Petak Umpet

Seorang ibu sedang tidur-tidur ayam siang-siang bersama anak lelakinya yang masih berusia enam tahun.

“Malaikatku,” si ibu menempelkan keningnya ke kening si anak. “Aku akan menjagamu. Aku akan menjagamu seumur hidupku.”

Berada dalam Kubur

Wajah ibu yang berkata dalam hape itu menyiksa batinku. “Pulanglah Nak, tinggallah di kampung,  aku merindukanmu. Aku ingin bersamamu beberapa hari sebelum ajal menjemputku,” ia merasa kematiannya sudah dekat, membuatku ketakutan.

Nomor Telepon Lama Yang Aktif Kembali

Iseng. Iseng belaka. Tak lebih dari itu. Aku tak menduga keisengan itu bakal tumbuh jadi perkara gawat, yang membuat rambutku rontok, nyaris tiap detik, hingga kepalaku botak, hanya menyisakan kulit, membuat sebagian besar orang memanggilku Mas Onde-onde. Panggilan yang membuat kegawatan itu kian memperparah botakku.

Sontani dan Sunyi Bumi

Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra;

Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”