Kucing dan Upaya Memaknai Waktu

Sekilas, judul novel ini terdengar menggemaskan: “Jika Kucing Lenyap Dari Dunia”. Kita mahfum ada kata kucing yang memunculkan dugaan bahwa ini adalah kisah yang manis. Atau paling tidak, pasti ada adegan yang memperlihatkan hubungan platonik antara seseorang dengan hewan peliharaannya yang seekor kucing. Tidak, dugaan itu sebenarnya tidak salah-salah amat, sebab adalah benar kalau kisah dalam novel karya Genki Kawamura ini mengandung sesuatu yang manis, kisah yang hangat, dan itu memang melibatkan hubungan si tokoh utama, narator ini, dengan kucing yang dipeliharanya. Kendati begitu, ada hal lain yang justru membuat novel ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah kisah yang hangat: Kematian.

Suara dari Pengungsian

MEMBACA puisi-puisi Nissa Rengganis membuat saya khawatir. Dalam lima puluh puisi Suara dari Pengungsian (2021), terserak kegelisahan yang meriah: tegang, berisiko, bahkan sayup. Suasana-suasana tersebut menjadi lembing tajam yang menohok sekaligus meletupkan luka dari kesunyian yang meranggas di tenda-tenda pengungsian. Dan, Nissa melalui gerak avonturirnya telah mengantarkan tegangan frekuensi kuat dari peristiwa pengungsian pada antena kepala pembaca.

Eufemisme-Metafora, Hasrat Politis, dan Etiket Berbahasa

“Bahasa suatu bangsa dapat merepresentasikan budaya bangsa itu sendiri”. Kata Sutan Takdir Alisjahbana. Demikian Sastrawan Pujangga Baru itu mengagungkan etiket berbahasa. Baginya, bahasa menjadi instrumen simbolis representasi diri. Cermin pengetahuan sekaligus merefleksikan pola sikap. Etiket berbahasa pada titik ini mesti disikapi dengan penuh kesadaran yang begitu sublim.

Senyum Tuhan dan Hati Ibu

Sejak kali pertama membaca judul, ada dua hal menarik yang memantik rasa untuk menelisik. Hal yang pertama adalah frasa ‘senyum Tuhan’ dan yang kedua adalah frasa ‘hati Ibu’. Tuhan adalah ungkapan untuk membahasakan kelemahan manusia, sebuah hal yang tak dapat dijangkau oleh mata dan telinga. Namun Dian Ardianto justru dengan berani menyebutkan bahwa Tuhan bisa tersenyum.

Aktivisme Abinaya yang Lantang dan Berani

Pertama-tama, saya perlu menghindari penyebutan “penulis cilik” atau “penulis berusia 12 tahun” atau istilah-istilah semacamnya untuk Abinaya Ghina Jamela atau yang biasa disapa Naya. Ini perlu saya tekankan untuk menghindari bias ageisme dalam penilaian saya—dan semoga juga pembaca lain—terhadap karyanya, terutama buku berjudul ‘Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru’ (Gorga, 2021) yang saya ulas dalam tulisan ini.

Amerika Latin dan Para Raksasa yang Tak Henti Digosipkan

Buku di tangan pembaca ini memuat enam belas esai matang seputar kesusastraaan, politik, dan sosio-budaya Amerika Latin. Dalam kata pengantarnya, Ronny Agustinus dengan rendah hati menyebut buku ini—di mana sebelumnya merupakan tulisan-tulisan yang pernah terpublikasi sebagai bahan ajar kuliah, konten web, dan konten blog pribadi—sebagai wadah coretan-coretan dia tentang salah satu minat utamanya.

Kitchen: Tentang Kesepian dan Upaya Menyembuhkan Luka

Kitchen menyapa pembaca Indonesia dengan proses penggarapan yang disiapkan masak-masak. Penerbitnya, Penerbit Haru, tampak mengerahkan kemampuan terbaik mereka dalam menghadirkan salah satu karya fenomenal kesusastraan Jepang ini. Melalui kanal sosial media mereka, mereka mengabarkan bahwa karya ini akan disuguhkan di hadapan pembaca tanah air, dan mereka pun mendapuk Ribeka Ota—penerjemah langganan karya-karya Haruki Murakami dan penerjemah untuk edisi bahasa Jepang dari novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan—sebagai penerjemahnya.

Perempuan dan Puisi

Barangkali apa yang diungkapkan penyair Joko Pinurbo ada benarnya, jika menulis puisi merupakan sebuah ibadah. Sebagai ritual yang memerlukan kerja panjang, secara terus-menerus. Sebab kerja kepenyairan merupakan Langkah yang tanpa henti,  saat menempuh dunia sunyi itu. Ia sebagai penyair akan menempuhnya sendiri, mencari setiap diksi dalam puisinya, berkawan dan akrab kepada kata-kata.