Petak Umpet
Seorang ibu sedang tidur-tidur ayam siang-siang bersama anak lelakinya yang masih berusia enam tahun.
“Malaikatku,” si ibu menempelkan keningnya ke kening si anak. “Aku akan menjagamu. Aku akan menjagamu seumur hidupku.”
Seorang ibu sedang tidur-tidur ayam siang-siang bersama anak lelakinya yang masih berusia enam tahun.
“Malaikatku,” si ibu menempelkan keningnya ke kening si anak. “Aku akan menjagamu. Aku akan menjagamu seumur hidupku.”
Berita tentang kecelakaan pesawat yang ditayangkan salah satu siaran teve cukup menghebohkan bagi keluarga Ibu Sumarti. Rahmi, salah seorang puterinya menyampaikan kabar duka itu dengan suara terbata-bata.
Wajah ibu yang berkata dalam hape itu menyiksa batinku. “Pulanglah Nak, tinggallah di kampung, aku merindukanmu. Aku ingin bersamamu beberapa hari sebelum ajal menjemputku,” ia merasa kematiannya sudah dekat, membuatku ketakutan.
Salindri tersentak ketika matanya beradu pandang dengan sepasang mata kucing hitam. Sebelumnya tak ia sadari kalau di bawah pohon mulwa itu ada seekor kucing, sampai ia mendengar suara meongnya yang lirih namun parau.
Enak saja, duitku kamu belikan rokok. Itu sama dengan kamu membakar uang. Merokok sama dengan membakar uang, Buyung.
Iseng. Iseng belaka. Tak lebih dari itu. Aku tak menduga keisengan itu bakal tumbuh jadi perkara gawat, yang membuat rambutku rontok, nyaris tiap detik, hingga kepalaku botak, hanya menyisakan kulit, membuat sebagian besar orang memanggilku Mas Onde-onde. Panggilan yang membuat kegawatan itu kian memperparah botakku.
“Jika aku tak dapat menjadi seorang penegak keadilan di masa ini, maka aku akan menjadi penegak kejahatan! Penegak kejahatan paling bengis!”
Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra;
Seorang pria mengalami mimpi buruk yang melibatkan seekor buaya berulang kali. Dan setiap kalinya, ia selalu terbangun dengan keringat dingin di kening.
Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”