Puisi Galuh Ayara
di bawah lampu jalan
tubuhku beku seperti patung
tapi dadaku bergoncang
di bawah lampu jalan
tubuhku beku seperti patung
tapi dadaku bergoncang
pertemuan itu menyudutkan waktu, dan menjadikannya perahu.
meleburi air mata jadi lautan paling dalam.
Usia-usia ini, berdiri.
Jadi mawar, violet di segala musim.
Di kening, sebuah peta
Kata-kata jadi poster, pada pohon literasi Sekolah. Namun ujung jari kaku seketika, saat perayaan mulai tiba, kata-kata mulai liar. Berloncatan sepanjang gedung-gedung, meleleh bagai cat yang mulai dioleskan.
Kini kita masih di depan Laptop, mengetik keinginan hampa!
ini tanggal berapa? apakah ini hari selasa?
konon ini adalah hari yang bahagia untuk mati.
matahari masih remang enggan beranjak menuju pagi
aroma kopi meruap keluar dari cangkir.
nama seniman yang kukenali, tetapi,
siapa yang tahu apa yang terjadi saat cat tumpah?
kini anak-anak tak lagi dibekali ikan asin,
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
1. Sebuah garis berangkat menuju yang bukan pulang Dan yang terputus-putus dari kemarin atau sedikit shoegaze ringan setelah Frankenstein dan menangis untuk ingatan tentang buah di tengah meja Kau diam dan telanjangUntuk lurus dan bayangan-bayangan yang terlipat, yang penggaris dan lonceng pagar 2. Besok dan sesekali menjadi biru Pembatas —mana yang bukan jalan menuju percakapan atau sesekali meraba ubun tuhan. […]
Bau hutan menguar. Matahari masih tertutup kabut. Langkah
mendaki menelusuri jalan setapak. Embun. Debar dada
Dedaunan kuning berguguran. Kenyataan. Menakik getah
Serupa menjerit ia toreh kulit pohon pinus. Bertahun-tahun
: “Aku serahkan segalanya, usia dan doa-doa, penyair!”
Telinga mereka disulap seperti
air pusaran. Ada banyak yang
mesti dihisap ke dasar ingatan
yang sesak penuh hafalan.
Mereka lupa cara bertanya