Sontani dan Sunyi Bumi

Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra;

Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”

Penumpang Gelap

Ketika Pak Nandar sedang menasihati anak semata wayangnya, sang anak malah asyik mengutak-atik ponsel baru yang dibelikan ibunya. Ia khawatir, anaknya yang masih kelas tiga SMP itu membuka-buka aplikasi atau berbagai situs dan iklan yang kurang pantas dilihat anak-anak seusianya. Kalau sebatas platform yang terkait dengan pelajaran di sekolahnya sih enggak apa-apa.

Penunggu Pohon Randu

Mereka mengambil jalan pintas agar lebih cepat tiba di lapangan afdeling. Baru saja beberapa langkah menapaki jalan setapak itu, Pingi mulai berjoget dengan memutar-mutar senter di atas kepalanya seraya menirukan penggalan lagu dangdut yang terdengar semakin jelas dari pengeras suara.