Puisi Eko Setyawan
telah dibangun sunyi di tengah keriuhan kota,
ketika waktu tiba-tiba beku dan tak menyisakan apa pun
selain ingatan yang mulai pudar.
telah dibangun sunyi di tengah keriuhan kota,
ketika waktu tiba-tiba beku dan tak menyisakan apa pun
selain ingatan yang mulai pudar.
Kota yang dibangun dari serangkaian peristiwa. Tanah kering dan beton-beton berbau pesing. Awan putih dipulun asap dan kabut, wajah gunung kerap lenyap sewaktu siang. Bagai mimpi buruk yang meloncat keluar dari tempat tidur kita, Dinda.
menganga sudah bibirku robek dikoyak nestapa
lolong anjing persis perihal getar rangka tubuh
yang separuh rubuh hilang kaki, mata merabun
–– ketika segenap kekelaman tiba ––
Pada punggungnya yang belang-belang,
ada haudah yang terbuat dari keringat
dan akar-akar tubuh yang menjalar dengan
kuat untuk membawa seorang perempuan
renta mengunjungi rumah tuhan.
sebab setelah pagar tanaman ini
adalah padang yang luas
dan perjalanan yang panjang
ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,
sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela
kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk
kadang kuingin dari matamu ia menyembul, sebagai sarang untuk segala hewan malam.
Kita barangkali lupa menata kembali buku-buku paket berisi tebusan usia
Sebab kita hanya sibuk mencatat dan mengisi bangku-bangku kosong tempat kita bercerita
aku terlambat sampai di pikiranmu
karena ada kemacetan parah
di rute penafsiran yang dikerubut asap
waswas dan fobia pada banyak variabel
yang hendak menyusun sebuah formula
persamaan dengan sedikit penyesuaian
Dem, aku lahir dari lunta ke lunta. ini kali pertama aku keluar dari diri,
nyampir di kotamu, sebab kudengar wali-wali betapa keramat di sini,
sebelum kiamat berikan aku Roro Gending, sesuap pun tak apa,