Puisi, Konkretisasi, Abjeksi

“Ingat, hakikat puisi adalah konkretisasi, bukan abstraksi.”
(Joko Pinurbo)
Kutipan pembuka itu, adalah penekanan yang kerap direpetisi oleh Joko Pinurbo dalam sejumlah kesempatan berbeda. Dan ya, ingatan pada kutipan itu pula yang tiba-tiba mampir, tatkala saya berhadapan dengan sedikit catatan Iin Farliani di sampul belakang buku terbarunya: kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (Basabasi, 2022).

“Darah” di Atas Kanvas Penceritaan Prosa

Telah jadi wawasan klise di dunia penulisan sastra, bahwa teks dan konteks merupakan dua sumber utama penggarapan karya bagi seorang pengarang–dalam hal ini baik penyair sebagai produsen dalam bidang puisi, cerpenis dan novelis dalam bidang prosa, maupun penulis naskah dalam bidang drama. Teks yang dimaksud bisa merujuk pada teks-teks yang telah terhampar sebelumnya, baik itu teks-teks sejarah, film-film dokumenter, sejumlah berita yang dimuat media massa, karya-karya sastra dari pengarang pendahulu, dan seterusnya.

Membaca Ōe: Diskursus Abnormalitas, Transparent Heroes, dan Rasa Kemanusiaan Kita

Cerita dimulai dengan sajian adegan pelemparan seorang lelaki bertubuh gendut, nyaris ke dalam kandang seekor beruang di kebun binatang, di Kota Tokyo, Jepang, dengan penanda waktu pagi hari, pada musim dingin. Secara tiba-tiba, narator kemudian menggeser pembicaraan pada kondisi psikis tokoh tersebut: ia, akhirnya terbebas dari belenggu obsesi lama. Obsesi apakah yang dimaksud?