Puisi Ngadi Nugroho
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
1. Sebuah garis berangkat menuju yang bukan pulang Dan yang terputus-putus dari kemarin atau sedikit shoegaze ringan setelah Frankenstein dan menangis untuk ingatan tentang buah di tengah meja Kau diam dan telanjangUntuk lurus dan bayangan-bayangan yang terlipat, yang penggaris dan lonceng pagar 2. Besok dan sesekali menjadi biru Pembatas —mana yang bukan jalan menuju percakapan atau sesekali meraba ubun tuhan. […]
Bau hutan menguar. Matahari masih tertutup kabut. Langkah
mendaki menelusuri jalan setapak. Embun. Debar dada
Dedaunan kuning berguguran. Kenyataan. Menakik getah
Serupa menjerit ia toreh kulit pohon pinus. Bertahun-tahun
: “Aku serahkan segalanya, usia dan doa-doa, penyair!”
Telinga mereka disulap seperti
air pusaran. Ada banyak yang
mesti dihisap ke dasar ingatan
yang sesak penuh hafalan.
Mereka lupa cara bertanya
Sekali waktu, aku menemukan pemikiran ibu
tertulis rapi di lembar-lembar buku tua
di mana ibu, menyuruhku memelihara ingin
dalam saku baju sekolah dalam bentuk rupiah
sebab ibu tahu, aku kerap berkidung lapar
rindu membeli sesuatu.
Sejak Juli 1995, hujan masih terus pecah ke Srebrenica dan Sarajevo.
Sebuah tugu peringatan, dan aroma luka tanah Potocari
telah sama-sama meneruskan kesedihan
Kita selalu
meninggalkan jejak:
pada dinding-dinding,
pada pintu-pintu yang tertutup.
Kemurnian langit masih sudi menurunkan hujan deras pada tanah.
Mata malam: sepasang karnivora yang mengintai anak domba,
bagai tikaman pada pengurbanan tanah lembah yang
berubah merah,
Di pucuk Daun Kencana
aku takzim dan salik
di sir batas terang dan gelap.
sebab kemiskinan sering
berdering di saluran listrik.
maka setrika tidak boleh
dinyalakan.