Kafkaesque dalam Prosa Hiroko Oyamada

Kafkaesque dikenal publik sastra setelah penulis Jerman, Franz Kafka, merilis novela fenomenalnya itu, The Metamorphosis (1915) disusul karya lainnya seperti The Trial (1925). Istihal ini dipahami sebagai jiwa kritis Kafka yang ditiupkan dalam karya-karya, yang digambarkan dengan situasi buntu, menjebak, dan menekan tokoh-tokoh ceritanya.

Belajar dari Upaya Menerbitkan Buku Sendiri

Borges datang membawa puluhan buku puisinya—menurut pengakuan Borges, kira-kira sekitar 50 hingga 100 buah—ke salah seorang kawan, lalu memintanya untuk membagikannya secara gratis kepada orang yang berkunjung di tempatnya. Di tempat itu, ada banyak pembaca yang kerap datang dan menggantung mantel di tempat yang disediakan, saat itulah Borges berharap kepada kawannya, agar buku puisinya diselipkan di mantel para pengunjung.

Simbol-Simbol di Antara Anonimnya Tokoh-Tokoh

Perang selalu diidentikkan dengan semangat heroik, sebuah tugas suci yang membawa harum nama prajurit di medan perang dan membawa kembali nama harum sebuah bangsa yang telah berhasil memenangkan perang itu. Perang di hadapan pemerintah dan segenap institusi yang melegalkannya adalah tugas agung yang membayar nyawa-nyawa di medan perang dengan tugu kehormatan dan museum-museum peringatan.

Transendensi Narasi Lebaran

TIGA cerpen Triyanto Triwikromo, “Seperti Gerimis Meruncing Merah”, “Sayap Kabut Sultan Ngamid” dan “Malaikat Tanah Asal” menjadi sangat menarik di antara cerpen Celeng Satu Celeng Semua (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Tiga cerpen itu berlatar Lebaran, dan menyingkap tabir transendensi dalam narasi fiksi. Hampir semua cerpen dalam buku ini menyingkap transendensi dengan kekuatan filosofi, imaji, dan struktur narasi.

Dunia Pelangi di Ranah Literasi

Isu seputar Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) sempat mencuat dan menggemparkan publik, khususnya di media sosial. Perbincangan ini menjadi viral karena banyak warganet, terutama yang kontra, menambah kepopulerannya dengan membagikan berita dilengkapi hastag seperti #tolaklgbt.

Realisme Lusuh

Aktivitas mengakrabi puisi sudah membawa saya bertamasya ke lorong-lorong yang tak pernah terbayangkan, lorong-lorong yang barangkali muskil bagi orang lain. Ada banyak kenikmatan artistik di sana. Di antara lorong-lorong itu, ada satu yang membuat saya bergidik ngeri, ingin menutup mata, mual-mual dan nyaris muntah.

Paradoks Mitos dan Spiritualitas

DARI buku antologi  Tjahjono Widijanto, Penakwil Sunyi di Jalan-Jalan Api (Pagan Press, 2018), saya menemukan puisi-puisi paradoks antara mitos dan  spiritualitas.  Latar kultur penyair yang memiliki keterlibatan pada berbagai mitos telah membuka mata air penciptaan yang bermuatan spiritualitas. Tentu saja, ia menyusupkan imaji, membangun kontemplasi, dan melakukan ekplorasi diksi untuk mencipta puisi-puisi liris tentang paradoks mitos dan spiritualitas itu.

Pertarungan dan Sihir Bahasa di Era 4.0

Semenjak linguistik dikenal sebagai sebuah ilmu, bahasa berada pada dua ketegangan perdebatan dan keterbelahan. Belahan pertama memandang bahasa sebagai sebatas alat dan mereduksinya menjadi sekadar perkara gramatika. Belahan kedua, aliran yang memandang bahasa bukan semata-mata persoalan gramatikal tetapi juga refleksi kategori-kategori mental kognitif manusia dan zamannya.

Hidup Itu Mampir ‘Dolanan’

ANDREW Greely (2012) pernah menggemakan kembali suara Shakespeare yang mengatakan bahwa dunia adalah tempat bermain yang diperuntukkan untuk manusia. Hal yang serupa pun diungkapkan Plato berpuluh tahun sebelumnya yang mengatakan bahwa kita boleh membayangkan, bahwa tiap-tiap manusia adalah boneka yang dibuat oleh dewa-dewa, mungkin dibuat sebagai sebuah permainan, atau mungkin permainan yang dibuat dengan sangat serius.