Penerjemahan Sastra, Upaya Sinau, dan Urun yang Amat Berarti

Urun hasil terjemahan sastra amat berarti bagi perkembangan ekosistem sastra kita. Karya-karya sastra sekaliber peraih penghargaan nobel sastra dunia patut ditilik untuk sinau. Laku penerjemahan pun menjadi ikhtiar menimba kearifan di balik semesta sastra dunia agar khalayak dapat sinau dengan baik. Kerja-kerja mulia itu menuntut kesabaran dan mesti bersetia pada proses. Biar bagaimanapun, kita perlu sinau pada karya sastra dunia berpamrih pemajuan sastra Indonesia.

Suara Perempuan dalam Realisme Psikologis

Modernisme bekerja atas dua atau tiga dasar pikiran besar. Pertama, gagasan sains relativitas Einstein, dan kedua, gagasan psikologis Erns Macht tentang struktur fundamental pikiran dan pengalaman subjektif manusia, serta gagasan Sigmund Freud bahwa semua realitas subjektif didasarkan pada permainan dorongan dan naluri dasar, yang melaluinya dunia luar dirasakan. Sastra modern adalah bagian dari antitesis dari sastra abad 19, ‘realisme’ yang berangkat dari kesadaran individu menghayati masalah kemanusiaanya. Maka, berangkat dari tesis Ernst Mach dan Sigmund Freud dan juga Albert Einstein di atas, sastra modern mencoba meresonansi suara manusia dari dalam. Selain melahirkan ciri individual, sastra modern bekerja atas keyakinan eksperimen atas bentuk estetika.

Rekreasi dalam Kata

Bagaimana membayangkan dua penyair menuliskan puisi-puisi mereka dalam satu buku? Inilah yang terjadi, sebuah buku kolaborasi yang mengajak berekreasi ke pelbagai tempat, tema, dan imaji. Membaca kumpulan ini seperti sebuah tanya-jawab, yang ditelurkan menjadi kelindan diksi, menguatkan ingatan, juga sahut-menyahut yang nyata terhadap sebuah tema besar.

Yang ‘Sekadar’ Camus

Pada masa 1950-an, intelektual dan seniman yang bergiat di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) disibukan dengan pengembangan tradisi realisme dalam teater seperti di negara-negara Barat. Asrul Sani yang merupakan pelopor melakukan lawatan ke Eropa. Dari sana, ia menulis sepucuk surat yang dimuat dalam sebuah majalah Zenith, tentang apa yang dialaminya.

Pengalaman, Puisi, dan Sejumlah Bacaan

Pada mulanya, adalah membaca. Penegasan itu disematkan selintas oleh penulis lewat dua paragraf blurb di halaman belakang buku. Kegiatan membaca terpahami sebagai jeda sekaligus arahan hidup. Sekian buku dan peristiwa usai dibaca oleh penulis dalam kurun waktu tertentu dan upaya mengekalkan interaksi tersebut terikat dalam sepilihan esai dan resensi yang ada di dalam buku ini. Esai dan resensi itu berbicara tentang hal-hal personal, baik terhadap isu-isu terkini yang bersinggungan langsung dengan penulisnya, maupun bacaan-bacaan yang dikonsumsi. Dari sehimpun esai dan resensi esai itu, satu judul pun dipilih menjadi judul buku, yaitu “Jorge Luis Borges, Realisme Magis, dan Filsafat.” Pertanyaannya, apakah pemilihan judul ini tepat dan dapat menggambarkan isi keseluruhan dari buku ini?

Tradisi Omotenashi dan Anak Panah yang Meleset dari Sasaran

Beberapa waktu lalu, NHK World Japan, sebuah layanan internasional dari organisasi media publik di Jepang, melansir video tentang barang-barang hilang milik penumpang kereta bawah tanah di Tokyo. Setiap harinya ada 2000 barang hilang yang dikumpulkan dari 179 stasiun. Ada ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang tersebut dan diperlakukan sedemikian hati-hati. Kita tidak akan tahu betapa berartinya barang-barang yang tertinggal itu, ucap salah seorang petugas.

Sejarah, Digerakkan yang Turah

William Liddle pernah menyebut Goenawan Mohamad (GM) sebagai Shakespeare-nya Indonesia. Pujangga abad XVI itu punya peran monumental bagi perkembangan bahasa Inggris. Lewat karyanya, bahasa yang mendunia itu menjadi matang, mampu mengantarkan perasaan dan pikiran manusia dengan presisi makna yang tinggi, sekaligus indah. Bagi Liddle, peran itu juga diemban GM dalam konteks bahasa Indonesia.

Kejelasan yang Unik

Salah satu anjuran yang lazim kita dengar dalam membuat cerita adalah menggunakan teknik menunjukkan, bukan mengatakan. Hal itu bertujuan agar pembaca lebih mandiri dalam membayangkan perihal identifikasi terhadap sesuatu. Rupanya anjuran tersebut tidak dipakai dalam pembuatan novel yang berjudul Semua Temanku adalah Jagoan Super ini. Contoh ‘pelanggaran’ yang dilakukan terletak pada judulnya yang terkesan vulgar. Meski begitu pilihan tersebut ternyata terasa manis karena di dalam novel ada ungkapan seperti berikut: Meskipun ada ratusan jagoan super di Toronto, tidak ada yang namanya penjahat super. Yang ada adalah setiap jagoan super menganggap jagoan super lainnya penjahat super. (hlm. 43). Selain itu justru dari judulnya vulgar ini saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini, meski pada awalnya lebih kepada penasaran, ada apa gerangang?

Eco, Cerita Detektif, dan Gua yang Muram

Umberto Eco, seorang filsuf merangkap novelis berkebangsaan Italia bersetia pada buku-buku sepanjang hidupnya. Kegandrungannya pada buku-buku berbuah hasil imajinasi dan pemikiran ; 7 novel dan 30 jilid non-fiksi, termasuk karya akademik yang pelik telah dihasilkan. Eco tak mau memenggal jalinan ruh intelektual. Suatu karya mesti bertaut dengan karya-karya sebelumnya. Kata Eco, “Buku selalu berbicara tentang buku, dan tiap cerita selalu membawa kisah yang sudah diceritakan”.