko Pinurba yang dramatis.

Meski begitu, tidak menutupkemungkinan puisi kamar miskin pesan. Pesan puisi disampaikan secara terang-terangan. Pesan kata-kata—nasihat langit berimigrasi ke bumi. Berhembus, lalu bertengger di ranting-ranting pohon jiwa. ‘kata-kata’ adalah pesan itu. Efek empiris dikemas realistis. Sesuatu yang dipetik berpendekatan subjektivitas.

Yoemi Noor adalah bagian dari anak puisi. Lahir dan melahirkan kata-kata. Sabda-sabdanya, tamsil kehidupan. Noor berusaha sadar untuk merekam kehidupan sebagaimana pesan Pram, menulis untuk keabadiaan. Drama kehidupan memimikri berbentuk aksara untuk dikenang.

Sepotong Hati, tidak lain kumpulan puisi Yoemi Noor kedua setelah Kidung Sunyi (Guapedia, 2021). Hebat, dalam setahun penulis asal Ponorogo (1989) mampu menerbitkan dua buku kumpulan puisi sekaligus. Perjalanan menulis didukung oleh pendidikannya jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Ponorogo. Lewat dua buku tersebut ia membuktikan segala hal patut dikenang. Sekali pun pengalaman kurang menyenangkan—urusan asmara, misalnya.

Bersamaan sabda-sabdanya, Yoemi mengajak menepi. Menikmati dan merasakan kesepian hingga timbul kesunyian. Kesunyian yang mengabarkan rindu, meski rindu menitipkan luka. Lewat gaya pengungkapan melankolis, Sepotong Hati beraroma kebucinan. Kandungan puisi menembus lembah jiwa pembaca untuk menikmati segala bentuk cerita dan cinta.

Noor membayar lunas bisikan kalbu ke dalam 70 judul puisi. Tanpa sadar, kata ‘cinta’, ‘rindu’ dan ‘luka’ menghias setiap judul-judulnya. Barangkali, memang benar seperti ditulis pada sampul belakang bahwa kisah percintaan tidak lain pencampuran senyawa luka dan rindu. Proses kreatif semacam itu juga dilakukan dalam bukunya Kidung Sunyi. Kata ‘sunyi’ mengakrabi hampir kesemua judul puisi.

Tafsir cinta bermukim atas kecintaan terhadap Tuhan, diri sendiri, orang tua, kekasih, hingga pada makhluk lainnya. Bahasa metaforis yang liris meminjam tutur ber-‘aku’. Sebuah jurus pencengkeramaan untuk menancap jiwa. Lebih-lebih, hasrat kehidupan berbentuk pencarian atas definisi bahagia. Ditulisnya dalam judul puisi “Sepotong Hati”, /namun pada akhirnya kita tersenyum bahagia// (hal. 78).

Bahagia sungguhlah keniscayaan buah dari perjuangan. Sekali pun kegagalan melumat, tapi perlu disyukuri dengan senyuman. Teramat sederhana, kebahagiaan bagi Noor bukanlah sebuah keutuhan materialistik. Cinta bukan lagi memandang kebendaan yang sifatnya fana. Mimpi dan harap itu bisa jadi ada, sebagaimana pada judul puisi “Rinai Rasa”. /ungkapan cinta dan harapan tanpa kata// (hal.14). Atau, puisi “Malam Purnama” yang dikemas, //aku menatapmu/bulan bundar sempurna/jemariku menggapai/menghitung jumlah mimpi/yang kupahat di tubuhmu/aku masih sendiri// (hal.18).

Noor di sini tidak ingin ingkar akan ketidaksempurnaan. Ia memilih dan memutuskan mengungsikan diri dari dua gelombang luka dan rindu bersama sisa harapan. /kurangkai bersama wirid doa dan lembar harapan/ kugenggam untuk kusematkan/mengganti setangkai senyum yang kucuri/dari wajahmu tempo hari// (hal.15) pada judul puisi “Senyum di Wajahmu”.

Sebagai penulis perempuan, Yoemi berusaha berkisah bagaimana perempuan berjuang menghadapi dan menyikapi luka dan rindu. Potongan-potongan hati mendebarkan meminta bersatu untuk mencapai sebuah angan atas impian. Pembaca dapat merasakan bagaimana penulis membubuhi segalanya lewat pendekatan hati. Semua hal bergerak, dan tergerakkan oleh hati. Oleh karenanya, Sepotong Hati, tidak lain subjektivitas penulis terhadap bahasa kalbu.

Dalam buku Psikologi Sastra (2010), Minderop mengatakan karya mencerminkan seorang pengarang. Terbukti ketika membaca Sepotong Hati mencerminkan gejolak jiwa penulis setelah mendapati. Kehidupan dalam urusan percintaan tidak semulus jalan pikir dan angan. Perencanaan bisa jadi melesat, seperti anak panah.

Setebal 99 halaman sabda-sabda Yoemi mengingatkan akan Saussure. Bahasa puisi bak ‘rumah penyimpanan kata dan frase’, dan kalimat sebagai hasil dari aktivitas yang bebas dan kreatif. Bahasa perpuisian, tempat nyaman bagi sang metafora itu sendiri. Makna bersembunyi di balik pemilihan bahasa.

Begitu kata per kata dimainkan estetis, begitu apik menggigit, sehingga puisi yang serupa narasi dan dialog mengalir bagai air. Sajian pesan tersampaikan sebagaimana judul puisi “Lukisan di Matamu”. Puisi ini meminjam efek metafora terkemas seperti: //dalam bola matamu/kulihat banyak kanvas berjajar/lukisan-lukisan mahakarya/dibuat dengan tinta darah dan air mata/abstrak, surealisme, ekspresionisme, fauvisme/bercampur menjadi satu// (hal.39).

Makna lukisan, bukanlah sebuah karya bergambar. Lukisan adalah reklame kehidupan. Kehidupan yang dipotret berdasarkan realitas subjektivitas penulis. Bilamana karya-karya sastra bersifat eskapisme, bukanlah bentuk pelarian dari kenyataan.

Karenanya, sabda-sabda Noor sebentuk pelepasan. Kesepian yang melahirkan kesunyian bukanlah sebuah harapan. Begitu pula tiang-tiang luka berselimut rindu. Yang ada hanyalah kelahiran kebencian yang sempurna (hal.49).

Pada puisi “Sebuah Kebenciaan” adalah keputusan atas keputusasaan. Penerimaan terhadap luka dan waktu yang semakin sunyi. Yoemi menyambut senja, atas kepergian mentari (senyum). Kemudian, sesekali datang hujan mengantarkan paket rindu. Noor mengenang cinta dan ingatan. Lalu kembali melahap kesunyian. Sebuah kisah pada judul puisi “Selepas Hujan”.

Lebih dari puisi roman, Noor menyajikan racikan balada cinta bersemat rindu dan luka. Noor mencoba mengklarifikasi pengalaman hidupnya ke dalam liris. Sekaligus, berusaha bangkit dari jebakan murka luka dan rindu. Sebuah diksi yang sulit untuk dipataskan. Rindu dan luka. Barangkali keduanya berpagutan dalam sebuah perangkap yang namanya cinta.[]


Penulis:

Suci Ayu Latifah. Penulis, asal Ponorogo. Tulisan termuat di berbagai media. Sekarang konsentrasi di program magister, sekaligus mengajar di STKIP PGRI Ponorogo.

1 thought on “Yoemi Noor dan Dua Gelombang dalam Sepotong Hati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *